Kamis, 26 Januari 2012

Appreciation of Chinese Calligraphy

Appreciation of Chinese Calligraphy






Appreciation of
The Art of Chinese Calligraphy




Calligraphy is an art dating back to the earliest day of history, and widely practiced throughout China to this day. Although it uses Chinese words as its vehicle of expression, one does not have to know Chinese to appreciate its beauty. Because in essence, Calligraphy is an abstract art. While viewing a Western abstract painting, one does not ask, "What is it?" When viewing Chinese calligraphy, one need not ask, "What is the Chinese word?"
In this page, we selected single words from the works of many master calligraphers from the past to illustrate the astounding beauty of the art. Like all art, it is best to simply look at them for enjoyment. Do not be sidetracked with questions of theory, technique, etc. Do not worry about "What is it?"
Beside each work, a very short comment is given to describe its "style", based on the classical book of Tu Meng.
Tu Meng of the Tang dynasty (618-905) developed 120 expressions to describe different styles of calligraphy and establish criteria for them. The first 15 from his list, with explanations and English interpretations by Chiang Yee:
    1. ability, mysterious, careful, carefree, balance
    2. unrestrained, mature, virile, grace, sober, well-knit, prolix, rich, exuberant, classic



For a flavor of these different styles, look at the calligraphy of single words, as written by the past masters. The idea here is not to learn how to write with a brush, or what the words are, but just to look at them as an abstract art.

A single word written in different styles

 A gracefully executed work has no peer.

Full panel-(100k)
By Si-Ma Kuang, Song Dynasty (1019-1086)


Bold yet fluid -


Full panel. From Ode of Mulan by [Mi Fei] [Mei Fei] (aka Mi Fu)

Formal


Full panel
By [Yan Zhenqing] [Yen Chen-Ching]


Balance


Full panel
By [Wu Ju]{Wu Chu]


Geometric


Full panel



By Zhang Ruitu (1570-1641)



playful

By Li Juan (b. 1713)


A carefree style has no fixed directions
By [Wang Xizhi] [Wang Hsi-Chih]. The character is Sui (to follow), in cursive style.
The movement of the strokes suggests speed, by a dancing rather than a racing speed.


A gracefully executed work



An exuberant work full of feeling and vigor.
Full panel

By [Wang Xizhi][Wang Hsi-Chih]

Lighting quick
Full panel

By [Dong Qichang] [Tung Chi-Chang]


A virile work in which strength is paramount.


The character is "mountain". By [Zhang Zhengyu][Chang Cheng-yu] (1903-1976)

Great Masters Wang Xizhi / Wang Hsi-chih (303-361) - 3

Jin Dynasty Great Masters  Wang Xizhi / Wang Hsi-chih (303-361)
 Ping An Tie




from : http://chinapage.com/

None of his original works remain today. Some of his best writings were preserved on carved stone tablets, Stone rubbings taken from them have been reproduced and reprinted widely; they have been studied by generations of students and used as examples to learn and practice the art of calligraphy.









Wang Xizhi
Calligraphy




Ping-An


Tang Dynasty tracing. At the Palace Museum, Taipei




Ping An Tie, He Ru Tie, Feng Ju Tie

Great Masters Wang Xizhi / Wang Hsi-chih (303-361) - 7

in Dynasty Great Masters  Wang Xizhi / Wang Hsi-chih (303-361)

Kuai Xue Shi Qing Tie






from : http://chinapage.com/

None of his original works remain today. Some of his best writings were preserved on carved stone tablets, Stone rubbings taken from them have been reproduced and reprinted widely; they have been studied by generations of students and used as examples to learn and practice the art of calligraphy.

Kuai Xue Shi Qing Tie
Clear Day After Brief Snow



Berbakti terhadap orang tua

Ancaman terhadap nilai 'filial piety' adalah masyarakat modern dimana kehidupan se-hari2 diperintah oleh faktor2 ekonomi yang maju (governed by sophisticated economic factors).
Ex Prime Minister Lee Kuan Yew menyadari betul tentang ini karena di negaranya timbul gejala2 menelantarkan orang tua. Maka dikeluarkanlah UU yang mewajibkan anak2 memelihara orang tua mereka. Pelanggarnya diancam sanksi tindak kriminal en dus masuk penjara!
Ceritanya begini:
Ada seorang kaya raya yang berputra hanya satu. Istrinya sudah meninggal duluan. Ketika putranya itu menikah, ia izinkan anak dan menantu tetap tinggal di bungalownya. Menantunya nyang bermulut manis bagaikan gula itu berhasil menyakinkannya untuk mengalihkan bungalownya atas nama putranya. Sejak saat itu mulailah menantu menterror mertuanya dan suaminya yang memang kaga punya tulang punggung itu diam saja. Akhirnya, karena sudah tidak tahan maka si kaya meninggalkan bungalownya sampai jadi pengemis. Kawan2nya tidak tahu ia pergi kemana sampai pada suatu hari seorang kawannya yang kebetulan bekerja di kantor Perdana Menteri melihatnya mengemis. Maka dihampirilah pengemis itu sambil menyebut namanya tetapi pengemis itu menyangkalnya dan berlalu. Tapi si teman itu yakin haqul yakin bahwa pengemis itulah si A temannya yang kaya raya. Ia memobilisir teman2nya yang lain dan mereka memastikan bahwa si pengemis itulah memang si A. Karena ia bekerja di kantor
PM, maka sampailah cerita itu di telinga Lee Kuan Yew. Perdana Menteri marah besar dan anak si kaya bersama istrinya dipanggilnya menghadap di Istana. Ia panggil juga Supreme Judge Yong Pung How. Didepan Yong, si anak dan istrinya di makinya habis2an. Lalu Yong diperintahkannya untuk membatalkan akte notaris pengalihan hak. Lalu bungalow itupun dikembalikan kepada si A dan si anak plus istrinya diusir dari situ pada hari itu juga.
Ini bukan fiksi melainkan benar2 terjadi.


Hauw atau berbakti kepada orang tua pada saat sekarang ini rasanya
sudah tidak modern lagi alias dianggap sudah kuno atau jadul. Padahal
bagi orang Tiong Hoa adalah hinaan yang paling berat, apabila disebut
“Puthauw” alias tidak berbakti terhadap orang tua.

Unsur utama dalam ajaran Konfucius disimbolkan dalam karakter China
“Jen” = prikemanusiaan/cinta kasih. Karakter China “Jen’ terdiri dari
dua unsur yang masing2 terdiri dari kata “manusia’ dan “dua” =
“manusia untuk kemanusiaan”. Ketika Konfucius ditanya makna dari “Jen”
itu, ia menjawab “Kata itu berarti kasihilah sesama umat manusia’.
Kata “Jen” ini juga sebagai asal dari kata Zen dalam Budhismus Zen.

Tidak ada sistem etika yang lebih berpengaruh pada keluarga di Asia
dibandingkan dengan konsept Konfusianisme mengenai bakti = filial
piety (Xiao) di mana hubungan antara orang tua dan anak menduduki
prioritas teratas. Bakti terhadap orang tua ini lebih dikenal dengan
perkataan “hauw” atau “u-hauw”

Oleh sebab itulah bangsa Tiong Hoa memiliki Kitab khusus yang membahas
mengenai “Hauw”- “Book of Filial Piety”. Kitab ini ditulis oleh
cucunya Konfucius dan walaupun hanya terdiri dari 1.800 kata, tetapi
dampaknya mungkin adalah terbesar diantara Kitab2 Tiong Hoa kuno
lainnya.

Bakti mereka terhadap orang tua ada sedemikian kuatnya sehingga
setelah mati sekalipun mereka tetap menyembah dan menghormati leluhur
mereka dengan memelihara meja sembahyang abu leluhur. Walaupun
kenyataannya ini bukanlah ajaran dari Konfucius, sebab ketika muridnya
Zi Lu bertanya tentang melayani roh2 leluhur yang sudah mati. Guru
berkata: “Saat kamu tidak bisa melayani manusia, bagaimana kamu bisa
melayani roh2 mereka?” Dikutip dari Lun Yu = “The Confucian Analects”

Banyak orang menuduh se-akan2 bangsa Tiong Hoa menghormati orang tua
mereka secara berlebihan sehingga ini dinilai tidak sejalan dengan
ajaran Kristen. Apakah benar demikian?

Di dalam dasa titah, perintah pertama setelah empat titah menata
hubungan vertikal dengan Allah, perintah berikutnya adalah “hormatilah
ayah & ibumu” ini disebut lebih dahulu daripada membunuh, mencuri,
berzinah. Bahkan kalau tidak menurut perintah ini hukumannya pun tidak
kepalang tanggung ialah hukuman mati (Imamat 20:9; 24:15) jadi
hukumnya setara dengan menghujat Allah! Tidak ada hukuman yang seberat
ini di dalam dasa titah lainnya.

Menurut ajaran ini, tidak ada yang lebih keji dari pada perbuatan
seorang anak ”put hao”—anak durhaka yang tidak berbakti terhadap
orang-tua. Oleh sebab itulah, satu salah besar apabila orang
beranggapan, bahwa —karena Taurat tidak mengikat lagi—maka orang
kristen pun bebas untuk menjadi orang2 ”put hao”. Tidak! Paulus
sendiri menegaskannya: ”Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam
Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu - ini
adalah perintah yang penting …” (Efesus 6:1-3).

Mengapa titah ini penting? Tidak lain karena ini merupakan urat nadi
utama peradaban manusia. Ketika orang kehilangan rasa hormat kepada
apa pun dan kepada siapa pun, maka hancur lebur pulalah peradaban
serta merta.

Di dalam seluruh Dasa Titah kalimatnya selalu diawali dengan ”JANGAN”.
Jangan ini, dan jangan itu. Tidak boleh begini, dan tidak boleh
begitu. Seluruhnya! Kesepuluh-puluhnya!

Kecuali dua titah, sebab kedua perintah ini sangat penting. Yang
pertama adalah titah keempat, ”Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat …”;
dan yang kedua adalah titah kelima, ”Hormatilah ayahmu dan ibumu” -
Kenapa Allah menekankan demikian? Apa maksudnya?

Sebab perintah positif ada jauh lebih keras, jelas dan tegas daripada
perintah yang negatif. Perintah ”Kerjakan ini!”, ada jauh lebih jelas
ketimbang perintah ”Jangan lakukan itu!”. ”Kamu ke sana!” mengandung
lebih banyak kepastian dari pada ”Jangan ke situ!”

Begitu pula titah ”Hormatilah ayahmu dan ibumu” jauh lebih jelas kalau
dibandingkan dengan, misalnya, ”Jangan kurang ajar terhadap
orang-tuamu!” Kewajiban terhadap orang-tua” bukanlah pilihan
”ini-atau-itu”. Melainkan suatu kewajiban rangkap
”baik-ini-maupun-itu”. Mustahil orang sanggup memenuhi kewajibannya
kepada Tuhan, sementara ia menelantarkan orang-tuanya.

Dan tidaklah benar praduga kebanyakan orang yang menilai, bahwa orang
Tiong Hoa diwajibkan melayani/menghormati orang tua mereka melebihi
daripada Allah sebab Konfucius sendiri berkata: “Karena itu, seorang
yang mengasihi orang tuanya akan melayani mereka sama seperti juga
melayani Surga, dan melayani Surga sama seperti melayani orang tuanya”

Apakah cukup apabila kita sekedar mendukung dan membantu orang tua
kita dengan bantuan materi, tetapi selanjutnya kita tidak menghormati
mereka. Bukti kasih antara lain ialah memberikan waktu kepada orang
yang kita kasihi.

Seorang Ibu rela menyediakan waktu selama 24 jam untuk bayinya, begitu
sang Ibu mendengar bayinya menangis ia langsung bangun, tetapi
bagaimana dengan putera/i nya setelah mereka dewasa, boro2 mereka
punya waktu, walaupun udah di undang dan di telpon ber-kali2 sekalipun
juga, mereka tetap ogah datang berkujung, bahkan untuk meluangkan
waktu buat telepon azah udah ora ono.

Ortu jaman sekarang harus ngemis agar anaknya bersedia dtg berkujung
ketempat mereka, sebab kahlo nunggu hingga bisa di undang ketempat
mereka sih jangan harap, kalau bukannya pada pesta HUT setahun sekali.

Percuma kita menangis meng-gerung2 selama “3 hari 3 malam” pada saat
ditinggal mati oleh ayah atau ibu kita, tetapi pada saat mereka masih
hidup, kita tidak pernah punya waktu untuk mereka.

Percuma kita nungging sembahyang di depan meja abu leluhur dengan
memberikan berbagai macam sesajen mulai dari “Sam Seng” s/d “Ngo Seng”
yang komplit, tetapi pada saat mereka hidup, tidak pernah sekalipun
juga kita punya waktu untuk mengundang mereka makan, boro2 ngundang
makan, ngirim nasih bungkus azah kagak pernah.

Oleh sebab itulah tepatlah apa yang diucapkan oleh Konfucius:
Mendukung dan membantu orang tua tanpa hormat, seperti juga anjing2
dan kuda2, sebab mereka juga melakukan hal yang sama untuk membantu
dan mendukung. Tanpa rasa hormat mendalam apa bedanya kita manusia
dengan hewan2 tsb.

Apabila Anda mengasihi orang tua Anda, berikanlah waktu Anda sejenak
untuk mereka, berikanlah sedikit atensi sebagai ucapan terima kasih
kita kepada mereka, dengan memberikan hadiah walaupun itu hadiah kecil
sekalipun juga atau undanglah dan ajaklah mereka makan bersama.

KONFUSIANISME DAN TAOISME


Pendahuluan
Kita sekarang menghadapi ancaman bencana lingkungan sebagai masalah global. Perlu direnungkan pendapat sosiolog Kanada John O’Neil bahwa kita mungkin adalah peradaban pertama dan mungkin sebagai yang terakhir. Memprihatinkan bahwa manusia sekarang ini seakan-akan tidak peduli pada lingkungan, dunia, dan habitat alamnya (John O’Neill, 1985: 12).
Bagaimana kita akan berusaha mencari solusi? Sungguhpun kita hidup di abad ke-21, mungkinkah kita mendapatkan inspirasi dari kearifan kuno tidak terkecuali filsafat China? Berbicara tentang filsafat China, perlu dicermati adakah butir-butir kearifan universal dari Konfusianisme dan Taoisme yang dapat kita manfaatkan untuk merumuskan kembali makna korelasi manusia dan alam?
Pembahasan berikut ini akan coba menelusuri seberapa besar sumbangan filsafat Konfusianisme dan Taoisme bagi pembentukan humanisme dan evironmentalisme dalam konteks kebudayaan China. Sejarah mencatat bahwa kebudayaan China telah berkembang meluas ke Asia Timur dan Tenggara, seperti ditunjukkan oleh sistem pengetahuan Feng Shui dan sistem pengobatan akupunktur misalnya. Perlu dipertimbangkan kelebihan dari cara pandang holistik untuk melihat satu masalah dengan logika korelasi.

