Koleksi Kang Zusi
Kasih Diantara Remaja
Asmaraman S. Kho Ping Hoo
01. Misteri Kematian PahlawanRakyat
“KANDA Cia Sun ......! Kanda ...... tunggulah .....!!”Suara wanita ini terdengar amat memilukan hati penuhpermohonan dan kehancuran hati.“Balita, perempuan rendah. Pergilah kau, janganganggu aku!” terdengar suara laki-laki menjawabpenuh kegemasan dan kebencian.“Kanda Cia Sun ....... ohhh ..... kanda Cia Sun ......Ingatlah anakmu ini ......” Suara wanita ini sekarangbercampur tangis.Kalau ada orang lain berada di dalam hutan itu, tentudia akan menjadi seram dan takut, mengira bahwa ituadalah suara iblis-iblis hutan. