Rabu, 08 Februari 2012

2) Kasih Diantara Remaja Asmaraman S. Kho Ping Hoo

Koleksi Kang Zusi
Kasih Diantara Remaja
Asmaraman S. Kho Ping Hoo

 02. Bayi Perempuan Siapa ........??

CIA SUN tiba-tiba tertawa mengejek. “Baik, sam-wi losuhu. Lepas dari pada tahu atau tidaknyaaku tentang surat wasiat itu, aku ingin sekali mengetahui. Sam-wi adalah tiga orang hwesio tuayang sepatutnya melakukan hidup suci dan beribadat, melepaskan diri dari ikatan duniawi, kenapasam-wi mencari surat wasiat tentang harta karun? Apakah kalau sudah mendapatkan harta karun,sam-wi lalu hendak memelihara rambut dan berubah menjadi hartawan-hartawan?”Merah muka tiga orang hwesio itu. Inilah penghinaan yang amat besar, mereka anggap penghinaankarena memang cocok sekali dengan idam-idaman hati mereka. Siapa orangnya tidak kepingin kayaraya, pikir mereka membela diri.“Cia-sicu, tak usah banyak komentar. Pendeknya kau berikan atau tidak surat wasiat Lie Cu Sengitu?”Sebagai jawaban, Cia Sun meloloskan pedangnya dan melintangkan senjata ini di depan dadanya.“Sekali lagi kutekankan, Thian-san Sam-sian. Aku Cia Sun bukan seorang yang suka membohong.Aku tidak pernah mendengar atau melihat surat wasiat yang kalian maksudkan itu. Terserah maupercaya atau tidak.”“Kalau begitu kau harus membayar hutang ayahmu!” Sambil berkata demikian Gi Thai Hwesiomulai menyerang, diikuti oleh dua orang sutenya. Penyerangan mereka teratur dan amat kuat,merupakan barisan Sha-kak-tin (Barisan segi tiga) yang berbahaya.Akan tetapi Cia Sun adalah seorang pendekar yang sudah banyak mengalami pertempuran, ilmukepandaiannya tinggi sekali dan ia sudah memiliki ketenangan. Selama ia menghadapi musuh-musuh yang amat banyak, baru sekali karena kepandaian puteri Hui itu memang luar biasa dananeh. Kini menghadapi keroyokan Thian-san Sam-sian, ia bisa berlaku tenang dan pedang iagerakan cepat memutari tubuhnya merupakan benteng kuat melindungi tubuh sambil kadang-kadang sinar pedangnya menyelonong ke kanan kiri untuk mengirim serangan-serangan yang tak kalah hebatnya.Pertempuran kali ini malah lebih hebat dari pada tadi ketika Cia Sun melawan Ang-jiu Toanio.Empat batang pedang berkilauan saling sambar di antara sambaran tiga buah tasbeh yangbergulung-gulung sinarnya. Selama menanti sampai belasan tahun semenjak dikalahkan oleh CiaHui Gan, Thian-san Sam-sian telah melatih diri dengan tekun, maka kepandaian mereka kalaudibandingkan dengan dahulu ketika menghadapi ayah Cia Sun, sekarang mereka telah menjadi lebihkuat dan lihai.Namun, Cia Sun juga telah mendapatkan kemajuan sehingga pada saat itu tingkat ilmu silatnyasudah melampaui tingkat ayahnya. Maka pertempuran ini adalah pertempuran mati-matian yangmembuat tubuh mereka lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka. Hanya debu mengebul keatas dan para pelayan menjauhkan diri dengan muka pucat.

Kera kecil yang sudah sejak tadi muncul, mengeluarkan bunyi cecowetan dan kaki tangannyabergerak-gerak seperti orang bersilat. Kera inipun bukan kera sembarangan karena sudah dapatmenggerak-gerakan ilmu silat yang sering ia lihat kalau tuannya, Cia Sun, berlatih. Akan tetapimenghadapi tiga orang hwesio yang demikian lihai, tentu saja ia tidak berani mendekat, hanya ributsendirian bersilat melawan angin sambil mengeluarkan bunyi seakan-akan menjagoi tuannya danmemaki-maki tiga orang hwesio itu.Sebetulnya kalau melawan seorang di antara tiga hwesio itu, tentu Cia Sun akan menang. Tingkatkepandaiannya masih lebih menang setingkat dari pada seorang di antara mereka. Akan tetapidikeroyok tiga, ia sibuk juga dan terdesak hebat. Monyet peliharaannya, Lim-ong, makin ribut.Agaknya binatang ini mengerti bahwa tuannya terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya.Monyet ini sudah terlampau sering ikut tuannya merantau dan menyaksikan Cia Sun bertempur,maka matanya menjadi awas dan ia dapat melihat keadaan pertempuran.Pada suatu saat, pedang di tangan Gi Thai Hwesio dan tasbeh di tangan Gi Hun Hwesio menyambar dengan cepat dan berbareng ke arah tubuh Cia Sun. Pendekar ini cepat menggunakan pedangnya,sekali tangkis ia dapat membikin terpental dua senjata ini. Akan tetapi pada saat itu, Gi Ho Hwesiomenyerangnya dengan sambaran tasbeh ke arah kepala dan tusukan pedang ke arah perut. Monyetkecil menjerit ngeri.Cia Sun merendahkan tubuhnya dan melintangkan pedang. Tasbeh melayang melewati ataskepalanya dan pedangnya bentrok dengan pedang lawan. Pada saat berikutnya Gi Thai Hwesio danGi Hun Hwesio sudah menyerangnya lagi, membuat ia kewalahan dan meloncat ke sana sini sambilmenangkis dengan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Namun tetap saja pundak kirinya terkenasambaran tasbeh di tangan Gi Thai Hwesio. Biarpun ia tidak sampai terluka karena keburumengerahkan tenaga lweekang ke arah pundaknya, namun ia merasa pundaknya sakit sekali dangerak-gerakannya menjadi kurang lincah karenanya. Dengan terpukulnya pundak kirinya Cia Sunmenjadi semakin terdesak dan keadaannya benar-benar berubah berbahaya.