II.    Asal-mula dan Perkembangan Kebudayaan China
Terdapat banyak mitologi dan cerita tentang asal-mula kebudayaan China serta tokoh legendarisnya seperti Kaisar Kuning (Huang Ti) yang membuat senjata dari batu Giok, istrinya memperkenalkan cara pemeliharaan ulat sutera, dan Yu terkenal karena berhasil mengatasi banjir-banjir besar. Menurut cerita, Yu mendirikan dinasti China yang pertama, yaitu dinasti Hsia yang berkuasa dari kira-kira abad ke-21 sampai abad ke-17 S.M. Dinasti Hsia ini kemudian diganti oleh dinasti Shang yang berkuasa sampai abad ke-11 S.M., dan dinasti Shang merupakan dinasti China historis yang pertama karena ada tulisan, perunggu dan tulang-tulang ramalan yang secara ilmiah telah ditentukan berasal dari periode ini (Lie Tek Tjeng, 1977: 270-274).
Kemudian menyusul dinasti Chou yang mempunyai dua periode yang terkenal dalam sejarah Cina, yaitu: Periode Catatan Musim Bunga dan Musim Rontok (Period of Spring and Autumn Annals) yang berlangsung dari 722 sampai 481 S.M. dan Periode Peperangan Antar Negara (Period of Warring States) yang berlangsung dari 403 sampai 221 S.M. Dinasti Chou adalah dinasti feodal dan pada masa kejayaannya raja Chou menguasai kerajaan-kerajaan tetangganya atau paling sedikit diakui sebagai primus inter pares (yang pertama di antara yang sama). Akan tetapi Periode Catatan Musim Bunga dan Musim Rontok menyaksikan menurunnya dinasti Chou dan kerajaan-kerajaan tetangganya yang sampai waktu itu mengakui supremasinya. Usaha sedemikian itu memuncak dalam Periode Peperangan Antar Negara, dan berakhir dengan jatuhnya dinasti Chou dan pembentukan Negara Kesatuan untuk pertama kali dalam sejarah China oleh Kaisar Shih Huang dari Negara Ch’in pada tahun 221 S.M.
Perlu diperhatikan bahwa kekacauan dalam bidang politik-militer juga menyebabkan kekacauan di bidang ekonomi-sosial, dan kekacauan total ini yang menggoncangkan masyarakat China dan nilai-nilai yang berlaku pada waktu itu menyebabkan orang untuk memikirkan cara-cara dan ide baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Banyak orang mengusulkan kepada raja-raja yang berkuasa, konsep-konsep dan ide-ide mereka untuk mengatasi kesulitan-kesulitan waktu itu dan cara yang terbaik untuk memerintah negara, sehingga timbul apa yang dikenal sebagai “Seratus Aliran Pemikiran” (the Hundred Schools of Thought).
Filsuf utama yang harus disebut adalah Konfusius, yang hidup antara 552 dan 479 S.M. Melihat kekacauan dan perebutan kekuasaan antara raja-raja pada waktu itu, ia menganjurkan ajaran harmoni antara manusia dengan alam maupun antara manusia dengan manusia. Sekiranya masing-masing bertindak dan menjalankan tugas sesuai dengan kedudukannya, maka tidak akan terjadi perebutan kekuasaan. Bukan hanya rumah tangga, tetapi negarapun akan menjadi tenteram. Sehubungan dengan itu, ajaran Konfusius menitik-beratkan upacara atau ritual untuk menentukan tempatnya kepada masing-masing: baik raja, menteri, maupun ayah, anak, suami dan isteri.
Menurut tradisi, ajaran Konfusius ini tercantum dalam Lima Klasik, yaitu: (1) Klasik Syair (Classic of Songs), (2) Klasik Sejarah (Classic of Documents), (3) Kalsik Perubahan (Classic of Change), (4) Catatan-catatan Musim Bunga dan Musim Rontok (Ch’un Ch’iu) dan (5) Klasik Tata Tertib (Record of Rituals). Kelima klasik tersebut dijadikan bahan pelajaran utama di sekolah-sekolah, maka ajaran Konfusius ini mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan cara bertindak manusia China.
Kemudian harus disebut Lao-tze Bapak Taoisme, para legalis Shang Yang dan Han Fei-tze yang menganjurkan suatu kerajaan pusat, dan pemerintahan berdasarkan hukum, Meng-tze, dan Hsun-tze yang menulis klasik tentang peperangan yang dipergunakan dengan sukses oleh antara lain Mao Tse-tung dalam memimpin strategi militer Partai Komunis China dalam abad ke-20.
Akan tetapi, meskipun terjadi kekacauan di bidang politik-militer dan ekonomi-sosial, bukan berarti bahwa kebudayaan semula berkembang di lembah sungai Kuning tidak meluas. Daerah di sebelah utara sungai Yang-tze pada abad ke-6 S.M. terbagi dalam beberapa kerajaan yang masing-masing berusaha untuk merebut hegemoni dari raja Chou dan menaklukkan tetangga-tetangganya. Akhirnya kerajaan Ch’in yang terletak di sebelah barat dari kerajaan Chou di lembah sungai Wei keluar sebagai pemenang dan membentuk negara kesatuan China pertama pada tahun 221 S.M.
Negara kesatuan pertama ini meliputi daerah di sebelah utara sungai Yang-tze dan tidak meliputi daerah yang dikenal sebagai Mongolia Dalam. Perluasan daerah negara China diteruskan di bawah dinasti-dinasti berikutnya, terutama dinasti Han dan dinasti T’ang. Di bawah dinasti Han (206 S.M. – 220) daerah China diperluas di sebelah utara sehingga meliputi apa yang dikenal sebagai Mongolia Dalam, di sebelah timur yaitu daerah Korea Utara, dan selatan yang meliputi Vietnam Utara, sedangkan di bawah dinasti T’ang (618-907) daerah Tibet dimasukkan ke wilayahnya.
Biarpun menurut pasang-surut sejarah China terjadi perubahan atau pergeseran perbatasan dalam abad-abad yang berikut, akan tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan masuknya Tibet pada abad ke-9 China sudah mempunyai perbatasan seperti dikenal sekarang. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang mulai berkembang di lembah sungai Kuning dapat berkembang di daerah asia Timur yang cukup luas ini.

Pandangan Filsafat Cina tentang Kesatuan Manusia dan Alam
Filsafat China atau Sinism –meminjam istilah yang diperkenalkan oleh ahli Sinologi H. G. Creel—lazim digunakan untuk menspesifikasi atau meng-identifikasi sekelompok karakteristika unik bangsa China. Fenomena tentang Sinism ini tidak dibatasi pada satu daerah geografis RRC. Akan tetapi, lebih luas meliputi geografis Korea dan Jepang dimana logogram China digunakan. Bahasa logogram merupakan bentuk dan ungkapan alam pikiran Sinitic, wawasan yang lebih bercorak dunia-sini secara manifes, praktis, konkret, dan khusus ketimbang dunia-sana, spekulatif, abstrak dan umum. Alam pikiran Sinitic termanifestasi pada Konfusianisme, Taoisme dan Zen Buddhisme.
Apa karakter dari kesatuan manusia dan alam yang berakar dalam Sinism? Yaitu pengenalan moral dan peneguhan oleh setiap orang tentang keberadaannya dengan orang lain –bukan hanya hidup dan mati tetapi juga sebelum dilahirkan—dan dengan makhluk hidup dan tak hidup lainnya. Itu berarti hubungan timbal-balik mutlak, yang tidak perlu dipertanyakan, tidak dikualifikasikan dan ikatan khusus dari koeksistensi makhluk hidup dan benda, piety adalah sebuah kebajikan moral. Menggunakan bahasa Martin Bubber (1928) sebagai pengajar penting dari Tao –khususnya wu wei—sebagai spiritualitas kehidupan China yang akan menyeimbangkan etos utilitarian Barat (Martin Bubber, , ini merupakan hubungan “Aku-Engkau” ketimbang “Aku-Itu” dimana Aku dalam “Aku-Engkau” berbeda secara radikal dari Aku dalam “Aku-Itu”, karena itu Aku selalu dan niscaya dibentuk oleh kondisi eksistensial yang Lain sebagai pihak lain.
Berdasarkan perspektif Sinism, ecopiety merupakan tenunan moral dari laki-laki dan perempuan yang  menganyam bersama seluruh makhluk dan benda. Ini tersusun dari karakter yang dari humanisme dan karakter yin dari environmentalisme yang bersifat komplementer. Ringkasnya: sebagaimana Sinism merupakan kesatuan dari Konfusianisme yang ortodoks dan Taoisme yang heterodoks yang bersifat komplementer, maka ecopiety sebagai kesatuan dari humanisme dan environmentalisme juga bersifat komplementer. Dengan demikian:

    Ecopiety  =  Humanisme + Environmentalisme
       Sinism         Konfusianisme+Taoisme

Sinism mendefinisikan realitas sebagai proses sosial. Lalu apa tujuan akhir dari realitas sebagai proses sosial atau ecopiety sebagai hubungan timbal-balik mutlak? Tujuan akhirnya adalah harmoni yang tidak pernah statis tetapi selalu dinamis. Seperti dicontohkan pada musik atau alunan musik, harmoni dapat didefinisikan sebagai orkestrasi dari banyaknya perbedaan (Hwa Yol Jung, 1981: 329-340). Ini merupakan  perkumpulan dari beberapa hal sebagai satu kesatuan. Bagi Sinism, ada satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara etika dan estetika: baik dan indah bersinonim. Sebagaimana estetika merupakan harmoni dinamis antara manusia dan alam, demikian halnya baik hubungan harmonis antara sesama manusia: bukan hanya etika berdasarkan estetika, tetapi juga harmoni merupakan tema yang menyatukan etika dan estetika. Oleh karena itu, harmoni menjadi principium bukan hanya estetika tetapi juga antar manusia.
Harmoni terdiri dari 3 unsur dasar. Pertama adalah ide bahwa dunia atau alam semesta adalah pluralistik. Kedua, seluruh unsur dari dunia ini pluralistik yang berinterrelasi atau sinkronistik. Dengan demikian, harmoni mengacu pada  pengertian diferensiasi, perbedaan ontologis, dengan logika yang berfungsi adalah sebagai logika korelasi, bukan logika identitas. Dikatakan bahwa harmoni adalah kesatuan dari berbagai perbedaan, kemajemukan, dimana setiap unsur yang dilengkapi oleh setiap unsur yin. Harmoni merupakan predikasi atas perbedaan radikal dari pihak Lain, baik orang maupun barang. Dengan demikian ecopiety dikatakan sebagai kesatuan dari humanisme (yang) dan environmentalisme (yin) yang saling melengkapi. Rangkuman: Sinism menyumbang pada dua pilar ide bahwa (1) dimana tidak terdapat proses sosial, maka tidak ada realitas, dan bahwa (2) dimana tidak ada perbedaan, maka tidak ada proses sosial asli.

IV.    Humanisme Perspektif Konfusianisme
Humanisme adalah karakteristika Konfusianisme. Ini adalah perhatian dan penghormatan kepada laki-laki dan perempuan lain sebagai pribadi. Secara tradisional, model klasiknya dikenal dengan “filial piety” (hsiao)—kesetiaan seorang anak laki-laki kepada ayah atau orang tuanya. Humanisme mengacu pada ide manusia secara spesifik. Humanisme menolak baik antroposentrisme dan naturalisme karena keduanya berat sebelah dan tidak bijaksana dalam mengenali eksentrisitas manusia: antroposentrisme terlalu menghargainya, sementara naturalisme terlalu merendahkannya. Ungkapan in seperti dalam “man in nature” atau “man in the landscape” merupakan istilah ecstatic bahwa, sebagai makhluk mempunyai keterarahan-diri, manusia bukan seonggok obyek semata atau materi. Manusia dapat disebut fana dari semua yang fana karena dia satu-satunya makhluk yang menyadari sepenuhnya akan kematiannya sebagai kejadian yang akan datang. Dengan cara yang sama, dapat dikatakan bahwa alam mempunyai sejarah tetapi tidak mengetahuinya, sedangkan manusia mengetahui bahwa dia mempunyai sejarah dan membuat sejarah pula.
Konfusianisme seringkali dikarakteristikan sebagai “humanisme praktis” karena kepeduluannya dengan seni praktis tentang kehidupan manusia dengan sesama dalam kehidupan dunia sehari-hari. Sebagai humanisme praktis, Konfusianisme memfokuskan perhatiannya pada manusia dan apa yang dilakukannya. Premis ini radikal bahwa akar dari manusia adalah dirinya sendiri. Konfusianisme mulai dan berakhir pada manusia: bagi Konfusius, tidak ada yang “di seberang humanisme”. Humanitas bertumpu pada manusia –humanitas dalam dua-serangkai arti manusia sebagai kolektivitas, dan kausalitas asli manusia –jen adalah pilar humanisme praktis Konfusius. Tanpa jen, tanpa mempraktikkannya, manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya. Menjadi seorang manusia (jen) adalah menjadi insani (jen): sesungguhnya, jen adalah jen. menurut Analect of Confusius Konfusius, jen adalah mencintai semua manusia dan chih (pengetahuan) adalah mengenal semua manusia. Inovasi Konfusius terletak dalam menjadikan jen “keutamaan universal” yang menjadi batas standar bagi “keutamaan” lain dalam relasi antar manusia. Jen juga disebut “keutamaan yang sempurna” atau apotheosis dari segala keutamaan seperti kebenaran (i), kesopanan (li), kebijaksanaan (chih) dan kepercayaan (hsin). Manusia yang mempraktikkan jen juga mempraktikkan chung –kaidah emas positif: perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan, dan shu –kaidah emas negatif: jangan perlakukan orang lain sebagaimana engkau tidak ingin diperlakukan.
Konfusianisme, bagaimana pun peduli terutama pada homopietas tetapi tidak secara eksklusif. Dalam Li Chi (Kitab Upacara), Konfusius berkata tanpa pandangan hidup yang sama: “Menebang sebuah pohon, membunuh seekor binatang yang belum kawin, tidak pada musim yang tepat, adalah bertentangan dengan filial fiety.” (Li Chi, 1967: 228). Menurut cara tersebut, tujuan moral dari bakti kepada orangtua tidak dibatasi pada dampak dari apa yang dilakukan manusia pada  orang lain tetapi diperluas pada dampak perilaku seseorang bagi makhlun non-human dan benda-benda. Demikian Creel menuliskan bahwa dalam Sinisme “manusia menghuni sebuah tempat yang menarik di alam semesta”. Dia adalah ... menjadi bagian dan tidak terpisahkan dari alam, tindakannya berdampak pada alam seluruh alam semesta, dan seluruh alam semesta mempengaruhinya, dengan suatu cara yang lebih intim daripada kebiasaan yang dilakukan oleh dunia Barat.” Chan Tsai, penganut Neo-Konfusius abad ke-11, tokoh teladan ecopiety, yang menulis 5 halaman esensial ecopiety sebagai kesatuan humanisme dan environmentalisme:  “Langit adalah ayahku, dan Bumi adalah ibuku, dan sunnguh pun aku makhluk kecil kutemukan tempat yang intim di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu apa yang mengisi alam semesta kuanggap sebagai tubuhku dan yang mengatur alam semesta kuanggap sebagai alamku. Semua orang adalah saudara dan saudariku, dan semua benda adalah sahabatku.” Teringat perkataan Konfusius mengenai musik, yang dimainkan sebuah bagian integral dari arti China kuno tentang benda-benda dan peristiwa sebagai kesatuan yang teratur, sekali lagi kita temukan dalam halaman kitab Li Chi sebagai berikut:
Langit ada di atas dan bumi di bawah, dan di antara keduanya tersebar semua jenis kehidupan dengan perbedaan (sifat dasar dan kualitasnya); --berkenaan dengan proses pembentukan perayaan. (Pengaruh) langit dan bumi mengalir maju dan tak pernah berhenti, dan dengan kesatuan tindakannya (fenomena) produksi dan perubahan terjadi: --berkenaan dengan itu musik mengalun. Proses pertumbuhan di musim semi, dan dewasa di musim panas (menyarankan ide tentang) kebajikan; mereka berkumpul di musim gugur dan ... di musim salju, menyarankan kebenaran. Kebajikan serupa dengan musik, dan kebenaran serupa dengan perayaan.

Melalui jalan Sinitic tentang ecopiety humanisme diseimbangkan kembali dan dilengkapi dengan environmentalisme. Ketika environmentalisme berubah menjadi tabir penutup ecopiety, antroposentrisme rusak dan salah arah karena tidak ada daya pembesar manusia dalam tatanan benda-benda di  alam semesta. Apakah “dominasi” dan “kegunaan” merupakan antroposentrisme, sementara “harmoni” dan “penghormatan” merupakan etika ecopiety. Bagaimana pun ketika humanisme dibedakan tetapi tidak dipisahkan dari environmentalisme, etika ecopiety adalah bijaksana yang meneguhkan bahwa manusia mempunyai tempat yang berbeda di antara makhluk lain dan benda-benda lain dan tidak sekedar satu bagian dari alam. Manusia adalah benar-benar pengatur dan penjaga dari semua hal. Akhirnya pembedaan manusia dari bukan manusia hanya mengalami perbedaan pada kesatuan pengikat –kesatuan pluralistik, organik dari keberbedaan.

V.     Environmentalisme Perspektif Taoisme
Dengan keutamaan environmentalisme jalan ecopiety diperlebar memantapkan konsep tentang moralitas atau etika yang dibatasi untuk mengatur hubungan manusia. Sebagaimana ekofilsuf Amerika Serikat yang tidak tertandingi Aldo Leopold mengemukakan dengan rapih: “Sebelumnya belum ada etika berkaitan dengan hubungan manusia dengan daratan dan binatang serta tumbuhan yang tumbuh dipermukaannya. Daratan, seperti budak perempuan Odyseus yang masih menjadi harta milik. Hubungan dengan daratan adalah masih hubungan ekonomi yang ketat, menjadi hak istimewa tetapi tanpa kewajiban.” “Moral Daratan” Leopold adalah contoh sempurna apa yang kita sebut geopiety ketika memperluas batasan komunitas meliputi tanah, air, tumbuhan, binatang atau secara kolektif: daratan.”
Sebagaimana jalan ecopiety Sinitic mensinkronkan yang dari humanisme dan yin dari environmentalisme yang bersifat komplementer, itu masih merupakan kontras yang keras untuk menerima konvensi etika yang hanya merumuskan hubungan sesama manusia dan menyingkirkan hubungan antara manusia dengan makhluk dan benda lainnya. Sementara itu etika konvensional menggunakan bahasa “penyingkiran”, jalan ecopiety Sinitic menggunakan bahasa “pencakupan”. Filsuf Amerika Erazim Kohak meringkaskan dengan baik bahasa kaum inklusif tentang ecopiety ketika dia berkata: “Untuk menemukan kembali kepekaan dalam kemanusiaan kita, kita memerlukan pertama-tama kepekaan moral terhadap alam” (Erazim Kohak, 1984: 13).
Enviornmentalisme merupakan prinsip dominan dalam Taois dan Zen. Taoisme dan  Zen Buddhisme bagaimana pun tidak menyingkirkan humanisme. Pada bab 25 Tao Te Ching, kita dapat menemukan ekspresi yang mengharukan dari ecopiety, sebagai contoh bahwa Tao (Jalan) sebagai ecopiety:

Ada sesuatu yang campur-aduk, dan kacau-balau,
Ia sudah ada sebelum langit dan bumi,
Betapa sunyi! Betapa sepi!
Ia berada dengan sendirinya, dan tak pernah berubah,
Bergerak berputar, tak henti,
Ia layak menjadi ibu alam semesta,
Ku tak tahu siapa namanya,
Terpaksa kunamakan Tao,
Kusebut dia sebagai yang besar.

    Besar bermakna meluas (mencapai segala tempat),
    Meluas berarti menjauh (ke segala arah),
    Yang pergi menjauh akhirnya akan balik kembali (ke asalnya).

Karena Tao itu besar, maka
Langit juga besar, bumi juga besar, dan manusia juga besar,
Di dunia ini ada empat besar, dan manusia adalah salah satunya.

    Manusia meneladani bumi,
    bumi meneladani langit,
    langit meneladani Tao,
    dan Tao meneladani dirinya sendiri (tsu-jan).

Tsu-jan (dirinya-sendiri) menjadi dasar environmentalisme dari Taoisme dan Zen Buddhisme. Hal ini menggarisbawahi kemampuan estetik kita untuk menghormati dan penghargaan terhadap seluruh keberadaan benda-benda di alam. Itu merupakan apresiasi estetik terhadap nilai intrinsik benda-benda seperti adanya, misalnya spontanitasnya –masing-masing mempunyai kekhususannya, yaitu benda khusus ini dan itu –ketimbang ekspropriasi utilitarian terhadap nilai ekstrinsik benda-benda alam untuk keperluan manusia. Di China, tsu-jan berarti alam luar (wan wu or “ten thousand things”) dan kualitas intrinsik dan inheren dari tiap benda di alam. Sifat dasar estetika terletak dalam keberadaannya yang pasti dalam, oleh, dan untuk dirinya sendiri. Untuk menghormati benda-benda adalah dengan meninggalkan dan membiarkannya seperti aslinya: biarkan mereka menjadi dirinya. Dalam prinsip tsu-jan bumi merupakan ruang puisi; jiwanya, alam mewakili musik luar dari waktu.
Environmentalisme Taois merasa senang dengan keindahan alam, liar, sederhana, dan kecil, dalam keindahan intrinsik alam yang membuat manusia memandang penuh penghormatan dan imajinasi puitis. Hanya dalam bersekutu dengan alam dan kosmos seorang manusia benar-benar menjadi seorang “cosmion”. Seperti Taois Chuang Tzu mengungkapkan dengan suara tenang: “Langit dan bumi lahir bersamaan denganku, dan sepuluh ribu benda bersatu denganku”.

VI.    Pengungkapan Humanisme dan Environmentalisme dalam Feng Shui
Alam pikiran kita berakar dalam pemandangan alam. Di Barat, Hipocrates adalah pemikir sistematis pertama yang menyadari dampak dari kondisi meteorologis, astronomis dan topografis (misalnya: musim, angin, dan air) sebagai seni perawatan kesehatan, dan menyebutkan banyak hal seperti klimatologi dan pembentukan personalitas dan ras. Dengan jalan feng shui (geomancy), orang-orang China kuno maupun kontemporer, telah mengembangkan arti yang dalam untuk bersatu dengan alam (“sepuluh ribu benda”), daratan, bumi dan kosmos .
Warisan ketahanan dari feng shui sejak waktu yang tidak dapat diingat membuat orang-orang China menjadi ekofilsuf awal. Seorang penulis memandangnya sebagai “sebuah seni-eko” yangberkaitan dengan konservasi, ekologi dan penataan ruang (Gary Khor, 1999: 96-97). Karena Feng shui akhirnya mendatangkan kemakmuran, kesehatan, dan keberuntungan, misalnya: kesejahteraan, feng shui diterapkan untuk berbagai kegiatan seperti perencanaan kota atau desa, desain arsitektur, dekorasi ruangan, pernikahan, pemakaman dan bahkan penebangan pohon.
Feng Shui terdiri dari dua logogram –“angin” (feng) dan “air” (shui). Dengan demikian berarti penghargaan manusia pada aliran alam yang disimbolkan dengan dua unsur –angin dan air. Ini adalah cara Sinitik untuk mengekspresikan geopiety, atau mengharmoniskan manusia dengan alam sekitarnya dengan perhatian dan penghormatan. Ini adalah sebuah usaha untuk mendefinisikan tempat manusia di daratan. Berpikir dalam term feng shui adalah berterimakasih atas kemurahan bumi sebagai sebuah “hadiah” tempat kita memijakkan kaki. Feng shui nampaknya merefleksikan latar belakang asli dari masyarakat petani di China yang kehidupannya bergantung pada kesuburan tanah, dimana manusia perlu “memanfaatkan” angin dan “menyalurkan” air untuk menghidupi alami mereka yang disebut Ch’i atau “getaran”.
Selanjutnya apakah Chi itu? Chi adalah sebuah ide yang terdapat di mana-mana. Didefinisikan sebagai “energi konfigurasional”, chi menimbulkan kehadiran yang menyeluruh. Diterjemahkan sebagai “ether”, “energi”, “daya”, “kekuatan”, “nafas”, dan sebagainya. Chi menyerap banyak hal sebagai “unsur” (misal: air, api, dan tanah) dan catatan musik. Ide chi diasosiasikan dengan lingkup aktivitas yang luas dari akupunktur hingga seni bela diri. Akupunktur dapat dikatakan sebagai jalan untuk “memanfaatkan” dan “menyalurkan” chi dari orang itu sendiri. Karena kehadiran chi, tubuh sendiri adalah kinestetik.
Dikatakan bahwa chi meresap pada kuas dan tinta pelukis kaligrafi. Tujuan dari ilmu pedang (kendo) dikatakan adalah untuk pencapaian kekuatan dalam dari chi ketimbang penguasaan tekniknya sendiri. Pedang itu “satu simbol dari semangat yang tidak terlihat yang melingkupi pikiran, tubuh dan kegiatan anggota tubuh.” Untuk maksud esei ini, dapat kita katakan bahwa chi adalah energi yang tidak terlihat yang meresap masuk ke dalam tubuh manusia dan sekitarnya, merupakan energi konfigurasional yang mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Kesimpulan chi adalah vital, energi tak terlihat yang menahan, memberi nada, dan melestarikan rantai ekologi Kehidupan. 

 Penutup   
Filsafat China (Sinism) mungkin dipandang telah kuno tetapi bukan berarti ketinggalan zaman, ketika mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian kembali dunia dengan mendekonstruksikan peradaban teknomorfik berdasarkan “pemikiran kalkulatif”. Pandangan Sinism terhadap term krisis menyatakan kesempatan yang tersedia untuk mengatasi bahaya yang mengancam. Ekuminisme ekologi, disini Sinism menjadi bagian integral, merupakan planetarisasi bagi kesadaran ekologis dari humanitas post-modern.
Jika menerima sifat globalisasi, maka ide-ide ekofilosofi dapat ditemukan  dimana pun dan kapan pun, baik di Barat atau Timur, Selatan atau Utara, lama atau baru, dan menolak klaim para penulis Barat yang meskipun berpikiran ekofilosofis tetapi menolak relevansi pandangan ekofilosofi Oriental bagi permasalahan lingkungan dewasa ini, karena ekofilosofi diklaim berasal dari Barat.
Sebagaimana humanitas menjadi satu “keluarga” dan dunia menjadi “desa global”, maka kita harus mengesampingkan agama, budaya, dan parokialisme etnosentris demi mengejar ekofilosofi dalam mengidentifikasi tempat yang layak bagi manusia di alam dan tempat yang layak bagi alam di kota manusia, yang meneguhkan konaturalis manusia dan alam. Dalam Sinism, ekumenisme ekologis baik dalam teori dan praktik telah memperkaya visi dari tema abadi “Kesatuan yang Besar”; maka tidak mengurangi ide-ide ekofilosofi Barat dari St. Francis Asissi hingga Bubber, Heidegger, Marleau-Ponty, dan Leopold.
Ketika kita berpikir dan bertindak untuk saling menyisihkan, akan berisiko pada kerusakan dan kematian. Sebaliknya, kesediaan kita untuk menyatukan seluruh kekuatan, sentimen, opini dan pikiran yang luhur, mewujudkan tujuan dari ekumenisme ekologi untuk menciptakan kesatuan, yang memungkinkan kita berada di garda depan untuk membuat bumi aman dan nyaman, bukan hanya bagi manusia generasi sekarang dan generasi yang akan datang tetapi juga bagi segenap benda-benda di alam. Masa depan ada di tangan kita untuk mencipta dan mencipta ulang, karena kita adalah satu-satunya makhluk yang menolak untuk menjadi apa adanya.
Konfusianisme dan Taoisme mempunyai banyak penawaran untuk menciptakan filsafat hidup baru dalam harmoni dengan alam (ekumenisme ekologis). Mengutip pepatah Barat kuno: pusat kebenaran berada dimana pun dan tidak terbatas tempatnya. Semoga akan datang, lebih cepat lebih baik, hari ketika ecopiety menjadi prinsip regulatif untuk mengatur perilaku kita terhadap bumi, dunia ini, menjadi senjata moral baru bagi seluruh dunia.

Referensi
Confucius, 1967, Li Chi: Book of Rites, trans. James Legge, New Hyde Park: University Book.

Jung, Hwa Yol, 1981, “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, pp. 329-340.

Kohak, Erazim, 1984, The Embers and the Stars, Chicago: University of Chicago Press.

Kohr, Gary, 2201, “Environmental Chi –Feng Shui” in Living Chi: The Ancient Chinese Way to Bring Life Energy and Harmony into Your Life, Boston: Tuttle Publishing.

Lao Tzu, 1995, Tao Te Ching: The Book of Meaning and Life, trans. H.G. Oswald, New York: Penguin Books.

Lie Tek Tjeng, 1983, Studi Wilayah Pada Umumnya, Asia Timur Pada Khususnya, Bandung: Penerbit Alumni.

O’Neill, John, 1985, Five Bodies, Ithaca: Cornell University Press.

Pound, Ezra, 1969, Confucius: The Graet Digest, The Unwobbling Pivot, The Analects, New York: New Direction Publishing Corporation.

 Oleh:
Slamet Subekti
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya


“There are, of course, quite a number of forms of Chinese philosophy, but there are two great currents that have thoroughly molded the culture of China –Taoism and Confucianism—an they play a curious game with each other.”