Bagi orang Tionghoa secara tradisi berlaku dua penanggalan Gongli公历 atau Yangli阳历yaitu kalender umum (Masehi/Calender Gregorian) dan Nongli农历/Imlek atau Yinli阴历. Kalender Gregorian berdasarkan perhitungan peredaran Matahari disebut juga Kalender Baru atau Xingli新历,
sedang Kelender Yinli berdasarkan perhitung peredaran Bulan, maka
disebut juga Moon/Lunar Calender. Yinli ini dihitung mulai lahirnya
Konghucu pada tahun 551SM. Jadi tahun 2011 + 551 sama dengan Tahun Imlek/Yinli tahun 2562. Sehingga kadangkala oleh orang Tionghoa dialek Hokkian disebut Kongcu-lek.
Tahun baru Imlek atau yang biasa disebut Shincia dengan logat Hokkian atau Chunjie 春节dalam
Mandarin adalah hari pertama penggantian tahun dari penanggalan Imlek.
Hari raya ini dirayakan sejak hari pertama hingga hari ke 15 bulan satu
imlek. Tahun 2011 ini jatuh pada tanggal 3 Pebruari, mulai hari ini disebut Tahun Kelinci.
Konon Kalender Imlek ini pertama kali diciptakan oleh Huangdi黄帝/Kaisar Kuning, Kaisar Pertama di Tiongkok (Kaisar Kuning/ 黄帝huangdi
tahun sebelum 2070SM), yang dianggap Raja Agung dan Nabi bagi Agama
Konghucu. Kalender ini dilanjutkan oleh Kaisar berikutnya Xia Yu夏禹(kira-
kira tahun 2070SM-1600SM) yang juga dianggap Nabi dalam Agama Konghucu.
Tapi dengan ditumbangkannya Kaisar Xia oleh Kaisar Shang商 (tahun 1600-1046SM) sistim kalender diganti. Tahun baru dimajukan satu bulan, sehingga yang semula Tahun Baru jatuh pada awal Musim Semi, menjadi jatuh pada akhir Musim Dingin. Dinasti Zhou周
menggantikan Shang pada tahun 1046SM (berdiri hingga tahun 256SM),
sistim kalender ini diganti lagi, tahun barunya jatuh pada garis edar
matahari pada titik 23,5 derajat Lintang Selatan atau pada tanggal 22
Desember penanggalan masehi, saat ini merupakan puncak musim dingin
(dikenal dengan hari sembayang Onde atau 冬至dongzhi;
ronde=butiran dibuat dari tepung ketan, dimakan bersama wedang jahe).
Selanjutnya setiap penggantian dinasti, seperti Qing, Han, sistim
diganti juga. Hanya pada Dinasti Han(206SM-220M), kaisar Han Wu Di
memerintahkan Kalender Imlek ini untuk kembali pada sistim Xia sama
dengan yang digagaskan oleh Konghucu. Untuk menghormati Nabi Konghucu
maka tahun kelahiran Konghucu (551SM) ditetapkan sebagai Tahun
ke1/pertama Imlek. Maka kini kalender Implek adalah Tahun
2562 (2011Masehi). Sehingga dapat dikatakan bahwa perayaan Tahun Baru
Imlek sebetulnya adalah Perayaan Umat Konghucu.
Dalam Agama Konghucu, Konghucu (bahasa Indonesia)/ Kongzi 孔子/Confusicus(Latin)
diakui sebagai Nabi terakhir dari agama ini. Lahir pada hari ke 28
bulan 8 tahun 0001 Imlek (551SM). Perkiraan tanggal 1 imlek, rentang
waktunya 15 hari kedepan dan 15 hari kebelakang dari 4 Pebruary Kalender
Umum/masehi. Tiap 4 atau 5 tahun sekali ada bulan ke 13, untuk
menggenapi agar perhitungan tersebut tidak berubah, disebut tahun
kabisat (闰年run nian). Hari Wafat Konghucu (18-2-Imlek). Hari Genta Rohani (冬至dongzhi) 22 Desember penaggalan masehi, Qingming (清明5 April penanggalan masehi), Qing Di Gong 清帝公(8/9- bulan 1 Imlek).
Agama
Ru/Konghucu adalah agama humanisme, agama hubungan antar manusia, agama
orang kudus. Agama Ru tidak terlepas dari pengaruh perkembangan
kebudayaan orang Tionghoa. Dimana pada umumnya mereka percaya bahwa
seseorang setelah meninggal maka rohnya akan meninggalkan jasadnya, jika
orang tersebut adalah orang baik akan menjadi Roh baik dan jika orang
ini hidupnya jahat akan menjadi Roh jahat. Dalam agama Ru yang disembah
tidak hanya Nabi Konghucu saja. Misalnya pada saat Qing Ming atau Ceng
Beng (dialek Hokkian), umat agama Konghucu mengadakan sembayangan kepada
leluhurnya, nyekar membersihkan kuburan leluhur. Orang Tionghoa sudah
menjadi tradisi memiliki Altar Sembayangan leluhur dirumah, biasanya yang disembayangi tidak hanya leluhur saja tetapi termasuk tokoh-tokoh sejarah yang dianggap kudus.
Lampion, konon berasal dari zaman dinasti Xi Han 西汉
(tahun 206 SM – 9 M) kira-kira 1800 tahun yang lalu, sudah menjadi
tradisi setiap Hari Raya Imlek dipajang lampion-lampion di rumah-rumah
atau perkarangan atau tempat umum misalnya di taman, kebun, jalan-jalan,
lorong-lorong dan lain sebagainya. Lampion ini telah menjadi tradisi
bagi orang Tionghoa sebagai simbol kebahagiaan, yang dipasang untuk
event-event kegembiraan berwarna merah, dan lampion putih terbuat dari
rangka bambu untuk simbol bela sungkawa. Dalam perkembangannya, lampion
digambari dan dihiasi ornamen-ornamen macam-macam, dan huruf-huruf
kaligrafi. Lampion ada yang terbuat dari kertas, kain, kulit binatang, dan dari bordiran-bordiran kain sutra dan lain-lain.
Lampion gaya Chuanchiu泉州式灯笼
|
Lampion gaya Fuchuo福州式灯笼-又称为伞灯 |
Lampion segi empat
|
Lampion ini
sangat erat hubungannya dengan kehidupan orang Tionghoa, lampion
digantung di Kelenteng-kelenteng, ruang tamu rumah, dan tempat lain
seperti telah disebutkan diatas. Namun yang terbuat dari kertas dapat dikatakan dimulai sejak di Tiongkok ditemukannya teknik pembuatan kertas oleh Cailun蔡伦 pada zaman dinasti Han Timur ( 东汉donghan
tahun 25-220 M ). Lampion bagi orang Tionghoa tidak saja sebagai lampu
penerangan atau lentra, tapi sudah menjadi simbol.
Namun
yang paling menonjol adalah dipasang pada perayaan Shincia hingga Cap
Go Mek. Tapi sejak zaman Han hingga Tang, lampion benar-benar sebagai
simbol penyambutan hari raya imlek. Saat dinasti Ming Zhu Yuan Chang
(tahun 1368 – 1644 M) pendiri dinasti ini, ketika memproklamirkan ibu
kota negara di Nanjing diadakan Lampion air, dimana ribuan lampion
diambangkan di aliran sungai Qinhuaihe秦淮河. Kemudian
setiap tahun diadakan pesta lampion, tapi sejak berdirinya Republik
Tiongkok pesta ini memudar, sehingga ahli-ahli pembuat lampion juga
berkurang, namun kini rupanya mulai digalakkan lagi.
Ada
juga tradisi disaat hari raya imlek, membawa Lampion sebagai simbol
untuk medambakan untuk mendapatkan anak lelaki atau putra, karena lafal
kata Mandarin yang berdekatan yang mempunyai arti mendapat putra.
Denglong灯笼 – Tianding添丁.
Pada
zaman kuno di Tiongkok, setiap tahun pada permulaan dimulai masuk
sekolah pada bulan 1 Imlek, sekolah-sekolah digantungi lampion-lampion
yang disumbang oleh orangtua murid-murid, dan secara simbolik dinyalakan
oleh kepala sekolah atau guru, disebut Kai’deng开灯.
Yang mempunyai makna murid-murid agar mempunyai masa depan yang
cemerlang sepanjang hidupnya. Kemudian hari menjadi tradisi dilakukan
setiap Tahun Baru Imlek hingga Cap Go Mek ( Hari 1 s/d 15 ).
Kebiasaan Orang Tionghoa Peranakan Indonesia Dalam Merayakan Hari Raya Imlek
Saat
menjelang hari H , biasanya para ibu-ibu dan orangtua telah sibuk
menyediakan segala kebutuhan untuk menymbut hari raya ini. Membeli
pakaian baru untuk dipakai saat hari H, rumah dicat atau dibersihkan dan
dipajang-pajang dengan lampion dan gambar-gambar simbol keberuntungan.
Rambut dicukur rapih. Dapur-Dapur dibersihkan.
Malam
sebelum hari H hingga hari ke3 dipercaya sudah tidak boleh menyapu
rumah, karena dipercaya akan mengurangi rezeki untuk tahun yang akan
datang. Pada malam menjelang hari H yang memiliki Altar Sembayangan
Leluhur akan menyediakan kue keranjang (dodol cina, yang mempunyai makna perekat kekeluargaan, persaudaraan, pertemanan),
kue-kue kering dalam toples-toples, buah-buahan (biasanya 5 macam
warna) berupa Apel; Jeruk; Anggur, Pears; Nanas atau buah lainnya
(kecuali duren) ; Ruas tebuh yang diikat dengan pita merah, demikian
juga toples-toples, buah-buahan dihias dengan guntingan kertas merah
diletakkan diatas piring, ikan bandeng rebus, kebang tahu, ketan manis
dibungkus kembang tahu dll untuk sajian di Altar. Dikedua sisih Altar
biasanya di pajang dua batang tebuh berikut dengan daunnya. Ini sebagai
simbol bahwa manisnya hidup tidak akan terus-menerus terjadi (ada
batasnya) seperti manisnya tebu yang ber-ruas-ruas.
Dapur
disajikan manis-manisan. Karena menurut kepercayaan orang Tionghoa Dewa
Dapur yang mempunyai tugas mengawasi kerukungan rumah tangga, pada hari
ke 1 hingga ke15 akan pergi ke “Tuhan” untuk melapor kerukunan setiap
rumah tangga masing-masing dibumi. Bagi yang sering cekcok dan tidak
harmoni, keluarga tersebut untuk tahun akan datang akan tidak dilimpahi
rezeki. Dengan disajikan manis-manisan diharapkan agar dewa dapur mau
melapor berita manis-manis kepada “Tuhan” untuk keluarga yang
bersangkutan.
Pada
hari menjelang Imlek biasanya semua orang akan menahan emosi untuk
marah-marah, dan berusaha untuk melupakan segala kegundahan, dan ketidak
senangan terhadap orang atau lingkungannya, saling maaf-maafan.
Diusahakan untuk berhati gembira. Malam harinya pergi sembayang dimuka
Altar, setelah kumpul keluarga makan-makan, sama-sama pergi ke
kelenteng-kelenteng, ada yang memesan lilin-lilin besar dan kecil untuk
dinyalakan pada jam 12 malam, ini menyimbolkan agar untuk perjalanan
hidup pada tahun yang akan datang menjadi terang dan cemerlang. Bagi
yang beragama Kristen atau Islam biasa tetap ada yang masih
mempertahankan tradisi ini, tapi dengan hanya kumpul keluarga dan
makan-makan bersama dan berdoa menurut agamanya. Didaerah jakarta dan
sekitarnya seperti Bogor, Tanggerang, Bekasi, Kerawang masih sering
memanggil group musik Tajidor khas Betawi (pengaruh Portugis, dengan
alat musik trombon, trompet, biola dll) dengan lagu-lagu khas Betawi….
Pada
pagi hari tahun baru Imlek semua orang berpakaian baju baru, habis
sembayang menyatap mieshua terus menjenguk orangtua, tetua dan sanak
famili sambil memberi salam ( dengan pai-pai) serta mengucapkan
“Kiong’hi-Kiong’hi” biasanya yang senior akan memberi “Angpao” (amplop
merah berisi uang tunai) kepada anak-anak, atau anak-anak yang sudah
dewasa dan berhasil dalam usaha akan memberi “Angpao” kapada orangtua
atau tetua. Ada juga yang berderma kepada orang-orang tidak mampu dengan
membagi-bagi “Angpao”. Saat ini dipertunjukan Liong-liong, Barongsai,
Pada hari ke 8 malam jam 12 atau 9 pagi jam 00:00 diadakan sembayang Qing Di Gong 清帝公(8/9-
bulan 1 Imlek), biasanya membuka altar darurat di alam terbuka didepan
rumah atau pekarangan, dengan sajian vagetarian saja.
Pada
hari ke 15 (Cap Go Mek) ada yang menggotong “Tepekong” mengadakan
arak-arakan dengan Liong, Barongsai, ada yang beraktraksi dengan
ilmu-ilmu supranatural dengan potong lidah, jalan di bara api, mandi
minyak panas dan lain-lain, ini biasanya diadakan di halaman
kelenteng-kelenteng. Mereka percaya dengan upacara ini dapat mengusir
bala.