“Orang she Cia, apakah kau masih membandel?” tanya Gi Thai Hwesio, membujuk karena melihatpihaknya terdesak.“Aku tidak tahu tentang surat wasiat!” kata Cia Sun sambil memutar pedang menghalau hujansenjata.“Kau memang sudah bosan hidup!” kata Gi Hun Hwesio membentak dan kini tiga orang hwesio itumengerahkan tenaga memperkuat serangan. Cia Sun terhuyung mundur, kedudukannya berbahayasekali dan gerakan pedangnya sudah lemah.Tiba-tiba terdengar angin bersiutan dan tiga orang hwesio itu mengeluarkan suara kaget sambilmelompat mundur terhuyung-huyung. Tiga buah pisau kecil runcing telah menancap di pundak mereka, pundak sebelah kanan dan tepat sekali mengenai urat besar membuat tangan kanan merekalumpuh. Mereka menjadi pucat dan tahu bahwa Cia Sun dibantu orang pandai.“Kami akan kembali lagi .....!” Gi Thai Hwesio menggerutu sambil pergi dari situ diikuti oleh duaorang sutenya. Mereka maklum bahwa untuk melawan terus percuma saja setelah mereka menderitaluka yang cukup hebat itu, maka sebelum pembantu Cia Sun muncul dan mendatangkan kerugianyang lebih besar lagi kepada mereka, lebih dulu paling baik mereka angkat kaki.Cia Sun maklum bahwa ia dapat bantuan orang. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan muka girangseperti monyetnya yang sekarang bertepuk-tepuk tangan melihat tiga orang lawan tuannya itumelarikan diri. Ia mengenal pisau-pisau kecil itu. Mengenal pisau yang merupakan hui-to (pisau terbang) ini yang lihainya bukan kepalang. Ia tahu siapa penyambitnya dan karenanya, biarpun iatelah dibebaskan dari bahaya maut, mukanya malah menjadi suram.Dugaannya tidak meleset. Terdengar anak kecil menangis dan muncullah Balita mengendonganaknya!“Hik hik,” Balita tertawa mengejek. “Kanda Cia Sun, kalau tidak ada aku, bukankah kau sudahmenjadi mayat di tangan tiga orang anjing gundul tadi? Kanda Cia Sun, biarlah aku tinggal dirumahmu ini sebagai penjaga keselamatanmu.”“Balita, kenapa kau masih saja menggangguku? Pergilah, aku lebih baik mati dari pada kau dekati!”Cia Sun menjawab marah.Balita hendak memaki, sepasang matanya sudah mendelik, mukanya sudah menjadi merah sekali,akan tetapi tiba-tiba dari pintu depan muncul seorang wanita muda cantik menggendong anak kecilpula. Melihat wanita itu, tiba-tiba sikap Balita berubah. Ia pura-pura tidak melihat, akan tetapi laluberkata dengan suara mohon dikasihani, “Kanda Cia Sun, kenapa kau begitu kejam kepadaku?Tidak ingatkah kau betapa selama tiga hari tiga malam kita saling mencinta sebagai suami isteri?Tidak ingatkah kau bahwa yang kugendong ini adalah anakmu? Ah, kanda Cia Sun ..... apakah kautidak kasihan kepadaku dan anakmu ini .....?”Cia Sun juga melihat betapa isterinya keluar dan menjadi pucat sekali mendengar dan melihat sikapBalita, malah isterinya lalu menangis dan sambil merintih lari lagi masuk ke dalam gedung.“Siluman, jangan kau ngaco tidak karuan!” bentaknya.Balita tertawa. Sikapnya berubah lagi setelah isteri Cia Sun masuk ke dalam.“Hik hik hik! Cia Sun, kau tidak tahu bahayanya menyakiti hati seorang wanita. Baik, kautunggulah saja pembalasanku. Hik hik hik!” Balita lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ,cepat sekali seperti melayang dan sebentar saja lenyap di balik batu-batu putih yang mengelilingipuncak itu.Cia Sun berdiri seperti patung. Hatinya gelisah sekali. Baginya sendiri, ia tidak takut menghadapibahaya. Akan tetapi dalam ancaman Balita tadi terkandung sesuatu yang mengerikan. Bagaimanakalau iblis wanita itu mengganggu isteri dan anak-anaknya? Balita memiliki ilmu kesaktian yangluar biasa dan ia tahu andaikata Balita menghendaki nyawanya, nyawa isteri dan anak-anaknya, diasendiri tidak berdaya menolaknya. Tidak ada yang akan dapat menolongnya, demikian pikirnyadengan gelisah.Tiba-tiba ia teringat akan seorang sakti yang masih terhitung susiok (paman guru) ayahnya. Orangsakti itu bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai (Raja Arak Pengemis Setan) bernama Tang Pok,seorang pengemis aneh yang telah diangkat menjadi kai-ong (raja pengemis) dari seluruhperkumpulan pengemis di daerah selatan. Untuk daerah selatan, boleh dibilang Ciu-ong Mo-kaiTang Pok adalah orang sakti nomor satu yang jarang ada lawannya.“Kalau saja susiok-couw sudi membantuku, tentu dia dapat mengusir Balita ......” Cia Sun berkataseorang diri sambil menarik napas panjang. Akan tetapi di mana dia bisa mencari susiok-couw itu?Tempat tinggal Ciu-ong Mo-kai tidak tentu, dia seorang perantau yang tidak pernah bertempattinggal di suatu tempat. Muncul di sana sini dan wataknya amat aneh. Andaikata dapatditemukannya juga, belum tentu sudi membantunya.

Kembali Cia Sun menarik napas panjang, kemudian ia teringat kepada isterinya. Tentu dia cemburu,pikirnya. Tentu dikiranya aku bermain gila dengan Balita sampai mempunyai anak yang tidak sah.Cia Sun tersenyum pahit. Balita telah melakukan pembalasan, biarpun hanya dengan menimbulkankebakaran dalam rumah tangganya. Memang patut ia dihukum karena perbuatannya yang ia sendirianggap tidak patut itu. Dengan perlahan ia lalu berjalan menuju ke pintu.Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras. Cepat ia membalikkan tubuh dan masih sempatmelihat betapa sebuah batu putih yang besar telah hancur berkeping-keping. Kemudian di bekastempat batu itu berdiri seorang tosu yang bertubuh tegap dan bersikap keren. Di punggung tosu ituterselip sebatang pedang. Entah dari mana datangnya tosu itu, dan sepasang matanya membuat CiaSun terpaku di mana ia berdiri. Mata tosu itu bukan seperti mata manusia, bersinar-sinar menakutkan. Rambutnya digelung ke atas, jenggot dan kumisnya lebat. Sukar menaksir usianya,karena rambut dan brewoknya masih hitam, akan tetapi pada mukanya terbayang usia tua.Karena terpesona oleh sinar mata yang luar biasa itu, Cia Sun sampai tak dapat mengeluarkan suarauntuk menegur atau menyambut, hanya berdiri memandang. Ia seorang yang pemberani dan tabah,namun sinar mata itu benar-benar membuat hatinya berdebar. Di dalam sinar mata itu terkandungancaman yang bahkan lebih mengerikan dari pada ancaman Balita.Tosu itu membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang parau dan serak seperti suara burunggagak. “Bocah she Cia! Kau berikan surat wasiat Lie Cu Seng kepada pinto (aku)!”Cia Sun tercengang. Sudah dua kali orang menyebut-nyebut tentang surat wasiat Lie Cu Seng yangsama sekali tidak mengerti di mana tempatnya.“Totiang,” jawabnya sebal. “Aku benar-benar tidak tahu apa itu surat wasiat Lie Cu Seng.”Tosu itu tidak berubah air mukanya, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia marah. “Bocahtidak tahu diri, kau kira sedang berhadapan dengan siapa berani membantah?” Setelah demikian,tosu itu menggerakkan tangan kiri ke depan perlahan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya Cia Sunketika ia merasakan adanya dorongan yang tidak kelihatan, hawa pukulan yang bukan main kuatnyasehingga biarpun ia sudah mengerahkan lweekangnya, tetap saja ia terjatuh terjengkang! Belumpernah selama hidupnya ia menghadapi manusia sehebat ini pukulan jarak jauhnya. Bahkan Balitasendiri kiranya tidak sekuat ini!“Apa sekarang kau masih berani banyak membantah?” terdengar lagi tosu menyeramkan itumendesak.Cia Sun sudah merayap bangun, wajahnya pucat. Jarak antara dia dan tosu itu ada lima tombak jauhnya, namun dengan pukulan jarak jauh seenaknya saja tosu itu mampu merobohkannya. Benar-benar bukan lawannya. Akan tetapi kalau betul-betul dia tidak tahu menahu tentang surat wasiat itu,bagaimana?“Totiang, aku benar-benar tidak tahu tentang surat wasiat yang totiang maksudkan itu .....”Sepasang mata tosu itu mengeluarkan sinar yang membuat Cia Sun seakan-akan merasa dibelek dadanya dan dilongok isi hatinya. Kemudian tosu itu berkata lagi, “Tidak diberikan ya tidak apa.Rebahlah kau!” Kini tangan kirinya kembali didorongkan ke depan, tidak perlahan seperti tadimelainkan disentakkan.Cia Sun hendak mengelak karena dapat menduga bahwa ia diserang secara hebat sekali, akan tetapitiba-tiba saja tosu itu menarik kembali tangannya dan wajahnya memperlihatkan penasaran. Dari belakang rumah gedung itu berkelebat bayangan seorang pengemis jangkung kurus yangpakaiannya penuh tambalan, rambut dan jenggotnya awut-awutan dan memegang sebuah tempatarak. Hanya sekelebatan saja Cia Sun melihat bayangan ini yang tertawa terkekeh-kekeh, lalulenyap kembali. Tosu itu juga berkelebat lenyap dan Cia Sun hanya mendengar suara tinggi kecilberkata mencela.“Hoa Hoa Cinjin masih suka menggoda segala orang muda, lucu sekali!” Dalam ucapan initerkandung ejekan berat.Lalu terdengar suara parau si tosu tadi, “Pengemis iblis, kau mencari apa keliaran di sini?”Suara-suara itu terdengar dari tempat jauh sekali, tanda bahwa dua orang aneh itu sudah pergi jauh,meninggalkan Cia Sun yang berdiri termangu-mangu. Itulah Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, pikirnya.Tak salah lagi. Ayahnya dulu pernah menggambarkan keadaan susiok-couwnya, seorang pengemisyang membawa tempat arak. Akan tetapi ia merasa kecewa sekali mengapa kakek itu tidak mausinggah di rumahnya. Betapapun juga ia dapat merasa bahwa munculnya kakek pengemis itu telahmenolong nyawanya dari ancaman tosu yang bernama Hoa Hoa Cinjin.Hoa Hoa Cinjin! Teringat akan nama ini tiba-tiba jalan darah di tubuh Cia Sun serasa membeku.Mengapa tadi ia lupa? Hoa Hoa Cinjin! Ah, siapa orangnya yang tidak pernah mendengar nama ini?Seorang saikong yang amat jahat, ditakuti seluruh orang kang-ouw, memiliki kepandaian yangjarang keduanya di kolong langit. Bagaimana orang seperti ini yang jarang dijumpai orang, tiba-tibamuncul di situ? Dan kemunculan Ciu-ong Mo-kai, apa pula artinya ini?Cia Sun menarik napas panjang. Di dunia ini banyak sekali orang-orang sakti, pikirnya. Ia merasadirinya kecil, lupa bahwa dia sendiri juga dianggap sebagai seorang pendekar yang sakti olehpuluhan ribu orang, karena tingkat kepandaian Cia Sun sebetulnya sudah mencapai tingkat tinggidan tidak sembarang orang dapat menandinginya.****Tepat seperti yang diduga oleh Cia Sun, isterinya menangis saja di dalam kamar tanpa maumenjawab pertanyaan-pertanyaan. Ia tahu betapa besar cinta isterinya kepadanya, dan tahu pulawatak isterinya yang amat cemburu di samping cintanya. Tentu munculnya Balita tadi menusuk perasaannya dan membakar hatinya.“Isteriku, jangan kau percaya obrolan wanita tadi. Dia itu seorang iblis betina,” Cia Sun menghibur isterinya.“Kau manusia kejam .... ahh .... lebih baik aku mati saja ....” ratap nyonya Cia sambil menangiskemudian menutupi kepalanya dengan bantal, tidak mau lagi mendengarkan suaminya.Percuma saja Cia Sun menghibur isterinya karena tidak didengarkan lagi. Sambil menghela napasduka Cia Sun mengangkat anak perempuannya yang menangis dan didiamkan ibunya, menimang-nimangnya sampai anak itu tertidur, hatinya berduka sekali.Semua pelayan dalam rumah yang berjumlah tiga orang, yaitu dua orang pelayan laki-laki danseorang pelayan wanita tua yang semenjak Cia Sun masih kecil telah menjadi pelayan Cia Hui Gan,merasa ketakutan dengan adanya peristiwa-peristiwa siang tadi. Dua orang pelayan laki-laki sudahbersembunyi di kamar belakang tidak berani keluar.

Pelayan wanita she Lui yang amat setia, dengan tubuh gemetar dan muka pucat menjaga di depanpintu kamar majikannya, mendengar tangis nyonyanya dan iapun ikut menangis. Siang tadi sambilbersembunyi ia melihat segala kejadian, melihat pula kedatangan wanita cantik dengan rambut riap-riapan yang menggendong anak. Sebagai seorang wanita yang sudah tua dan banyak pengalaman, iadapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu tuannya telah mempunyai anak di luar dan kini terjadipercekcokan antara tuan dan nyonyanya.Malam itu amat menyeramkan bagi uwak Lui dan dua orang pelayan laki-laki. Malam gelap dansunyi sekali, seakan-akan meramalkan datangnya malapetaka yang mengerikan. Uwak Lui yangberada di luar kamar akhirnya tertidur di atas lantai. Ia tidak merasa betapa angin malam bertiupperlahan mendatangkan hawa dingin sekali.Tengah malam lewat, keadaan makin sunyi. Tiba-tiba uwak Lui terkejut karena kakinya ditarik-tarik Ketika ia membuka mata, ia melihat Lim-ong, monyet kecil itulah yang menarik-narik kakinya. Kemudian monyet itu meloncat dan melesat pergi, lenyap ditelan gelap. Akan tetapi uwak Lui tidak memperdulikannya lagi karena ia amat tertarik oleh suara-suara yang terdengar di saat itu.Mula-mula terdengar suara wanita tertawa menyeramkan, suaranya terdengar dari dalam kamar majikannya. Hatinya tidak enak. Biarpun suara ketawa ini menimbulkan bulu badannya berdirisemua, dengan nekat ia membuka pintu kamar dan terhuyung-huyung masuk. Pelita di atas mejamasih bernyala, mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan di dalam kamar yang setengahgelap itu.Hampir saja uwak Lui terguling roboh pingsan ketika matanya yang tua melihat apa yang berada dikamar itu. Majikan perempuan, nyonya Cia telentang di atas ranjang mandi darah, lehernya hampir putus! Dan majikannya Cia Sun, menggeletak di lantai dekat ranjang, juga mandi darah dengandada penuh luka-luka! Matanya yang kurang awas masih melihat berkelebatnya bayangan keluar jendela.“Ya, Tuhan .......!” Suara ini hanya mengganjal tenggorokannya saja. Dengan mata terbelalak iamelangkah maju ke tempat tidur dua orang anak kecil yang berada di pojok kamar. Ia melihat HanSin, anak laki-laki berusia dua tahun itu duduk di atas kasur menggosok-gosok matanya dan Bi Eng,bayi berusia tiga bulan itu mulai menangis. Cepat uwak Lui merahi bayi itu, digendongnya dengantangan kiri dan memondong Han Sin dengan tangan kanan, lalu lari keluar tersaruk-saruk. Daritenggorokannya keluarlah kini teriakan-teriakan menyayat hati.“Tolong .....! Tolong .....! Ya, Tuhan ...... tolonglah ......!” Ia membawa dua orang anak itu lari kekamar belakang, menuju ke kamar belakang, menuju ke kamar dua orang pelayan laki-laki. Sampaidisitu ia menggedor-gedor pintu, akan tetapi dua orang pelayan laki-laki itu saling peluk di kamar,tidak berani keluar!Sambil menangis tidak karuan uwak Lui lalu tinggalkan kamar itu, lari ke kamarnya sendiri. Iamenurunkan Han Sin dan Bi Eng di atas tempat tidurnya. Dua orang anak itu mulai menangis danuwak yang setia ini, sekarang sibuk menghibur dan menidur-nidurkan mereka.”Ketika memandang kepada Bi Eng, hampir ia menjerit. Ini bukan Bi Eng! Bukan! Bukan bayi yangsetiap hari ia gendong, bukan anak majikannya! Ia menoleh kepada Han Sin. Anak laki-laki itumemang betul Han Sin, putera sulung majikannya. Akan tetapi bayi perempuan ini, biarpun sebayadengan Bi Eng, terang sekali bukan bayi perempuan majikannya! Uwak Lui bingung bukan main.Dari mana datangnya bayi perempuan yang juga amat montok dan mungil ini? Bayi ini mempunyaitanda kecil merah di bawah telinga sedangkan Bi Eng tidak. Di mana Bi Eng .....?

Uwak Lui teringat kembali kepada majikan-majikannya ketika dua orang anak itu sudah tertidur. Iaharus kembali ke kamar itu. Ia bergidik dan kembali dadanya sesak. Air matanya mengucur keluar.Tidak kuasa ia memandang isi kamar yang amat mengerikan itu. Akan tetapi, masa harus didiamkansaja? Dan siapa tahu, barangkali Bi Eng masih berada di kamar itu.“Aduuuhh ........ Cia-siauwya ....... Cia-hujin .....” dengan air mata mengucur dan langkahterhuyung-huyung, nyonya tua yang amat setia dan sudah menganggap majikan-majikannya sepertianak-anaknya sendiri, menuju ke kamar maut tadi.Hampir ia tidak kuat berdiri lagi ketika sudah memasuki kamar. Hampir ia tidak kuat menahan jerittangisnya. Akan tetapi ia menguatkan hatinya dan matanya mulai mencari-cari, siapa tahu Bi Engmasih ketinggalan di situ. Akan tetapi tidak ada anak lain lagi. Sekarang baru ia menuju ke tempattidur dan menubruk majikannya.“Cia-hujin .....!” Tiba-tiba matanya terbellak. Penuh kengerian ia memandang muka nyonya Cia.Muka yang biasanya tersenyum ramah dan cantik itu kini telah rusak, pecah-pecah pipi dankeningnya. Ia terbelalak heran. Tadi ia tahu benar bahwa nyonyanya ini hanya terluka di lehernyasaja, hampir putus. Akan tetapi mukanya tidak apa-apa. Kenapa sekarang menjadi rusak muka ituseperti ada orang yang datang lagi merusaknya?Ia menengok ke arah tubuh Cia Sun yang menggeletak di lantai. Kembali ia terbelalak dan hampir menjerit. Matanya penuh ketakutan memandang ke sana ke mari, mencari-cari apakah di situ tidak ada orang lain. Benar-benar aneh dan mengerikan. Tadi Cia Sun menggeletak dengan baju penuhdarah karena luka-luka di dada. Akan tetapi sekarang darah itu tidak kelihatan lagi karena tubuhnyatelah tertutup oleh sehelai selimut yang aneh. Selimut indah dari sutera kuning, selimut yang belumpernah ia lihat sebelumnya! Saking herannya uwak Lui menghampiri mayat Cia Sun.Benar saja selimut itu asing, jangankan di dalam rumah, malah selamanya ia belum pernah melihatselimut seperti itu. Corak dan warnanya aneh sekali, akan tetapi amat indahnya. Tak terasa laginyonya tua ini memegangi selimut itu, meraba-raba kainnya yang halus dan hangat.Dengan selimut masih d tangan dan mulutnya sesambatan sambil menangis, tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari atas genteng! Suara tangis terisak-isak.“Ah .... kanda Cia Sun ...... kanda Cia Sun ....... kau tega tinggalkan aku ......!” Tangis itu makintersedu-sedu dan uwak Lui dapat mengenal suara itu. Suara Balita. Siang tadi ia telah mendengar pula suara wanita cantik yang aneh itu.Kemudian tangis terhenti dan berubah suara ketawa yang merdu sekali akan tetapi yang membuatuwak Lui menggigil seluruh tubuhnya. Ia teringat akan dua orang anak kecil yang ditinggalkan,maka saking khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang kurang baik, ia cepat berlari meninggalkankamar majikannya, menuju ke kamarnya sendiri. Saking bingung, duka, takut, dan kaget, uwak Luiyang tua ini sampai lupa bahwa selimut kuning itu masih ia pegang dan terbawa olehnya ketika ialari ke kamarnya.Setelah tiba di kamar, ia cepat-cepat menjenguk Han Sin yang masih tidur di samping adiknya.Akan tetapi ketika ia memandang kepada bayi perempuan yang mempunyai tanda merah di dekattelinga, uwak ini menjerit dan selimut yang dipegangnya tadi jatuh ke atas lantai. Ia mundur duatindak, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandangi wajah anak perempuan yang tidur nyenyak. Kemudian ia melangkah maju lagi untuk memandang lebih teliti.

Naik sedu sedan dari dada uwak itu. Wajahnya lebih pucat dari wajah mayat-mayat yang berada dikamar majikannya. Anak perempuan yang berada di situ ternyata telah berubah pula! Ini bukananak yang ada tanda merah di dekat telinganya tadi. Anak ini juga perempuan juga sebaya, jugamontok dan mungil, akan tetapi bukan Bi Eng juga bukan anak perempuan yang bertanda merahtadi! Heran, ajaib! Apakah yang terjadi? Tidak kuat uwak ini menghadapi semua ini.“Siluman .....! Iblis .....! Tolong .... tolong ......!” Ia berlari sampai terjatuh-jatuh menuju ke kamar dua orang pelayan, dan kini ia menggedor terus pintu kamar pelayan-pelayan itu yang dengan tubuhmenggigil membuka pintu dan mereka mendapatkan uwak Lui sudah terguling roboh di depan kakimereka, pingsan!****Ketika pelayan-pelayan yang tiga orang itu mengurus jenazah Cia Sun dan isterinya pada tengahmalam itu, mereka merasa ketakutan. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk, seperti orang-orangberjalan di dalam rumah dan meja kursi terbalik. Akan tetapi tidak kelihatan orangnya, hanya adaangin bersiutan yang beberapa kali membuat pelita padam. Dengan tangan menggigil pelayan-pelayan itu menyalakan kembali pelita tanpa berani melihat apakah yang menyebabkan datangnyasuara-suara itu. Uwak Lui lalu memasang hio dan bersembahyang, mohon kepada Thian supayamelindungi mereka dan mengusir siluman-siluman itu!Pada keesokan harinya suara-suara itu lenyap dan setelah terang barulah ketahuan bahwa rumahgedung itu telah digeledah dengan teliti sekali. Sampai-sampai kamar mandi diperiksa semua. Peti-peti dibuka, lemari-lemari dibongkar. Akan tetapi anehnya tidak ada barang yang hilang.Seorang di antara pelayan laki-laki lalu lari ke bawah puncak, ke dusun terdekat untuk mintabantuan penduduk dusun. Karena nama Cia Sun sudah dikenal baik sebagai seorang dermawan dansudah banyak pendekar ini menolong mereka, maka berduyun-duyun penduduk dusun itu datanguntuk melayat dan membantu penguburan jenazah Cia Sun dan isterinya.Uwak Lui diam-diam mengasuh Han Sin dan adiknya. Sama sekali ia tidak mau bicara tentangditukarnya Bi Eng sampai dua kali, karena ia tahu bahwa kalau ia bicara tentang itu, tentumenimbulkan geger dan juga bagi dia sama saja apakah asuhannya itu benar-benar Bi Eng ataubukan. Anak kecil yang terakhir ditukarkan ini amat manis dan montok, sehat dan mungil tidak kalah oleh Bi Eng yang asli. Maka ia berjanji di dalam hati tidak akan membuka rahasia ini dantetap menyebut anak kecil itu dengan nama Bi Eng.Malam tadi tidak hanya terjadi keanehan di dalam gedung yang menimbulkan rasa takut hebat padatiga orang pelayan itu. Juga di dalam hutan tak jauh dari puncak itu terjadi hal yang aneh. Kelihatandi dalam hutan itu Balita menggendong anak sambil sebentar-sebentar menangis dan sebentar-sebentar tertawa.Tiba-tiba dari atas dahan pohon melompat seekor kera terus menyerangnya dan mencoba untuk merampas bayi yang dipondongnya, Monyet ini bukan lain adalah Lim-ong, monyet peliharaan CiaSun yang memang biasanya suka bermalam di pohon-pohon. Serangan monyet ini bagi orang laintentu ganas dan berbahaya. Akan tetapi tidak demikian terhadap Balita. Sekali saja wanita inimenggerakkan tangannya, tubuh monyet itu terlempar jauh dan jatuh tak bergerak lagi! SetelahBalita pergi, baru monyet itu bergerak perlahan, mengerang dan merayap perlahan memasukisegerombolan pohon.Di lain bagian dari hutan itu, Ang-jiu Toanio juga menggendong anaknya, berlari-lari. Tiba-tibaterdengar suara geraman hebat sehingga hutan bagian itu seakan-akan tergetar. Kemudian munculah seekor harimau yang besar sekali, sikapnya galak, kulitnya loreng dan taringnya besar runcing. Dibelakang harimau ini muncul pula seorang laki-laki tinggi gundul, telinganya pakai anting-anting,mukanya lucu, kepalanya yang gundul meruncing ke atas. Dilihat dari wajahnya, jelas bahwa diabukan orang Han.Baik harimau maupun orang aneh itu tidak memandang kepada Ang-jiu Toanio, melainkan kepadabayi yang digendongnya, nampaknya keduanya merasa mengilar sekali!Ang-jiu Toanio adalah seorang berkepandaian tinggi yang tentu saja tidak takut melihat harimau itu,malah ia menjadi marah dan membentak keras, “Setan! Suruh pergi kucingmu itu sebelum kubikinmampus dia. Bikin kaget anakku saja.”Akan tetapi orang gundul itu tertawa ha ha, he he, lalu bicara dengan suara bindeng (suara hidung),“Belikang anakmu padanya, dia lapang!”Selain bindeng, juga bicaranya tidak jelas, tanda bahwa dia itu seorang asing.Ang-jiu Toanio yang sudah banyak melakukan perantauan, mengerti bahwa dia berhadapan denganseorang Mongol. Sebetulnya ia merasa geli mendengar suara yang bindeng itu, akan tetapi karenamendengar kata-kata yang minta anaknya untuk dijadikan mangsa macan itu, ia menjadi marahsekali dan lenyap geli hatinya.“Binatang, jangan main gila di depan Ang-jiu Toanio!” bentaknya.“He he he, aku Kalisang tidak takuti segala tangang melah atau tangang hitam!”Ang-jiu Toanio makin marah, akan tetapi tiba-tiba macan itu menubruk dengan kekuatan yangdahsyat dan cepat sekali. Ang-jiu Toanio mengelak dan hendak mengirim pukulan, akan tetapiorang Mongol yang bernama Kalisang itu sudah melompat ke depan dan mengulur tangannya yangpanjang untuk menjambret pundaknya. Ia cepat menggunakan tenaga Ang-see-chiu untuk menangkis.“Plak!” Dua tangan bertemu dan orang Mongol itu miring tubuhnya, kesakitan dan panas sekalitangannya bertemu dengan si Tangan Merah. Akan tetapi alangkah kagetnya Ang-jiu Toanio ketikatangan kiri lawannya tiba-tiba mulur panjang sekali dan tahu-tahu tangan itu sudah dapat merampasanaknya dari gendongan.“Jahanam, kembalikan anakku!” Ang-jiu Toanio menubruk maju menyerang si tangan panjang yanglihai itu. Akan tetapi Kalisang sudah melompat ke belakang dan terus saja lari cepat bukan main.Kedua kakinya yang kecil panjang-panjang itu berlari seperti terbang saja.Ang-jiu Toanio terus mengejar, akan tetapi harimau besar itu menghadangnya dan menubruk daripinggir. Dalam kegemasannya, Ang-jiu Toanio memukul dada harimau dengan tenaga Ang-see-chiu.“Bukk!” Tubuh harimau yang besar terlempar ke belakang. Akan tetapi tubuh harimau itu kuatsekali dan karena dia bukan manusia sehingga jalan darah dan otot-ototnya tidak sama denganmanusia pula, maka pukulan tadi hanya membuat ia sakit dan terlempar, sama sekali tidak mendatangkan luka di dalam tubuh. Ia menggereng keras dan menyerang lagi.Ang-jiu Toanio gemas bukan main. Dengan halangan ini, terpaksa ia tidak dapat mengejar si tanganpanjang. Ia lalu menghujani pukulan dan tendangan, tidak memberi kesempatan kepada harimau ini.

Akhirnya ia dapat menyambar ekor harimau dan dengan tenaga luar biasa wanita muda itumembanting tubuh harimau sekuatnya.“Blekk!” Harimau itu mengaum dan lari terbirit-birit, takut menandingi wanita kosen itu. Ang-jiuToanio tidak memperdulikan binatang hutan tadi dan cepat lari ke depan mencari bayanganKalisang. Akan tetapi betapa kaget dan cemasnya karena ia tidak dapat mencari Kalisang yanglenyap di waktu gelap. Ang-jiu Toanio menjadi cemas sekali. Ia mengejar terus, lari secepatmungkin sambil memaki-maki dan kadang-kadang menangis.Sementara itu, sambil tertawa-tawa serem Kalisang membawa anak kecil itu bersembunyi di dalamsemak-semak, mendekap mulut anak itu supaya jangan menangis. Setelah Ang-jiu Toanio berlarijauh sekali, ia keluar dan memanggil harimaunya. Harimau besar itu datang dan melihat anak kecildalam pondongan, ia mengaum dan memperlihatkan taringnya.“Heh heh, anakku, kau udah lapang (lapar) sekali! Heh heh heh!”Setelah berkata demikian, ia melemparkan anak bayi itu ke atas tanah di depan binatang buas itu! Siharimau mendekam, matanya bersinar-sinar, mulutnya meringis dan kaki belakangnya sudahmenegang, siap menubruk dan menikmati daging bocah yang tentu lunak, segar dan lezat itu.Akan tetapi tiba-tiba pada saat harimau maju hendak menubruk, binatang ini sebaliknya terlempar ke samping, menggeram kesakitan dan bergulingan.Adapun bayi itu tahu-tahu telah disambar orang dan di lain saat telah berada dalam pelukan tangankiri seorang saikong yang memegang pedang.Inilah Hoa Hoa Cinjin, saikong sakti yang kemaren sudah muncul di depan Cia Sun.Melihat hal itu, Kalisang marah sekali. Ia menubruk maju dan kedua tangannya mulur sampaipanjangnya hampir dua meter! Akan tetapi, pedang di tangan Hoa Hoa Cinjin berkelebat danKalisang menjerit kaget sambil menarik kembali tangannya. Betapapun juga, ujung jari tangankirinya terbabat sehingga terluka dan sapat di bagian kukunya.“Setan Mongol, kau tidak mengenal Hoa Hoa Cinjin?” bentak saikong itu keren.Nama besar Hoa Hoa Cinjin memang sudah terkenal. Bahkan orang Mongol ini pernah mendengar nama itu. Tadipun ia telah membuktikan sendiri kelihaian saikong yang matanya begitumengerikan, lebih mencorong dari pada mata harimaunya. Hatinya jerih dan sambil memekik anehorang Mongol itu lari pergi dari situ, diikuti oleh harimaunya yang juga takut menghadapi saikongyang bermata setan itu.Hoa Hoa Cinjin tertawa dan memandang bocah dalam pelukannya.“Anak baik ....... anak baik ..... kau patut menjadi muridku. Hemm ..... hendak kulihat kelak siapayang bisa mengalahkan kau.” Iapun pergilah dari hutan itu sambil membawa bocah yang tidak menangis karena kini merasa hangat dalam pelukan, dibungkus dalam jubah lebar tebal, menempelpada dada yang panas.Semua kejadian ini tidak ada orang lain melihatnya, hanya monyet kecil. Lim-ong yang melihatnya.Monyet yang sudah terluka parah oleh pukulan Balita ini, diam-diam mengintai dan menyaksikansemua itu. Ia lalu menyelinap di antara daun-daun pohon dan di lain saat iapun menggendong seekor monyet kecil, monyet jantan yang masih kecil sekali. Ia mengeluarkan bunyi cecowetan dananeh, dari kedua matanya keluar dua butir air mata. Monyet betina itu, Lim-ong menangis.Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali jenazah Cia Sun dan isterinya telah dibersihkan, diberipakaian baik-baik dan dimasukkan dalam dua buah peti sederhana yang diusahakan oleh penduduk dusun. Kemudian hio dipasang dan semua orang bersembahyang memberi penghormatan terakhir kepada pendekar budiman dan isterinya itu. Uwak atau Bibi Lui meratap-ratap dan menangis ketikamembawa Han Sin dan Bi Eng yang diajak sembahyang pula. Dua orang anak kecil yang tidak tahudan mengerti apa-apa ini, tidak menangis. Akan tetapi ketika mendengar uwak Lui dan semuapenduduk menangis pilu, mereka pun mulai menangis. Suara tangis mereka memenuhi ruangandepan gedung itu di mana dua peti mati itu ditaruh berjajar.“Kanda Cia Sun ...... ohh, kanda Cia Sun ......!”Mendengar seruan ini, wajah uwak Lui menjadi pucat dan otomatis tangisnya berhenti. Juga parapenduduk memandang orang yang datang ini dengan heran dan tertarik. Balita dengan mengendonganak, rambutnya tetap riap-riapan dan pakaiannya sobek sana sini, datang terhuyung-huyung sambilmenangis.Setelah ia tiba di ruangan depan itu, tiba-tiba uwak Lui mempunyai pikiran yang cerdik. Uwak yangsetia ini segera berdiri dan menyambut kedatangannya, sedikitpun tidak takut biarpun ia tahu bahwawanita ini adalah seorang iblis betina yang menyeramkan dan mungkin sekali menjadi pembunuhmajikan dan nyonyanya. Ia melirik ke arah bocah di dalam gendongan Balita, akan tetapi Balitaagaknya sengaja menutupi bocah itu sehingga tubuh dan muka anak kecil itu tidak kelihatan samasekali.“Toanio apakah sahabat mendiang majikanku dan hendak bersembahyang? Silahkan .... silahkan,biarlah kugendongkan dulu anak toanio itu,” kata uwak Lui dengan ramah tamah sambil cepatmenghampiri Balita dan memegang kaki anak kecil itu untuk digendong. Bayi anak majikannyasendiri sudah tadi-tadi ia baringkan ketika ia mendapatkan akal untuk melihat dan mengenal anak digendongan Balita.

Tidak ada komentar: