Koleksi Kang Zusi
Kasih Diantara Remaja
Asmaraman S. Kho Ping Hoo
03. Ciu-ong Mo-kai Pengemis Sakti
AKAN tetapi Balita merenggut anaknya, matanya mendelik kepada uwak Lui yang baru sajamemegang kaki anak itu. “Pergi kau! Aku bisa bersembahyang sambil menggendong anakku!”Uwak Lui kaget dan mundur, akan tetapi di dalam hatinya ia terheran-heran dan makin bingung,karena anak di gendongan Balita itu bukanlah puteri majikannya, bukan Bi Eng! Tadi ia sengajamemegang kaki anak itu, karena biarpun tidak melihat muka anak itu, dari kakinya saja ia dapatmengenal kalau anak itu Bi Eng adanya. Di kaki sebelah kiri Bi Eng, di dekat mata kaki, terdapatsebuah tahi lalat hitam yang merupakan tanda anak itu yang tak akan lenyap.Akan tetapi ketika ia tadi memegang kaki kiri bayi di gendongan Balita itu dan melihat denganteliti, kaki kiri anak itu bersih saja dan tidak ada tahi lalatnya. Anak itu bukan Bi Eng, dan anak kecil yang ia tidurkan itupun bukan Bi Eng. Di manakah lenyapnya Bi Eng yang asli? Diam-diamuwak Lui bingung dan berduka, akan tetapi ia hendak menyimpan rahasia ini di dalam hatinyasendiri. Biarlah, anak bayi perempuan yang sekarang berada dalam asuhannya, dia itulah Cia BiEng.Balita tidak mempergunakan hio, langsung ia berlutut di depan peti mati Cia Sun sambil menangissesambatan dan memeluki peti itu. “Kanda Cia Sun ...... tega benar kau kepadaku .... kanda Cia Sun,hidup ini tiada artinya bagi Balita .......” Ia menangis tersedu-sedu, lalu dengan beringas ia pindahke depan peti mati nyonya Cia Sun, menggedor-gedorkan kepalanya yang berambut riap-riapan itupada peti mati nyonya Cia!Uwak Lui menjadi khawatir sekali dan baiknya Balita hanya menggedorkan kepalanya perlahansaja. Akan tetapi jangan kira bahwa gedoran kepala ini hanya tanda kedukaannya, karena diam-diam ia mengerahkan tenaga lweekang untuk menghancurkan isi peti mati itu.Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dan tahu-tahu seorang pengemis yang rambutnya awut-awutan sudah berdiri di belakang peti nyonya Cia Sun. Ia menepuk-nepuk peti itu sambil berkata,“Cia-hujin, tenanglah. Orang-orang ini benar gila, menangisi kau yang sudah senang. Ha ha ha!”Balita kaget bukan main ketika kepalanya terasa sakit begitu digedorkan kepada peti mati. Iamaklum bahwa serangannya untuk menghancurkan mayat nyonya Cia telah digagalkan olehtepukan-tepukan tangan pengemis itu pada belakang peti mati. Ia mengangkat kepala memandangdan melihat pengemis yang rambutnya awut-awutan itu memegang sebuah guci arak, ia terkejut. Iapernah mendengar nama Ciu-ong Mo-kai si Raja Pengemis dari seluruh perkumpulan pengemis didaerah selatan.“Ha ha ha,” kembali pengemis itu tertawa dengan suara tinggi. “Memang dunia ini palsu. Orangyang terbebas dari derita hidup ditangisi, di balik air mata muncul kepalsuan-kepalsuan jahat. Aduh,lebih enak yang mati dari pada yang hidup harus menyaksikan segala macam kepalsuan!”Balita mundur sambil mendekap anaknya. Menghadapi seorang pengemis sakti seperti ini ia harushati-hati, apa lagi ia sedang menggendong anak.“Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, omonganmu benar. Kalau kau lebih suka mati, biar aku cobamengantarmu ke neraka.” Tangan kanan Balita menampar ke depan dan angin pukulannya darijarak jauh menyambar ke arah dada pengemis itu.Ciu-ong Mo-kai Tang pok, pengemis sakti itu sambil tertawa menegak arak dari guci araknya,kemudian menyemburkan araknya ke depan. Arak itu merupakan senjata penangkis pukulan danbegitu bertemu dengan hawa pukulan Balita arak itupun tertahan dan terpental kembali!“Ha ha, hebat! Kau perempuan Hui benar hebat!” pengemis itu memuji dan pujian ini memangsetulusnya hati karena siapa orangnya tidak kagum melihat seorang perempuan semuda itu memilikipukulan jarak jauh yang demikian kuatnya? Sebaliknya, Balita maklum bahwa pengemis itumerupakan tandingan sangat berat. Ia tidak bisa melepas anaknya untuk berkelahi, maka sambilmelompat pergi ia berkata.“Pengemis tua bangka, lain waktu aku Balita tentu mencarimu!”Pengemis itu hanya tertawa-tawa kemudian menjawab kepada bayangan Balita yang sudah pergijauh. “Jembel tua bangka buruk rupa macam aku ini mana ada harga kau cari-cari? Tentu kau lebihsuka mencari yang muda rupawan, bagus dan tampan. Ha ha ha!”Uwak Lui dan dua orang pelayan keluarga Cia serta semua penduduk dusun yang berada di situmemandang kepada pengemis itu tak senang. Mereka ini tentu saja sama sekali tidak tahu betapapengemis ini telah menolong mayat nyonya Cia dari kehancuran. Bagi mereka, pengemis itu terlalukurang ajar dan sebaliknya nyonya muda tadi patut dikasihani. Bukankah nyonya muda tadi datanguntuk berbelangsungkawa sedangkan pengemis itu datang-datang mengacau? Apalagi sekarangpengemis itu sambil tertawa-tawa dan minum arak berkata kepada mereka,“Kalian jangan menangis, tidak boleh menangisi orang mati!”Semua orang yang berada di situ saling pandang. Mereka merasa takut melihat pengemis ini, karenasikapnya dan rambutnya yang awut-awutan itu lebih pantas disebut orang yang sudah miringotaknya. Akan tetapi uwak Lui yang amat setia menjadi tak senang karena upacara perkabunganmajikannya dikacau. Ia maju menghampiri pengemis itu sambil menggendong Bi Eng. Dirogohnyasaku bajunya dan dikeluarkan sekeping uang perak, lalu diberikan kepada pengemis itu.“Nih, sedekahnya, harap sekarang kau suka pergi dan jangan mengganggu kami. Tidak tahukah kaubahwa kami sedang berduka, mengabungi kematian majikan-majikanku yang tercinta?”Pengemis itu memandang kepada uwak Lui dengan mata meram-melek sambil menyeringai, laluberkata seperti orang bersajak.
“Siapa bilang hidup lebih senang dari pada mati?Siapa bilang mati harus diantar susah hati?Samua berasal dari tiada.Dan kembali kepada tiadaBila musimnya tiba?Bukankah mati hanya pulang ke asalnya?”
Kemudian sambil menghelus-elus peti mati Cia Sun, pengemis itu berkata seperti kepada dirisendiri, “Cia Sun semasa hidup memenuhi kewajiban sebagai satria sejati, melanjutkan sepak terjang ayahnya sebagai pendekar pembela rakyat. Matipun tidak penasaran!”Mendengar ucapan ini, uwak Lui menangis dan memeluki Bi Eng. “Pengemis aneh, jangan kaumenyusahkan hati kami yang sudah berduka. Boleh kau bilang apa saja, akan tetapi tidak kasihankah kau kepada dua orang anak ini yang ditinggal mati ayah bundanya? Mereka menjadiyatim piatu, ah ...... yatim piatu .....” Uwak Lui menangis terisak-isak dan semua penduduk dusunyang berkumpul di situ juga ikut menangis.“Diam! Diam semua!” Pengemis itu membentak, lalu sekali ulur tangan ia telah merampas Bi Engdari gendongan uwak Lui yang menjadi kaget sekali.“Anak baik ..... ah, anak bertulang baik.” Pengemis yang seperti orang gila itu lalu mengayun-ayunbayi itu malah kemudian ia melemparkan bayi itu ke atas diterima lagi dan dilemparkan lagi sepertiseorang anak nakal bermain dengan sebuah bola!Uwak Lui menjerit dan melompat maju merampas anak itu. Pengemis tadi memberikan Bi Engkepada uwak Lui sambil berkata, “Jaga baik-baik muridku ini!”“Muridmu? Apa artinya ini?” tanya uwak Lui sambil mendekap anak itu.“Bibi yang baik, jangan salah menyangka orang. Aku adalah paman guru Cia Hui Gan! Aku datanguntuk menyelidiki siapa orangnya yang membunuh Cia Sun dan isterinya.”Suara pengemis itu berubah keren dan sikapnya agung, membuat uwak Lui surut mundur. Uwak Lui lalu menjura dengan hormat sambil berkata. “Terserah kebijaksanaan, taisu!”Pengemis itu tertawa-tawa lagi lalu maju melangkah ke arah peti mati. Tutup peti mati telah dipaku,akan tetapi sekali angkat saja tutup peti mati Cia Sun telah dibukanya! Ia membungkuk dan melihattanda-tanda luka di dada mayat itu. Muka mayat pendekar itu tenang, malah mulutnya agak tersenyum. Setelah memeriksa beberapa lama, pengemis itu berkali-kali mengeluarkan seruantertahan.“Aneh .... aneh sekali ..... pedang biasa, tusukan biasa ..... masa dia mati karena serangan macam itu....?”Kemudian ia menutup lagi peti mati dan sekali tekan paku-paku itu telah amblas mengunci tutuppeti. Kemudian ia membuka peti mati nyonya Cia Sun. Mayat nyonya muda ini lebih menyedihkankarena selain lehernya putus, juga mukanya luka-luka. Ciu-ong Mo-kai memeriksa leher yangterluka dan kembali ia menggelengkan kepala.“Bukan karena tenaga, melainkan karena tajamnya pedang. Heran .... heran .... lebih patut kalaudikatakan pembunuhnya seorang kanak-kanak lemah!” Akan tetapi ketika ia melihat muka nyonyamuda yang sudah menjadi mayat itu, ia mengerutkan kening.“Perempuan Hui itu masih melampiaskan marahnya melihat saingannya sudah mati. Terlalu sekali....!” Juga lalu menutup kembali peti mati dan menoleh kepada semua orang yang melihatperbuatannya ini dengan penuh rasa ngeri dan heran.“Cia Sun tidak berkeluarga kecuali dua orang anaknya. Orang yang boleh diandalkan adalah bibipengasuh ini, maka mulai sekarang semua kekuasaan mengurus rumah dan memelihara dua oranganak ini kuserahkan kepada bibi pengasuh. Siapa yang berani mengganggunya berurusan denganaku! Sekarang, saudara-saudara dari dusun di bawah puncak boleh pulang. Biar aku dan bibipengasuh mengurusnya sendiri.”Karena semua orang merasa takut, mendengar perintah ini tanpa banyak cakap mereka lalu pergidari situ. Uwak Lui tidak berani membantah! Dia bersama dua orang pelayan laki-laki yang beradadi situ hanya bisa saling pandang.“Kenapa kalian dua orang masih tidak mau pergi?” Pengemis itu bertanya ketika masih ada duaorang laki-laki berjongkok di ruang itu.“Taisu, dua orang ini adalah pelayan-pelayan di sini, semenjak kecil mereka membantu majikankami,” kata uwak Lui.Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Kalau kalian masih suka, mulai sekarang kalian menjadipelayan dia ini.” Dia menunjuk uwak Lui dan dua orang pelayan itu mengangguk. “Ayoh, kalianambilkan arak untukku!”Ketika dua orang pelayan itu ragu-ragu, uwak Lui memberi isyarat supaya mereka memenuhipermintaan Ciu-ong Mo-kai. Uwak Lui sudah terlalu lama mengikut Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun yang terdiri dariorang-orang kang-ouw yang aneh-aneh dan sakti. Sekarang ia percaya bahwa pengemis itu tentulahorang sakti yang benar-benar datang untuk menyelidik pembunuhan majikannya. Ia merasa legakarena biarpun pengemis itu wataknya aneh menakutkan, namun keselamatannya, terutamakeselamatan dua orang anak kecil yang sejak itu diasuhnya sebagai anak-anak sendiri, akan terjagadan terjamin.Ciu-ong Mo-kai tidak mau menggunakan cawan perak yang dibawakan oleh para pelayan. Iamenuang arak dari guci besar ke dalam tempat araknya sendiri lalu minum arak dari mulut gucinyayang kecil. Sambil minum arak ia bernyanyi-nyanyi dengan kata-kata yang tidak karuan.Tiba-tiba uwak Lui dan dua orang pelayan itu mendengar suara roda kereta datang di depan gedung.Mereka kembali melongo dan saling pandang. Bagaimana ada kereta bisa sampai di tempat itu?Dengan jalan kakipun amat sukar sampai di situ, apalagi berkereta. Kudapun tidak bisa naik diantara batu-batu putih yang mengitari gedung. Apakah kuda dan kereta itu bisa terbang?Benar saja. Sebuah gerobak kecil roda dua ditarik oleh seekor keledai berhenti di depan gedung itudan dari dalamnya melompat keluar seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk, bertopidan berkumis lucu seperti kumis kucing. Laki-laki itu mengambil sebuah swipoa (alat menghitung)dengan tangan kiri dan membawa sebuah cambuk di tangan kanan, lalu melangkah lebar ke ruangdepan dengan mulut tersenyum lebar. Mukanya yang gemuk itu kemerahan dan berkali-kali iamengusap muka dengan ujung lengan bajunya untuk menghapus peluhnya.Memang bagi orang-orang biasa, aneh sekali ada orang bisa naik gerobak ke tempat seperti puncak gunung Min-san ini. Orang-orang dusun situ yang sudah biasa mendaki puncak masih merasa sukar untuk mendatangi puncak yang menjadi tempat tinggal Cia Sun. Apalagi menunggang gerobak, halini merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Lebih-lebih lagi bagi seorang berpakaian sepertisaudagar yang bertubuh gemuk itu!Akan tetapi bagi Ciu-ong Mo-kai yang melihat kedatangan orang ini, bukanlah merupakan hal yanganeh atau mengherankan. Yang baru datang ini, yang ke mana saja membawa-bawa alat swipoa danpecut bukan lain adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (Si Raja Swipoa)! Bukansaudagar sembarang saudagar biarpun ke mana saja membawa-bawa swipoa, akan tetapi seorangtokoh besar di dunia kang-ouw yang bukannya tidak terkenal!Lie Ko Sianseng memang seorang saudagar dan dalam hal pekerjaan ini usahanya luas sekali,bukan hanya berdagang barang-barang yang meliputi macam barang dari hasil bumi, hewan ternak sampai sayur mayur dan emas intan. Akan tetapi adakalanya ia juga berdagang jiwa dan kepalaorang.Dengan langkah lebar Lie Ko Sianseng menuju kedua buah peti mati yang berjajar di ruangandepan itu, tanpa melirik kepada Ciu-ong Mo-kai yang duduk bersila sambil minum arak di belakangpeti-peti itu. Dari saku dalam jubahnya yang lebar, jubah saudagar, Lie Ko Sianseng mengeluarkansebungkus dupa dan menyalakan dupa-dupa itu pada lilin yang bernyala di meja sembayang depanpeti. Lalu ia acung-acungkan hio itu di atas menghadapi peti mati dan mulutnya yang tadimenyeringai sekarang bergerak-gerak, bibirnya kemak-kemik, matanya meram-melek. Sikapnyalucu sekali akan tetapi uwak Lui dan dua orang pelayan memandang dengan hormat melihatsaudagar ini bersembahyang di depan peti mati majikan mereka.“Ha ha ha!” Ciu-ong Mo-kai tertawa geli, kemudian ia bernyanyi sambil memukul-mukulkan guciaraknya pada peti mati untuk mengiringi nyanyiannya.
“Acung-acungkan hio, mulut berkemak-kemik Pikir diputar-putar, mata melirik-lirik Isi hati saudagar selalu mencari untung Orang lain siapa bisa hitung?”
Kembali Ciu-ong Mo-kai tertawa-tawa sambil minum araknya. Wajah Swi-poa-ong Lie KoSianseng menjadi makin merah dan untuk menutupi kejengkelannya karena disindir oleh rajapengemis itu, saudagar ini lalu perdengarkan doanya, tidak lagi berkemak-kemik dan tidak berbunyiseperti tadi.“Cia-enghiong, sungguh menyesal sekali sebelum sempat berkunjung memberi hormat, kau telahmeninggal dunia bersama nyonyamu. Semoga arwahmu dan arwah nyonyamu mendapat tempatyang aman dan tenteram.”Ia lalu menancapkan hio di tempat, bersoja dan duduk bersila di atas lantai, wajahnyamemperlihatkan kedukaan besar. Keadaannya demikian sungguh-sungguh membuat uwak Luiterharu sekali.Akan tetapi Ciu-ong Mo-kai menjenguk dari balik peti mati dan berkata, “Ah, makelar ulung! Kaumenyesal dan kecewa melihat Cia Sun mati, bukankah karena kau tidak bisa lagi mencatutbarangnya, sebuah surat wasihat ......?”Tiba-tiba wajah saudagar itu berubah dan kini kelihatan bersemangat sekali. Ia memandang kepadaCiu-ong Mo-kai dan suaranya lemah lembut, suara seorang saudagar yang sedang menjalankansiasat menjual dagangan atau membeli dagangan atau untuk mencari untung.“Ciu-ong yang baik, sudah lima tahun lebih tidak bertemu denganmu. Apakah baik-baik saja? Maaf tadi aku tidak melihatmu karena terlalu sedih dan terharu melihat peti mati-peti mati Cia-enghiongdan isterinya. Eh, Ciu-ong, terimalah sedekahku ini, dikumpulkan selama lima tahun walau seharisetengah chi juga menjadi banyak. Terimalah!” Saudagar itu mengeluarkan sebuah uang emas dansecara sembarangan melontarkannya ke arah Mo-kai.Bagi orang lain yang berada di situ, tentu saja perbuatan ini dianggap royal sekali. Masa memberisedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang emas yang harganya amat mahal? Akantetapi sebetulnya lemparan uang emas itu adalah sebuah tipu serangan dari ilmu menyambit Lim-chi-piauw yang amat lihai. Selain dilontarkan dengan penggunaan tenaga lweekang yang tinggi,juga mengarah jalan darah dan kiranya orang yang diserang takkan dapat menghindar lagi kalautidak memiliki kepandaian tinggi. Bagi Lie Ko Sianseng, penyerang ini bukanlah merupakanpenyerangan, lebih menyerupai kelakar untuk menguji kepandaian raja pengemis itu yang sudahbertahun-tahun tidak ia jumpai.Sinar kuning dari uang emas itu berkilat menyambar ke arah Ciu-ong Mo-kai. Pengemis maklumbahwa saudagar gemuk itu hendak mengujinya, maka ia ulurkan tangan kanan dan menerima uangemas itu. Terdengar suara “plekk!” dan ketika ia membuka tangan, uang emas itu telah berada ditelapak tangannya dalam keadaan gepeng seperti dijepit tang baja! Ini bisa terjadi karena sambitanitu luar biasa kuatnya dan telapak tangan yang menyambut luar biasa kerasnya.“Ha ha ha, dalam urusan dagang kau boleh pelit dan licik, akan tetapi menghadapi pengemis kaumenjadi dermawan. Ha ha ha, baik sekali kau, tukang catut!”“Tidak apa, Ciu-ong. Di antara kita, mana perlu bersungkan-sungkan? Eh, raja pengemis, kau tadimenyebut-nyebut tentang surat wasiat. Apakah maksudmu dengan itu?”Pengemis itu tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, Swi-poa-ong. Apakah kau kira aku ini anak kecil?Jangan kau berpura-pura lagi. Muslihatmu sebagai seorang pedagang sudah kuketahui baik. Kaukira tidak tahukah aku bahwa di antara semua orang yang mengobrak-abrik dan menggeledahrumah keluarga Cia malam tadi, juga termasuk kau? Apa yang kau cari?”Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng menggerakkan jari-jari tangannya kepada alat hitungnya. “Trek trek trek!” bunyi swipoa itu.“Angka satu hanyalah satu, angka nol tidak ada nilainya. Akan tetapi angka satu ditambah tiga nolmerupakan jumlah besar, apalagi kalau berupa potong uang emas. Jembel tua, apakah seribu potonguang emas tidak cukup untuk membeli surat wasihat itu?” Saudagar aneh itu menepuk saku bajunyayang gendut dan terdengarlah bunyi gemercing yang nyaring dan bening.Ciu-ong Mo-kai Tang Pok membelalakkan matanya yang sipit. “Eh, makelar edan, apa kau sudahgila?”“Kau sudah menyebut edan, mana bisa gila lagi?” Lie Ko Sianseng berkelakar, sama sekali tidak marah dimaki-maki oleh pengemis itu. Akan tetapi sepasang matanya masih bersinar kesungguhan.“Apa kau mau melepas surat itu untuk seribu potong emas?”Tang Pok menggelengkan kepalanya. “Kau tentu gila. Sepotong surat wasiat lapuk, biarpunmengenai rahasia harta karun belum kau ketahui berapa banyak harta itu, juga apakah masih ada.Lebih-lebih kalau dipikirkan bahwa segala macam surat wasiat belum tentu asli, mungkin bohong.”“Seorang saudagar harus berani berspekulasi, untung atau buntung. Bolehkah?”“Kau aneh ........”“Jembel tua, seribu lima ratus!”Tang Pok hanya menggeleng kepala. “Sinting kau .......!”Lie Ko Sianseng kembali mencetrek-cetrekan swipoanya, mulutnya berkemak-kemik menghitungangka, keningnya berkerut, peluhnya mengucur. Ia lalu berdiri dan mengebut-ngebutkan ujungbajunya. “Dua ribu! Nah, dua ribu kutawar, jembel. Tidak ada orang kedua di dunia ini beranimenawar dua ribu. Emas tulen!” Kembali ia menepuk-nepuk kantung uangnya di saku jubahnyayang lebar.Ciu-ong Mo-kai Tang Pok menggeleng kepala dan juga berdiri. “Kamu mimpi. Melihatpun akubelum surat wasiat itu. Aku hanya mendengar orang-orang lain dan kau yang gila harta itumenyebut-nyebut perihal surat wasihat harta karun. Aku sendiri mana butuh?”“Jadi tidak ada padamu?”“Kalau ada padaku, jangankan dua ribu potong uang emas kautawarkan, untuk sepotong uang emassaja akan kulemparkan kepadamu. Bodoh!”“Setan!” Pedagang itu memaki, lalu cambuknya menyambar udara mengeluarkan bunyi “ tar tar tar!” nyaring sekali. “Ciu-ong Mo-kai, tidak baik mempermainkan orang seperti aku. Kalau tidak didepan jenazah Cia-enghiong dan isterinya, cambukku pasti akan menikmati pantat anjing.”Tang Pok hanya mentertawakan saudagar itu yang sudah menjura di depan peti mati, lalu berjalanterhuyung-huyung ke gerobaknya kembali, naik ke gerobak dan membentak keledainya. Gerobak bergerak perlahan, diputar dan menuruni puncak.Pada saat itu terdengar bunyi cecowetan dari dalam rumah dan ketika semua orang menengok,ternyata Lim-ong monyet tua itu berlari keluar sambil memegang sebatang huncwe (pipa tembakaupanjang). Pipa itu mengebulkan asap dan dari mulut dan hidung monyet itu masih keluar asapnya,sedangkan jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabok!
“Lim-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan huncwe itu di tempatnya!” Uwak Lui memerintahkandengan bentakannya. Akan tetapi Lim-ong tidak menurut, malah melompat dari jendela danmembawa huncwe itu.Tang Pok tertawa sampai perutnya kaku melihat pemandangan lucu ini.“Biarkan dia pergi. Monyet itu pintar sekali, pintar isap tembakau, dia lebih pintar dari pada Swi-poa-ong si makelar curang! Ha ha ha!”Karena huncwe itu memang tidak dipakai, yaitu sebuah di antara barang peninggalan tuan tua CiaHui Gan yang ditaruh di meja sembahyang, maka uwak Lui dan dua orang pelayan itupun tidak mau ambil pusing lagi. Dalam keadaan berkabung seperti itu, siapa sih mau perduli tentang hal inidan mau ribut-ribut karena sebatang huncwe yang dibawa lari monyet nakal! Juga Ciu-ong Mo-kaiyang biasanya bermata tajam sekali, karena kunjungan Lie Ko Sianseng tadi dan kini sibuk denganminum arak, tidak melihat bahwa tubuh monyet itu menderita luka dalam yang amat hebat danbahwa cara monyet itu mengisap huncwe adalah cara yang amat ganjil seakan-akan monyet ituhendak mengobati lukanya dengan merokok!Dengan bantuan dua orang pelayan, Ciu-ong Mo-kai lalu menguburkan dua peti mati itu dibelakang rumah, kira-kira satu li jauhnya dari gedung itu. Setelah selesai, ia lalu berkata kepadauwak Lui dan dua orang pelayan.“Mulai sekarang, semua barang dan rumah ini berada dalam kekuasaan bibi Lui dan kalian berduaharus mentaati semua perintah bibi Lui. Boleh kalian pergunakan semua barang di sini sambilmemelihara dua orang anak keluarga Cia. Aku akan sering kali menengok ke sini dan kalau sudahtiba masanya, anak Bi Eng akan menjadi muridku. Sementara itu, tentang perawatan dan pendidikandua orang anak ini kuserahkan kepada bibi Lui. Hah, selamat tinggal!” Ia lalu meninggalkansekantong uang yang membuat bibi Lui dan dua orang pelayan itu terbelalak heran. Dari manaseorang pengemis mempunyai uang sebegitu banyak? Mereka tidak tahu bahwa Tang Pok bukanlahsembarang pengemis.****Lima belas tahun telah lewat dengan amat cepatnya tanpa terasa oleh manusia. Anak-anak menjadidewasa, orang dewasa menjadi tua, dan yang tua kembali ke asalnya, lenyap dari permukaan bumidiganti oleh manusia-manusia baru yang terlahir.“Siauw-ong (raja kecil) ......! Siauw-ong, kembalikan pitaku. Kurang ajar kau ......! terdengar suaranyaring dan merdu.Seekor monyet jantan kecil berlari-lari membawa sehelai pita sutera merah. Monyet itu berlarisambil jingkrak-jingkrak, lagaknya mempermainkan sekali. Di belakangnya mengejar seorang gadiscantik manis berusia lima belas tahun. Gadis ini jelita sekali, kulit mukanya putih halus, pipinyakemerahan dan matanya jeli seperti mata burung hong. Mulut yang kecil itu berbibir merah segar,tubuhnya ramping dan pakaiannya biarpun sederhana, tapi bersih dan terbuat dari sutera.Gadis ini sambil tertawa berlari lincah mengejar monyet itu yang dipermainkannya. Di kejar kesana lari ke sini, dikejar ke sini lari ke sana, memutari pohon sambil mencibir-cibirkan bibirnyayang tebal. Mata kecil itu mencorong nakal, kadang-kadang ia ulurkan pita ke depan, akan tetapitiap kali hendak diambil gadis cilik ini, ia lari lagi “Siauw-ong, kembalikan pitaku. Jangan nakal kau, nanti kupukul dengan ini!” Gadis itu lalumengambil sebatang ranting. Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan, monyet itumelompat dan memanjat pohon dengan amat cepatnya.Gadis itu membanting-banting kakinya, kepalanya tergeleng membuat rambut yang terlepas pitanyaitu terurai, panjang sekali sampai ke bawah punggungnya, rambut yang hitam dan gemuk. Sakinggemasnya ia mulai menangis! Mudah saja gadis ini mengucurkan air mata yang membasahi keduapipinya.Tiba-tiba ia mendengar suara monyet itu cecowetan tidak karuan dan ketika ia mengangkat mukamemandang monyet yang duduk di atas cabang pohon itu, seketika itu juga gadis yang tadi masihmenangis ini lalu tertawa terkekeh-kekeh! Ia melihat monyet itu mencoba untuk memakai pitamerah di kepalanya! Pemandangan ini memang amat lucu dan orang yang melihat tingkahnya yangnakal tentu akan tertawa akan tetapi orang itu akan lebih heran melihat sikap gadis cantik manis iniyang dapat menangis lalu tertawa pada saat itu juga, tertawa terkekeh dengan geli hati selagi air matanya masih membasahi pipinya!Namun, pemandangan lucu itu agaknya telah mengusir kemarahan dan kejengkelannya, iamengamang-amangkan tinjunya yang kecil ke atas sambil berkata.“Siauw-ong, kalau kau tidak mau kembalikan pitaku, akan kulaporkan pada Sin-ko!”Aneh, mendengar disebutnya “Sin-ko” (kakak Sin) ini, tiba-tiba monyet itu nampak ketakutan,cepat-cepat ia merayap turun dan kedua tangan diulurkan dan tubuh membungkuk seperti orangmenghormat, ia sodorkan pita itu kepada pemiliknya! Gadis itu menerima pitanya dan mengelus-elus kepala monyet nakal itu. Dia amat cinta kepada monyet ini, kawan bermainnya semenjak kecildi samping kakaknya.Tentu pembaca sudah dapat menduga siapa adanya gadis cantik lincah, mudah menangis mudahtertawa ini. Dia adalah Cia Bi Eng, puteri Cia Sun yang baru berusia tiga bulan ketika ayahbundanya meninggal dalam keadaan yang amat mengerikan. Semenjak itu dia dan kakaknya, CiaHan Sin, dirawat dengan amat teliti dan penuh kasih sayang oleh uwak Lui.Ketika Bi Eng baru berusia setengah tahun, beberapa bulan semenjak peristiwa mengerikan ituterjadi di puncak Min-san, pada suatu hari Lim-ong monyet betina tua datang terhuyung-huyungmenggendong seekor monyet kecil. Ia menurunkan monyet kecil itu di dekat Han Sin, kemudianmonyet tua itu roboh, berkelonjotan dan ...... mati! Uwak Lui menangis melihat ini karena monyetitu adalah peliharaan Cia Sun yang amat disayang.Semenjak monyet itu mencuri huncwe, ia tidak kelihatan lagi dan pada hari itu ia datang-datangmembawa seekor monyet jantan kecil dan mati di situ. Bangkai monyet itu dikubur tidak jauh darimakam Cia Sun dan isterinya, sedangkan monyet kecil itu lalu menjadi kawan bermain Han Sin danBi Eng. Uwak Lui memberinya nama Siauw-ong (raja kecil) untuk disesuaikan dengan namamonyet tua Lim-ong (raja hutan).Uwak Lui menganggap dua orang anak itu seperti anaknya sendiri. Ia merawat mereka penuh kasihsayang, malah dengan bayaran mahal ia mendatangkan seorang guru untuk mengajar mereka.Semenjak kecil, Han Sin, ternyata amat suka membaca buku, terutama cerita-cerita kuno dan kitab-kitab filsafat amat menarik hatinya. Sampai jengkel uwak Lui harus memenuhi permintaannya,mencari dan membeli kitab-kitab itu.
Baik ada Thio sianseng, guru anak-anak itu yang sebetulnya adalah seorang terpelajar, seorangsiucai yang tinggal di kampung dan tidak mau menerima jabatan pemerintah yang diam-diamdibencinya. Memang hanya orang-orang yang berjiwa rendah saja yang tidak membenci pemerintahpenjajahan seperti pemerintah Boan-cu pada waktu itu. Lima tahun kemudian setelah dua oranganak itu cukup pandai membaca menulis sehingga tidak ada yang harus diajarkan lagi, Thiosianseng meninggalkan puncak itu.Han Sin benar-benar luar biasa. Ia amat tekun membaca kitab-kitab. Bahkan kitab-kitab filsafatyang berat-berat, yang akan memusingkan otak orang-orang tua kalau membacanya, telah ia bacadan renungkan di waktu ia baru berusia belasan tahun! Ia tekun sekali dan inilah keistimewaannya,berbeda dengan Bi Eng yang tidak sabaran belajar, gadis lincah gembira yang suka bermain diudara bebas, tidak seperti Han Sin yang mengeram diri di dalam kamarnya, berkawan puluhankitab-kitabnya!Selain suka membaca kitab, juga Han Sin wataknya pendiam, sabar, namun di dalam diamnya iniada semacam pengaruh dan wibawa yang amat kuat dalam sinar mata maupun suaranya yang halus.Bi Eng amat bengal, tidak takut siapa-siapa, bahkan uwak Lui seringkali dibantahnya, apalagipelayan-pelayan lain. Akan tetapi menghadapi kakaknya yang amat dicintainya itu, ia amat penurut.Uwak Lui sendiri amat menghormat tuan muda Han Sin yang selamanya tidak pernah bohong, tidak pernah menjengkelkan hatinya karena sikapnya yang halus dan sopan, dan tidak banyak rewel.Jangankan manusia, bahkan seekor binatang kera seperti Siauw-ong, yang seperti juga Bi Eng tidak takuti siapa-siapa, menghadapi Han Sin menjadi mati kutunya, amat takut dan amat taat. Mungkinpengaruh dan wibawa yang keluar dari diri Han Sin itu tidak hanya karena pembawaan pribadinya,akan tetapi adalah karena ia suka sekali bersiulian (bersamadhi) yang ia pelajari menurut petunjuk kitab-kitab kuno itu. Dengan latihan siulian yang tanpa kenal lelah, secara tidak disadarinya HanSin telah melatih tenaga dalam dan tenaga batinnya, mempunyai hawa tian-tan yang kuat dandarahnya mengalir bersih sedangkan tulang-tulangnya menjadi kuat dan bersih pula.Sebetulnya Han Sin orangnya juga amat peramah, mudah tersenyum jarang bermuram, apalagimarah. Akan tetapi perasaan hatinya tidak pernah tergores pada mukanya yang amat tampan itu,selalu tenang, sabar dan tak banyak cakap.Itulah sebabnya mengapa Bi Eng lebih sering bermain-main dengan Siauw-ong, monyet itu. Dan didalam pergaulan sehari-hari ini terdapat suatu keanehan. Seringkali Bi Eng melihat Siauw-ongmencak-mencak seperti orang main silat, memukul sana sini dan kakinya bergeser ke sana sinisecara teratur. Ia menamakan ini “tari monyet” dan sebagai seorang anak yang tidak mempunyaikawan lain, iapun meniru-niru tarian monyet ini, meniru-niru gerak gerik Siauw-ong, memukul kesana ke mari, menggeser kaki ke sana ke sini, malah kadang-kadang meniru-niru tarikan mukamonyet itu, memoncong-moncongkan mulutnya yang mungil, malah meniru suara monyet yangcecowetan tidak karuan itu. Dasar Bi Eng bocah centil dan lincah.Ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah gerakan ilmu silat keluarga Cia yaitu ilmu silat Thian-te-kun!Monyet kecil itu dahulu meniru-niru gerakan yang suka “dimainkan” oleh Lim-ong dan sekarangBi-eng malah belajar ilmu silat keturunan keluarganya dari monyet kecil itu! Benar-benar hal yangamat aneh. Sudah tentu saja gerakan-gerakan ilmu silat itu sudah kacau tidak karuan dan sudahmenyeleweng jauh dari pada gerakan aslinya, namun tetap saja masih memperlihatkan kelincahandan kecepatan yang membuat monyet kecil itu memiliki kecepatan melebihi monyet lainnya.Ternyata bahwa pengemis aneh dahulu itu, Ciu-ong Mo-kai, agaknya melupakan janjinya karenaselama belasan tahun itu baru dua kali ia mengunjungi puncak Min-san. Yang terakhir ketika HanSin berusia sepuluh tahun dan Bi Eng berusia delapan tahun. Dua orang anak itu menyebutnya “Taisu”, ikut-ikut sebutan yang dipergunakan oleh uwak Lui kepada pengemis tua itu. Merekahanya mengenal pengemis itu sebagai “guru besar” yang amat ditakuti oleh Uwak LuiSetelah dua orang anak itu berusia belasan tahun, baru uwak Lui bercerita kepada mereka tentangkematian ayah bunda mereka. Dua orang anak itu menangis sedih mendengar cerita itu. Akan tetapiada perbedaan besar antara Han Sin dan Bi Eng ketika mendengar bahwa orang tua mereka matiterbunuh orang yang tidak ketahuan siapa. Han Sin hanya menarik napas panjang dan berkata,“Bagaimana di dunia ini ada orang begitu jahatnya membunuh ayah dan ibu? Apa kesalahan ayahdan ibu?”Sebaliknya Bi Eng berdiri dengan kedua tangan terkepal, mukanya merah dan matanya mendelik.“Aku harus mencari penjahat-penjahat pembunuh ayah ibu! Mereka itu harus dihancurkankepalanya!”Han Sin memandang adiknya dengan mata penuh teguran, “Bi Eng, apa yang kau katakan itu?”Bi Eng sadar kembali dan menundukkan mukanya. Air mata mengalir di sepanjang pipinya. “Sin-ko, ayah ibu dibunuh orang, apakah kita akan diam saja?”Han Sin memeluk adiknya dan menghapus air mata dari pipi adiknya itu, “Percayalah, adikku.Orang yang jahat akhirnya tentu akan menerima hukumannya!”Demikianlah, sampai berusia lima belas tahun, Bi Eng selalu masih tetap panas hatinya kalauteringat akan kematian ayah bundanya. Tidak ada cita-cita lain di dalam hatinya melainkan mencarimusuh-musuh itu dan membalas dendam. Sebaliknya, Han Sin lebih banyak bersembunyi di dalamkamarnya dan tak seorangpun tahu apa yang dilakukan orang muda pendiam itu.Kita kembali ke dalam taman di belakang gedung, di mana Bi Eng bermain-main dengan Siauw-ong. Sampai hampir satu jam monyet dan gadis itu mencak-mencak di bawah pohon. Akhirnya BiEng menjadi lelah dan jemu. Ia berhenti, duduk di atas sebuah batu putih dan mengikatkan pita padarambutnya.“Siauw-ong, ah, aku lelah sekali .....!” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Monyet kecil itumasih saja mencak-mencak sambil cecowetan, agaknya gembira bukan main.Tiba-tiba ada sinar putih melayang, menyambar ke arah gadis yang masih duduk dan menyusutipeluh dari lehernya dengan sehelai saputangan itu.“Awas ular!” terdengar seruan orang dan pandang mata Bi Eng yang awas memang tadi melihatsinar putih itu belang-belang hitam seperti seekor ular yang menyambar ke arah kepalanya. Karenaia seringkali melakukan “tari monyet”, otomatis kepalanya mengelak dan ular yang menyambarnyaitu tidak mengenainya. Ular belang itu terus merayap dan merambat ke pohon yang tumbuh di situ.“Aneh .... heran sekali .....! dari mana kau belajar semua ini?” terdengar suara yang tadi berseru dandari balik batu muncullah Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa.Untuk sesaat Bi Eng berdiri bingung. Memang ia masih terkejut karena diserang ular tadi dansekarang tahu-tahu di depannya berdiri seorang pengemis tua yang memegang tempat arak sambiltertawa-tawa. Ia bertemu dengan pengemis tua ini ketika ia berusia sepuluh tahun, akan tetapikarena keadaan pengemis yang amat aneh ini, ia masih teringat “Taisu ......,” katanya perlahan.“Ah, kau Bi Eng,” Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Bagus,! Bagus! Tidak kelirupandanganku dahulu. Kau berbakat baik sekali dan kiranya sekarang sudah terlampau lambat akumembuang-buang waktu. Mulai saat ini kau harus rajin-rajin belajar ilmu silat yang hendak kuturunkan semua padamu.”Bi Eng sudah dapat menenangkan pikirannya dan ia kini memandang kepada pengemis itu denganmata terbelalak. “Apa .... apa katamu? Menjadi muridmu ......?”Ciu-ong Mo-kai mengangguk lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya. Heran sekali,belasan tahun telah lewat namun tidak kelihatan ada perubahan sedikitpun juga pada diri pengemistua ini. Padahal dalam waktu belasan tahun itu telah terjadi banyak sekali hal kepadanya dan didunia kang-ouw telah mengalami perubahan hebat. Selain itu, juga kakek jembel ini telahmempertinggi ilmu kepandaiannya sehingga kalau dibandingkan dengan lima belas tahun yang lalu,tingkat kepandaiannya sudah naik dua tiga tingkat lagi.Bi Eng menatap pengemis itu dengan matanya yang bagus, dipandangi kakek itu dari kanan kiri,dari atas bawah dan tiba-tiba ia tertawa terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan punggungtangan.“Hik hik hik ....!”Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya dan berusaha membuka matanya yang sipit itu selebar mungkin. “Kau .... kaukah yang tertawa tadi?”.
Kasih Diantara Remaja
Asmaraman S. Kho Ping Hoo
03. Ciu-ong Mo-kai Pengemis Sakti
AKAN tetapi Balita merenggut anaknya, matanya mendelik kepada uwak Lui yang baru sajamemegang kaki anak itu. “Pergi kau! Aku bisa bersembahyang sambil menggendong anakku!”Uwak Lui kaget dan mundur, akan tetapi di dalam hatinya ia terheran-heran dan makin bingung,karena anak di gendongan Balita itu bukanlah puteri majikannya, bukan Bi Eng! Tadi ia sengajamemegang kaki anak itu, karena biarpun tidak melihat muka anak itu, dari kakinya saja ia dapatmengenal kalau anak itu Bi Eng adanya. Di kaki sebelah kiri Bi Eng, di dekat mata kaki, terdapatsebuah tahi lalat hitam yang merupakan tanda anak itu yang tak akan lenyap.Akan tetapi ketika ia tadi memegang kaki kiri bayi di gendongan Balita itu dan melihat denganteliti, kaki kiri anak itu bersih saja dan tidak ada tahi lalatnya. Anak itu bukan Bi Eng, dan anak kecil yang ia tidurkan itupun bukan Bi Eng. Di manakah lenyapnya Bi Eng yang asli? Diam-diamuwak Lui bingung dan berduka, akan tetapi ia hendak menyimpan rahasia ini di dalam hatinyasendiri. Biarlah, anak bayi perempuan yang sekarang berada dalam asuhannya, dia itulah Cia BiEng.Balita tidak mempergunakan hio, langsung ia berlutut di depan peti mati Cia Sun sambil menangissesambatan dan memeluki peti itu. “Kanda Cia Sun ...... tega benar kau kepadaku .... kanda Cia Sun,hidup ini tiada artinya bagi Balita .......” Ia menangis tersedu-sedu, lalu dengan beringas ia pindahke depan peti mati nyonya Cia Sun, menggedor-gedorkan kepalanya yang berambut riap-riapan itupada peti mati nyonya Cia!Uwak Lui menjadi khawatir sekali dan baiknya Balita hanya menggedorkan kepalanya perlahansaja. Akan tetapi jangan kira bahwa gedoran kepala ini hanya tanda kedukaannya, karena diam-diam ia mengerahkan tenaga lweekang untuk menghancurkan isi peti mati itu.Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dan tahu-tahu seorang pengemis yang rambutnya awut-awutan sudah berdiri di belakang peti nyonya Cia Sun. Ia menepuk-nepuk peti itu sambil berkata,“Cia-hujin, tenanglah. Orang-orang ini benar gila, menangisi kau yang sudah senang. Ha ha ha!”Balita kaget bukan main ketika kepalanya terasa sakit begitu digedorkan kepada peti mati. Iamaklum bahwa serangannya untuk menghancurkan mayat nyonya Cia telah digagalkan olehtepukan-tepukan tangan pengemis itu pada belakang peti mati. Ia mengangkat kepala memandangdan melihat pengemis yang rambutnya awut-awutan itu memegang sebuah guci arak, ia terkejut. Iapernah mendengar nama Ciu-ong Mo-kai si Raja Pengemis dari seluruh perkumpulan pengemis didaerah selatan.“Ha ha ha,” kembali pengemis itu tertawa dengan suara tinggi. “Memang dunia ini palsu. Orangyang terbebas dari derita hidup ditangisi, di balik air mata muncul kepalsuan-kepalsuan jahat. Aduh,lebih enak yang mati dari pada yang hidup harus menyaksikan segala macam kepalsuan!”Balita mundur sambil mendekap anaknya. Menghadapi seorang pengemis sakti seperti ini ia harushati-hati, apa lagi ia sedang menggendong anak.“Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, omonganmu benar. Kalau kau lebih suka mati, biar aku cobamengantarmu ke neraka.” Tangan kanan Balita menampar ke depan dan angin pukulannya darijarak jauh menyambar ke arah dada pengemis itu.Ciu-ong Mo-kai Tang pok, pengemis sakti itu sambil tertawa menegak arak dari guci araknya,kemudian menyemburkan araknya ke depan. Arak itu merupakan senjata penangkis pukulan danbegitu bertemu dengan hawa pukulan Balita arak itupun tertahan dan terpental kembali!“Ha ha, hebat! Kau perempuan Hui benar hebat!” pengemis itu memuji dan pujian ini memangsetulusnya hati karena siapa orangnya tidak kagum melihat seorang perempuan semuda itu memilikipukulan jarak jauh yang demikian kuatnya? Sebaliknya, Balita maklum bahwa pengemis itumerupakan tandingan sangat berat. Ia tidak bisa melepas anaknya untuk berkelahi, maka sambilmelompat pergi ia berkata.“Pengemis tua bangka, lain waktu aku Balita tentu mencarimu!”Pengemis itu hanya tertawa-tawa kemudian menjawab kepada bayangan Balita yang sudah pergijauh. “Jembel tua bangka buruk rupa macam aku ini mana ada harga kau cari-cari? Tentu kau lebihsuka mencari yang muda rupawan, bagus dan tampan. Ha ha ha!”Uwak Lui dan dua orang pelayan keluarga Cia serta semua penduduk dusun yang berada di situmemandang kepada pengemis itu tak senang. Mereka ini tentu saja sama sekali tidak tahu betapapengemis ini telah menolong mayat nyonya Cia dari kehancuran. Bagi mereka, pengemis itu terlalukurang ajar dan sebaliknya nyonya muda tadi patut dikasihani. Bukankah nyonya muda tadi datanguntuk berbelangsungkawa sedangkan pengemis itu datang-datang mengacau? Apalagi sekarangpengemis itu sambil tertawa-tawa dan minum arak berkata kepada mereka,“Kalian jangan menangis, tidak boleh menangisi orang mati!”Semua orang yang berada di situ saling pandang. Mereka merasa takut melihat pengemis ini, karenasikapnya dan rambutnya yang awut-awutan itu lebih pantas disebut orang yang sudah miringotaknya. Akan tetapi uwak Lui yang amat setia menjadi tak senang karena upacara perkabunganmajikannya dikacau. Ia maju menghampiri pengemis itu sambil menggendong Bi Eng. Dirogohnyasaku bajunya dan dikeluarkan sekeping uang perak, lalu diberikan kepada pengemis itu.“Nih, sedekahnya, harap sekarang kau suka pergi dan jangan mengganggu kami. Tidak tahukah kaubahwa kami sedang berduka, mengabungi kematian majikan-majikanku yang tercinta?”Pengemis itu memandang kepada uwak Lui dengan mata meram-melek sambil menyeringai, laluberkata seperti orang bersajak.
“Siapa bilang hidup lebih senang dari pada mati?Siapa bilang mati harus diantar susah hati?Samua berasal dari tiada.Dan kembali kepada tiadaBila musimnya tiba?Bukankah mati hanya pulang ke asalnya?”
Kemudian sambil menghelus-elus peti mati Cia Sun, pengemis itu berkata seperti kepada dirisendiri, “Cia Sun semasa hidup memenuhi kewajiban sebagai satria sejati, melanjutkan sepak terjang ayahnya sebagai pendekar pembela rakyat. Matipun tidak penasaran!”Mendengar ucapan ini, uwak Lui menangis dan memeluki Bi Eng. “Pengemis aneh, jangan kaumenyusahkan hati kami yang sudah berduka. Boleh kau bilang apa saja, akan tetapi tidak kasihankah kau kepada dua orang anak ini yang ditinggal mati ayah bundanya? Mereka menjadiyatim piatu, ah ...... yatim piatu .....” Uwak Lui menangis terisak-isak dan semua penduduk dusunyang berkumpul di situ juga ikut menangis.“Diam! Diam semua!” Pengemis itu membentak, lalu sekali ulur tangan ia telah merampas Bi Engdari gendongan uwak Lui yang menjadi kaget sekali.“Anak baik ..... ah, anak bertulang baik.” Pengemis yang seperti orang gila itu lalu mengayun-ayunbayi itu malah kemudian ia melemparkan bayi itu ke atas diterima lagi dan dilemparkan lagi sepertiseorang anak nakal bermain dengan sebuah bola!Uwak Lui menjerit dan melompat maju merampas anak itu. Pengemis tadi memberikan Bi Engkepada uwak Lui sambil berkata, “Jaga baik-baik muridku ini!”“Muridmu? Apa artinya ini?” tanya uwak Lui sambil mendekap anak itu.“Bibi yang baik, jangan salah menyangka orang. Aku adalah paman guru Cia Hui Gan! Aku datanguntuk menyelidiki siapa orangnya yang membunuh Cia Sun dan isterinya.”Suara pengemis itu berubah keren dan sikapnya agung, membuat uwak Lui surut mundur. Uwak Lui lalu menjura dengan hormat sambil berkata. “Terserah kebijaksanaan, taisu!”Pengemis itu tertawa-tawa lagi lalu maju melangkah ke arah peti mati. Tutup peti mati telah dipaku,akan tetapi sekali angkat saja tutup peti mati Cia Sun telah dibukanya! Ia membungkuk dan melihattanda-tanda luka di dada mayat itu. Muka mayat pendekar itu tenang, malah mulutnya agak tersenyum. Setelah memeriksa beberapa lama, pengemis itu berkali-kali mengeluarkan seruantertahan.“Aneh .... aneh sekali ..... pedang biasa, tusukan biasa ..... masa dia mati karena serangan macam itu....?”Kemudian ia menutup lagi peti mati dan sekali tekan paku-paku itu telah amblas mengunci tutuppeti. Kemudian ia membuka peti mati nyonya Cia Sun. Mayat nyonya muda ini lebih menyedihkankarena selain lehernya putus, juga mukanya luka-luka. Ciu-ong Mo-kai memeriksa leher yangterluka dan kembali ia menggelengkan kepala.“Bukan karena tenaga, melainkan karena tajamnya pedang. Heran .... heran .... lebih patut kalaudikatakan pembunuhnya seorang kanak-kanak lemah!” Akan tetapi ketika ia melihat muka nyonyamuda yang sudah menjadi mayat itu, ia mengerutkan kening.“Perempuan Hui itu masih melampiaskan marahnya melihat saingannya sudah mati. Terlalu sekali....!” Juga lalu menutup kembali peti mati dan menoleh kepada semua orang yang melihatperbuatannya ini dengan penuh rasa ngeri dan heran.“Cia Sun tidak berkeluarga kecuali dua orang anaknya. Orang yang boleh diandalkan adalah bibipengasuh ini, maka mulai sekarang semua kekuasaan mengurus rumah dan memelihara dua oranganak ini kuserahkan kepada bibi pengasuh. Siapa yang berani mengganggunya berurusan denganaku! Sekarang, saudara-saudara dari dusun di bawah puncak boleh pulang. Biar aku dan bibipengasuh mengurusnya sendiri.”Karena semua orang merasa takut, mendengar perintah ini tanpa banyak cakap mereka lalu pergidari situ. Uwak Lui tidak berani membantah! Dia bersama dua orang pelayan laki-laki yang beradadi situ hanya bisa saling pandang.“Kenapa kalian dua orang masih tidak mau pergi?” Pengemis itu bertanya ketika masih ada duaorang laki-laki berjongkok di ruang itu.“Taisu, dua orang ini adalah pelayan-pelayan di sini, semenjak kecil mereka membantu majikankami,” kata uwak Lui.Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Kalau kalian masih suka, mulai sekarang kalian menjadipelayan dia ini.” Dia menunjuk uwak Lui dan dua orang pelayan itu mengangguk. “Ayoh, kalianambilkan arak untukku!”Ketika dua orang pelayan itu ragu-ragu, uwak Lui memberi isyarat supaya mereka memenuhipermintaan Ciu-ong Mo-kai. Uwak Lui sudah terlalu lama mengikut Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun yang terdiri dariorang-orang kang-ouw yang aneh-aneh dan sakti. Sekarang ia percaya bahwa pengemis itu tentulahorang sakti yang benar-benar datang untuk menyelidik pembunuhan majikannya. Ia merasa legakarena biarpun pengemis itu wataknya aneh menakutkan, namun keselamatannya, terutamakeselamatan dua orang anak kecil yang sejak itu diasuhnya sebagai anak-anak sendiri, akan terjagadan terjamin.Ciu-ong Mo-kai tidak mau menggunakan cawan perak yang dibawakan oleh para pelayan. Iamenuang arak dari guci besar ke dalam tempat araknya sendiri lalu minum arak dari mulut gucinyayang kecil. Sambil minum arak ia bernyanyi-nyanyi dengan kata-kata yang tidak karuan.Tiba-tiba uwak Lui dan dua orang pelayan itu mendengar suara roda kereta datang di depan gedung.Mereka kembali melongo dan saling pandang. Bagaimana ada kereta bisa sampai di tempat itu?Dengan jalan kakipun amat sukar sampai di situ, apalagi berkereta. Kudapun tidak bisa naik diantara batu-batu putih yang mengitari gedung. Apakah kuda dan kereta itu bisa terbang?Benar saja. Sebuah gerobak kecil roda dua ditarik oleh seekor keledai berhenti di depan gedung itudan dari dalamnya melompat keluar seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk, bertopidan berkumis lucu seperti kumis kucing. Laki-laki itu mengambil sebuah swipoa (alat menghitung)dengan tangan kiri dan membawa sebuah cambuk di tangan kanan, lalu melangkah lebar ke ruangdepan dengan mulut tersenyum lebar. Mukanya yang gemuk itu kemerahan dan berkali-kali iamengusap muka dengan ujung lengan bajunya untuk menghapus peluhnya.Memang bagi orang-orang biasa, aneh sekali ada orang bisa naik gerobak ke tempat seperti puncak gunung Min-san ini. Orang-orang dusun situ yang sudah biasa mendaki puncak masih merasa sukar untuk mendatangi puncak yang menjadi tempat tinggal Cia Sun. Apalagi menunggang gerobak, halini merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Lebih-lebih lagi bagi seorang berpakaian sepertisaudagar yang bertubuh gemuk itu!Akan tetapi bagi Ciu-ong Mo-kai yang melihat kedatangan orang ini, bukanlah merupakan hal yanganeh atau mengherankan. Yang baru datang ini, yang ke mana saja membawa-bawa alat swipoa danpecut bukan lain adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (Si Raja Swipoa)! Bukansaudagar sembarang saudagar biarpun ke mana saja membawa-bawa swipoa, akan tetapi seorangtokoh besar di dunia kang-ouw yang bukannya tidak terkenal!Lie Ko Sianseng memang seorang saudagar dan dalam hal pekerjaan ini usahanya luas sekali,bukan hanya berdagang barang-barang yang meliputi macam barang dari hasil bumi, hewan ternak sampai sayur mayur dan emas intan. Akan tetapi adakalanya ia juga berdagang jiwa dan kepalaorang.Dengan langkah lebar Lie Ko Sianseng menuju kedua buah peti mati yang berjajar di ruangandepan itu, tanpa melirik kepada Ciu-ong Mo-kai yang duduk bersila sambil minum arak di belakangpeti-peti itu. Dari saku dalam jubahnya yang lebar, jubah saudagar, Lie Ko Sianseng mengeluarkansebungkus dupa dan menyalakan dupa-dupa itu pada lilin yang bernyala di meja sembayang depanpeti. Lalu ia acung-acungkan hio itu di atas menghadapi peti mati dan mulutnya yang tadimenyeringai sekarang bergerak-gerak, bibirnya kemak-kemik, matanya meram-melek. Sikapnyalucu sekali akan tetapi uwak Lui dan dua orang pelayan memandang dengan hormat melihatsaudagar ini bersembahyang di depan peti mati majikan mereka.“Ha ha ha!” Ciu-ong Mo-kai tertawa geli, kemudian ia bernyanyi sambil memukul-mukulkan guciaraknya pada peti mati untuk mengiringi nyanyiannya.
“Acung-acungkan hio, mulut berkemak-kemik Pikir diputar-putar, mata melirik-lirik Isi hati saudagar selalu mencari untung Orang lain siapa bisa hitung?”
Kembali Ciu-ong Mo-kai tertawa-tawa sambil minum araknya. Wajah Swi-poa-ong Lie KoSianseng menjadi makin merah dan untuk menutupi kejengkelannya karena disindir oleh rajapengemis itu, saudagar ini lalu perdengarkan doanya, tidak lagi berkemak-kemik dan tidak berbunyiseperti tadi.“Cia-enghiong, sungguh menyesal sekali sebelum sempat berkunjung memberi hormat, kau telahmeninggal dunia bersama nyonyamu. Semoga arwahmu dan arwah nyonyamu mendapat tempatyang aman dan tenteram.”Ia lalu menancapkan hio di tempat, bersoja dan duduk bersila di atas lantai, wajahnyamemperlihatkan kedukaan besar. Keadaannya demikian sungguh-sungguh membuat uwak Luiterharu sekali.Akan tetapi Ciu-ong Mo-kai menjenguk dari balik peti mati dan berkata, “Ah, makelar ulung! Kaumenyesal dan kecewa melihat Cia Sun mati, bukankah karena kau tidak bisa lagi mencatutbarangnya, sebuah surat wasihat ......?”Tiba-tiba wajah saudagar itu berubah dan kini kelihatan bersemangat sekali. Ia memandang kepadaCiu-ong Mo-kai dan suaranya lemah lembut, suara seorang saudagar yang sedang menjalankansiasat menjual dagangan atau membeli dagangan atau untuk mencari untung.“Ciu-ong yang baik, sudah lima tahun lebih tidak bertemu denganmu. Apakah baik-baik saja? Maaf tadi aku tidak melihatmu karena terlalu sedih dan terharu melihat peti mati-peti mati Cia-enghiongdan isterinya. Eh, Ciu-ong, terimalah sedekahku ini, dikumpulkan selama lima tahun walau seharisetengah chi juga menjadi banyak. Terimalah!” Saudagar itu mengeluarkan sebuah uang emas dansecara sembarangan melontarkannya ke arah Mo-kai.Bagi orang lain yang berada di situ, tentu saja perbuatan ini dianggap royal sekali. Masa memberisedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang emas yang harganya amat mahal? Akantetapi sebetulnya lemparan uang emas itu adalah sebuah tipu serangan dari ilmu menyambit Lim-chi-piauw yang amat lihai. Selain dilontarkan dengan penggunaan tenaga lweekang yang tinggi,juga mengarah jalan darah dan kiranya orang yang diserang takkan dapat menghindar lagi kalautidak memiliki kepandaian tinggi. Bagi Lie Ko Sianseng, penyerang ini bukanlah merupakanpenyerangan, lebih menyerupai kelakar untuk menguji kepandaian raja pengemis itu yang sudahbertahun-tahun tidak ia jumpai.Sinar kuning dari uang emas itu berkilat menyambar ke arah Ciu-ong Mo-kai. Pengemis maklumbahwa saudagar gemuk itu hendak mengujinya, maka ia ulurkan tangan kanan dan menerima uangemas itu. Terdengar suara “plekk!” dan ketika ia membuka tangan, uang emas itu telah berada ditelapak tangannya dalam keadaan gepeng seperti dijepit tang baja! Ini bisa terjadi karena sambitanitu luar biasa kuatnya dan telapak tangan yang menyambut luar biasa kerasnya.“Ha ha ha, dalam urusan dagang kau boleh pelit dan licik, akan tetapi menghadapi pengemis kaumenjadi dermawan. Ha ha ha, baik sekali kau, tukang catut!”“Tidak apa, Ciu-ong. Di antara kita, mana perlu bersungkan-sungkan? Eh, raja pengemis, kau tadimenyebut-nyebut tentang surat wasiat. Apakah maksudmu dengan itu?”Pengemis itu tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, Swi-poa-ong. Apakah kau kira aku ini anak kecil?Jangan kau berpura-pura lagi. Muslihatmu sebagai seorang pedagang sudah kuketahui baik. Kaukira tidak tahukah aku bahwa di antara semua orang yang mengobrak-abrik dan menggeledahrumah keluarga Cia malam tadi, juga termasuk kau? Apa yang kau cari?”Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng menggerakkan jari-jari tangannya kepada alat hitungnya. “Trek trek trek!” bunyi swipoa itu.“Angka satu hanyalah satu, angka nol tidak ada nilainya. Akan tetapi angka satu ditambah tiga nolmerupakan jumlah besar, apalagi kalau berupa potong uang emas. Jembel tua, apakah seribu potonguang emas tidak cukup untuk membeli surat wasihat itu?” Saudagar aneh itu menepuk saku bajunyayang gendut dan terdengarlah bunyi gemercing yang nyaring dan bening.Ciu-ong Mo-kai Tang Pok membelalakkan matanya yang sipit. “Eh, makelar edan, apa kau sudahgila?”“Kau sudah menyebut edan, mana bisa gila lagi?” Lie Ko Sianseng berkelakar, sama sekali tidak marah dimaki-maki oleh pengemis itu. Akan tetapi sepasang matanya masih bersinar kesungguhan.“Apa kau mau melepas surat itu untuk seribu potong emas?”Tang Pok menggelengkan kepalanya. “Kau tentu gila. Sepotong surat wasiat lapuk, biarpunmengenai rahasia harta karun belum kau ketahui berapa banyak harta itu, juga apakah masih ada.Lebih-lebih kalau dipikirkan bahwa segala macam surat wasiat belum tentu asli, mungkin bohong.”“Seorang saudagar harus berani berspekulasi, untung atau buntung. Bolehkah?”“Kau aneh ........”“Jembel tua, seribu lima ratus!”Tang Pok hanya menggeleng kepala. “Sinting kau .......!”Lie Ko Sianseng kembali mencetrek-cetrekan swipoanya, mulutnya berkemak-kemik menghitungangka, keningnya berkerut, peluhnya mengucur. Ia lalu berdiri dan mengebut-ngebutkan ujungbajunya. “Dua ribu! Nah, dua ribu kutawar, jembel. Tidak ada orang kedua di dunia ini beranimenawar dua ribu. Emas tulen!” Kembali ia menepuk-nepuk kantung uangnya di saku jubahnyayang lebar.Ciu-ong Mo-kai Tang Pok menggeleng kepala dan juga berdiri. “Kamu mimpi. Melihatpun akubelum surat wasiat itu. Aku hanya mendengar orang-orang lain dan kau yang gila harta itumenyebut-nyebut perihal surat wasihat harta karun. Aku sendiri mana butuh?”“Jadi tidak ada padamu?”“Kalau ada padaku, jangankan dua ribu potong uang emas kautawarkan, untuk sepotong uang emassaja akan kulemparkan kepadamu. Bodoh!”“Setan!” Pedagang itu memaki, lalu cambuknya menyambar udara mengeluarkan bunyi “ tar tar tar!” nyaring sekali. “Ciu-ong Mo-kai, tidak baik mempermainkan orang seperti aku. Kalau tidak didepan jenazah Cia-enghiong dan isterinya, cambukku pasti akan menikmati pantat anjing.”Tang Pok hanya mentertawakan saudagar itu yang sudah menjura di depan peti mati, lalu berjalanterhuyung-huyung ke gerobaknya kembali, naik ke gerobak dan membentak keledainya. Gerobak bergerak perlahan, diputar dan menuruni puncak.Pada saat itu terdengar bunyi cecowetan dari dalam rumah dan ketika semua orang menengok,ternyata Lim-ong monyet tua itu berlari keluar sambil memegang sebatang huncwe (pipa tembakaupanjang). Pipa itu mengebulkan asap dan dari mulut dan hidung monyet itu masih keluar asapnya,sedangkan jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabok!
“Lim-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan huncwe itu di tempatnya!” Uwak Lui memerintahkandengan bentakannya. Akan tetapi Lim-ong tidak menurut, malah melompat dari jendela danmembawa huncwe itu.Tang Pok tertawa sampai perutnya kaku melihat pemandangan lucu ini.“Biarkan dia pergi. Monyet itu pintar sekali, pintar isap tembakau, dia lebih pintar dari pada Swi-poa-ong si makelar curang! Ha ha ha!”Karena huncwe itu memang tidak dipakai, yaitu sebuah di antara barang peninggalan tuan tua CiaHui Gan yang ditaruh di meja sembahyang, maka uwak Lui dan dua orang pelayan itupun tidak mau ambil pusing lagi. Dalam keadaan berkabung seperti itu, siapa sih mau perduli tentang hal inidan mau ribut-ribut karena sebatang huncwe yang dibawa lari monyet nakal! Juga Ciu-ong Mo-kaiyang biasanya bermata tajam sekali, karena kunjungan Lie Ko Sianseng tadi dan kini sibuk denganminum arak, tidak melihat bahwa tubuh monyet itu menderita luka dalam yang amat hebat danbahwa cara monyet itu mengisap huncwe adalah cara yang amat ganjil seakan-akan monyet ituhendak mengobati lukanya dengan merokok!Dengan bantuan dua orang pelayan, Ciu-ong Mo-kai lalu menguburkan dua peti mati itu dibelakang rumah, kira-kira satu li jauhnya dari gedung itu. Setelah selesai, ia lalu berkata kepadauwak Lui dan dua orang pelayan.“Mulai sekarang, semua barang dan rumah ini berada dalam kekuasaan bibi Lui dan kalian berduaharus mentaati semua perintah bibi Lui. Boleh kalian pergunakan semua barang di sini sambilmemelihara dua orang anak keluarga Cia. Aku akan sering kali menengok ke sini dan kalau sudahtiba masanya, anak Bi Eng akan menjadi muridku. Sementara itu, tentang perawatan dan pendidikandua orang anak ini kuserahkan kepada bibi Lui. Hah, selamat tinggal!” Ia lalu meninggalkansekantong uang yang membuat bibi Lui dan dua orang pelayan itu terbelalak heran. Dari manaseorang pengemis mempunyai uang sebegitu banyak? Mereka tidak tahu bahwa Tang Pok bukanlahsembarang pengemis.****Lima belas tahun telah lewat dengan amat cepatnya tanpa terasa oleh manusia. Anak-anak menjadidewasa, orang dewasa menjadi tua, dan yang tua kembali ke asalnya, lenyap dari permukaan bumidiganti oleh manusia-manusia baru yang terlahir.“Siauw-ong (raja kecil) ......! Siauw-ong, kembalikan pitaku. Kurang ajar kau ......! terdengar suaranyaring dan merdu.Seekor monyet jantan kecil berlari-lari membawa sehelai pita sutera merah. Monyet itu berlarisambil jingkrak-jingkrak, lagaknya mempermainkan sekali. Di belakangnya mengejar seorang gadiscantik manis berusia lima belas tahun. Gadis ini jelita sekali, kulit mukanya putih halus, pipinyakemerahan dan matanya jeli seperti mata burung hong. Mulut yang kecil itu berbibir merah segar,tubuhnya ramping dan pakaiannya biarpun sederhana, tapi bersih dan terbuat dari sutera.Gadis ini sambil tertawa berlari lincah mengejar monyet itu yang dipermainkannya. Di kejar kesana lari ke sini, dikejar ke sini lari ke sana, memutari pohon sambil mencibir-cibirkan bibirnyayang tebal. Mata kecil itu mencorong nakal, kadang-kadang ia ulurkan pita ke depan, akan tetapitiap kali hendak diambil gadis cilik ini, ia lari lagi “Siauw-ong, kembalikan pitaku. Jangan nakal kau, nanti kupukul dengan ini!” Gadis itu lalumengambil sebatang ranting. Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan, monyet itumelompat dan memanjat pohon dengan amat cepatnya.Gadis itu membanting-banting kakinya, kepalanya tergeleng membuat rambut yang terlepas pitanyaitu terurai, panjang sekali sampai ke bawah punggungnya, rambut yang hitam dan gemuk. Sakinggemasnya ia mulai menangis! Mudah saja gadis ini mengucurkan air mata yang membasahi keduapipinya.Tiba-tiba ia mendengar suara monyet itu cecowetan tidak karuan dan ketika ia mengangkat mukamemandang monyet yang duduk di atas cabang pohon itu, seketika itu juga gadis yang tadi masihmenangis ini lalu tertawa terkekeh-kekeh! Ia melihat monyet itu mencoba untuk memakai pitamerah di kepalanya! Pemandangan ini memang amat lucu dan orang yang melihat tingkahnya yangnakal tentu akan tertawa akan tetapi orang itu akan lebih heran melihat sikap gadis cantik manis iniyang dapat menangis lalu tertawa pada saat itu juga, tertawa terkekeh dengan geli hati selagi air matanya masih membasahi pipinya!Namun, pemandangan lucu itu agaknya telah mengusir kemarahan dan kejengkelannya, iamengamang-amangkan tinjunya yang kecil ke atas sambil berkata.“Siauw-ong, kalau kau tidak mau kembalikan pitaku, akan kulaporkan pada Sin-ko!”Aneh, mendengar disebutnya “Sin-ko” (kakak Sin) ini, tiba-tiba monyet itu nampak ketakutan,cepat-cepat ia merayap turun dan kedua tangan diulurkan dan tubuh membungkuk seperti orangmenghormat, ia sodorkan pita itu kepada pemiliknya! Gadis itu menerima pitanya dan mengelus-elus kepala monyet nakal itu. Dia amat cinta kepada monyet ini, kawan bermainnya semenjak kecildi samping kakaknya.Tentu pembaca sudah dapat menduga siapa adanya gadis cantik lincah, mudah menangis mudahtertawa ini. Dia adalah Cia Bi Eng, puteri Cia Sun yang baru berusia tiga bulan ketika ayahbundanya meninggal dalam keadaan yang amat mengerikan. Semenjak itu dia dan kakaknya, CiaHan Sin, dirawat dengan amat teliti dan penuh kasih sayang oleh uwak Lui.Ketika Bi Eng baru berusia setengah tahun, beberapa bulan semenjak peristiwa mengerikan ituterjadi di puncak Min-san, pada suatu hari Lim-ong monyet betina tua datang terhuyung-huyungmenggendong seekor monyet kecil. Ia menurunkan monyet kecil itu di dekat Han Sin, kemudianmonyet tua itu roboh, berkelonjotan dan ...... mati! Uwak Lui menangis melihat ini karena monyetitu adalah peliharaan Cia Sun yang amat disayang.Semenjak monyet itu mencuri huncwe, ia tidak kelihatan lagi dan pada hari itu ia datang-datangmembawa seekor monyet jantan kecil dan mati di situ. Bangkai monyet itu dikubur tidak jauh darimakam Cia Sun dan isterinya, sedangkan monyet kecil itu lalu menjadi kawan bermain Han Sin danBi Eng. Uwak Lui memberinya nama Siauw-ong (raja kecil) untuk disesuaikan dengan namamonyet tua Lim-ong (raja hutan).Uwak Lui menganggap dua orang anak itu seperti anaknya sendiri. Ia merawat mereka penuh kasihsayang, malah dengan bayaran mahal ia mendatangkan seorang guru untuk mengajar mereka.Semenjak kecil, Han Sin, ternyata amat suka membaca buku, terutama cerita-cerita kuno dan kitab-kitab filsafat amat menarik hatinya. Sampai jengkel uwak Lui harus memenuhi permintaannya,mencari dan membeli kitab-kitab itu.
Baik ada Thio sianseng, guru anak-anak itu yang sebetulnya adalah seorang terpelajar, seorangsiucai yang tinggal di kampung dan tidak mau menerima jabatan pemerintah yang diam-diamdibencinya. Memang hanya orang-orang yang berjiwa rendah saja yang tidak membenci pemerintahpenjajahan seperti pemerintah Boan-cu pada waktu itu. Lima tahun kemudian setelah dua oranganak itu cukup pandai membaca menulis sehingga tidak ada yang harus diajarkan lagi, Thiosianseng meninggalkan puncak itu.Han Sin benar-benar luar biasa. Ia amat tekun membaca kitab-kitab. Bahkan kitab-kitab filsafatyang berat-berat, yang akan memusingkan otak orang-orang tua kalau membacanya, telah ia bacadan renungkan di waktu ia baru berusia belasan tahun! Ia tekun sekali dan inilah keistimewaannya,berbeda dengan Bi Eng yang tidak sabaran belajar, gadis lincah gembira yang suka bermain diudara bebas, tidak seperti Han Sin yang mengeram diri di dalam kamarnya, berkawan puluhankitab-kitabnya!Selain suka membaca kitab, juga Han Sin wataknya pendiam, sabar, namun di dalam diamnya iniada semacam pengaruh dan wibawa yang amat kuat dalam sinar mata maupun suaranya yang halus.Bi Eng amat bengal, tidak takut siapa-siapa, bahkan uwak Lui seringkali dibantahnya, apalagipelayan-pelayan lain. Akan tetapi menghadapi kakaknya yang amat dicintainya itu, ia amat penurut.Uwak Lui sendiri amat menghormat tuan muda Han Sin yang selamanya tidak pernah bohong, tidak pernah menjengkelkan hatinya karena sikapnya yang halus dan sopan, dan tidak banyak rewel.Jangankan manusia, bahkan seekor binatang kera seperti Siauw-ong, yang seperti juga Bi Eng tidak takuti siapa-siapa, menghadapi Han Sin menjadi mati kutunya, amat takut dan amat taat. Mungkinpengaruh dan wibawa yang keluar dari diri Han Sin itu tidak hanya karena pembawaan pribadinya,akan tetapi adalah karena ia suka sekali bersiulian (bersamadhi) yang ia pelajari menurut petunjuk kitab-kitab kuno itu. Dengan latihan siulian yang tanpa kenal lelah, secara tidak disadarinya HanSin telah melatih tenaga dalam dan tenaga batinnya, mempunyai hawa tian-tan yang kuat dandarahnya mengalir bersih sedangkan tulang-tulangnya menjadi kuat dan bersih pula.Sebetulnya Han Sin orangnya juga amat peramah, mudah tersenyum jarang bermuram, apalagimarah. Akan tetapi perasaan hatinya tidak pernah tergores pada mukanya yang amat tampan itu,selalu tenang, sabar dan tak banyak cakap.Itulah sebabnya mengapa Bi Eng lebih sering bermain-main dengan Siauw-ong, monyet itu. Dan didalam pergaulan sehari-hari ini terdapat suatu keanehan. Seringkali Bi Eng melihat Siauw-ongmencak-mencak seperti orang main silat, memukul sana sini dan kakinya bergeser ke sana sinisecara teratur. Ia menamakan ini “tari monyet” dan sebagai seorang anak yang tidak mempunyaikawan lain, iapun meniru-niru tarian monyet ini, meniru-niru gerak gerik Siauw-ong, memukul kesana ke mari, menggeser kaki ke sana ke sini, malah kadang-kadang meniru-niru tarikan mukamonyet itu, memoncong-moncongkan mulutnya yang mungil, malah meniru suara monyet yangcecowetan tidak karuan itu. Dasar Bi Eng bocah centil dan lincah.Ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah gerakan ilmu silat keluarga Cia yaitu ilmu silat Thian-te-kun!Monyet kecil itu dahulu meniru-niru gerakan yang suka “dimainkan” oleh Lim-ong dan sekarangBi-eng malah belajar ilmu silat keturunan keluarganya dari monyet kecil itu! Benar-benar hal yangamat aneh. Sudah tentu saja gerakan-gerakan ilmu silat itu sudah kacau tidak karuan dan sudahmenyeleweng jauh dari pada gerakan aslinya, namun tetap saja masih memperlihatkan kelincahandan kecepatan yang membuat monyet kecil itu memiliki kecepatan melebihi monyet lainnya.Ternyata bahwa pengemis aneh dahulu itu, Ciu-ong Mo-kai, agaknya melupakan janjinya karenaselama belasan tahun itu baru dua kali ia mengunjungi puncak Min-san. Yang terakhir ketika HanSin berusia sepuluh tahun dan Bi Eng berusia delapan tahun. Dua orang anak itu menyebutnya “Taisu”, ikut-ikut sebutan yang dipergunakan oleh uwak Lui kepada pengemis tua itu. Merekahanya mengenal pengemis itu sebagai “guru besar” yang amat ditakuti oleh Uwak LuiSetelah dua orang anak itu berusia belasan tahun, baru uwak Lui bercerita kepada mereka tentangkematian ayah bunda mereka. Dua orang anak itu menangis sedih mendengar cerita itu. Akan tetapiada perbedaan besar antara Han Sin dan Bi Eng ketika mendengar bahwa orang tua mereka matiterbunuh orang yang tidak ketahuan siapa. Han Sin hanya menarik napas panjang dan berkata,“Bagaimana di dunia ini ada orang begitu jahatnya membunuh ayah dan ibu? Apa kesalahan ayahdan ibu?”Sebaliknya Bi Eng berdiri dengan kedua tangan terkepal, mukanya merah dan matanya mendelik.“Aku harus mencari penjahat-penjahat pembunuh ayah ibu! Mereka itu harus dihancurkankepalanya!”Han Sin memandang adiknya dengan mata penuh teguran, “Bi Eng, apa yang kau katakan itu?”Bi Eng sadar kembali dan menundukkan mukanya. Air mata mengalir di sepanjang pipinya. “Sin-ko, ayah ibu dibunuh orang, apakah kita akan diam saja?”Han Sin memeluk adiknya dan menghapus air mata dari pipi adiknya itu, “Percayalah, adikku.Orang yang jahat akhirnya tentu akan menerima hukumannya!”Demikianlah, sampai berusia lima belas tahun, Bi Eng selalu masih tetap panas hatinya kalauteringat akan kematian ayah bundanya. Tidak ada cita-cita lain di dalam hatinya melainkan mencarimusuh-musuh itu dan membalas dendam. Sebaliknya, Han Sin lebih banyak bersembunyi di dalamkamarnya dan tak seorangpun tahu apa yang dilakukan orang muda pendiam itu.Kita kembali ke dalam taman di belakang gedung, di mana Bi Eng bermain-main dengan Siauw-ong. Sampai hampir satu jam monyet dan gadis itu mencak-mencak di bawah pohon. Akhirnya BiEng menjadi lelah dan jemu. Ia berhenti, duduk di atas sebuah batu putih dan mengikatkan pita padarambutnya.“Siauw-ong, ah, aku lelah sekali .....!” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Monyet kecil itumasih saja mencak-mencak sambil cecowetan, agaknya gembira bukan main.Tiba-tiba ada sinar putih melayang, menyambar ke arah gadis yang masih duduk dan menyusutipeluh dari lehernya dengan sehelai saputangan itu.“Awas ular!” terdengar seruan orang dan pandang mata Bi Eng yang awas memang tadi melihatsinar putih itu belang-belang hitam seperti seekor ular yang menyambar ke arah kepalanya. Karenaia seringkali melakukan “tari monyet”, otomatis kepalanya mengelak dan ular yang menyambarnyaitu tidak mengenainya. Ular belang itu terus merayap dan merambat ke pohon yang tumbuh di situ.“Aneh .... heran sekali .....! dari mana kau belajar semua ini?” terdengar suara yang tadi berseru dandari balik batu muncullah Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa.Untuk sesaat Bi Eng berdiri bingung. Memang ia masih terkejut karena diserang ular tadi dansekarang tahu-tahu di depannya berdiri seorang pengemis tua yang memegang tempat arak sambiltertawa-tawa. Ia bertemu dengan pengemis tua ini ketika ia berusia sepuluh tahun, akan tetapikarena keadaan pengemis yang amat aneh ini, ia masih teringat “Taisu ......,” katanya perlahan.“Ah, kau Bi Eng,” Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Bagus,! Bagus! Tidak kelirupandanganku dahulu. Kau berbakat baik sekali dan kiranya sekarang sudah terlampau lambat akumembuang-buang waktu. Mulai saat ini kau harus rajin-rajin belajar ilmu silat yang hendak kuturunkan semua padamu.”Bi Eng sudah dapat menenangkan pikirannya dan ia kini memandang kepada pengemis itu denganmata terbelalak. “Apa .... apa katamu? Menjadi muridmu ......?”Ciu-ong Mo-kai mengangguk lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya. Heran sekali,belasan tahun telah lewat namun tidak kelihatan ada perubahan sedikitpun juga pada diri pengemistua ini. Padahal dalam waktu belasan tahun itu telah terjadi banyak sekali hal kepadanya dan didunia kang-ouw telah mengalami perubahan hebat. Selain itu, juga kakek jembel ini telahmempertinggi ilmu kepandaiannya sehingga kalau dibandingkan dengan lima belas tahun yang lalu,tingkat kepandaiannya sudah naik dua tiga tingkat lagi.Bi Eng menatap pengemis itu dengan matanya yang bagus, dipandangi kakek itu dari kanan kiri,dari atas bawah dan tiba-tiba ia tertawa terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan punggungtangan.“Hik hik hik ....!”Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya dan berusaha membuka matanya yang sipit itu selebar mungkin. “Kau .... kaukah yang tertawa tadi?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar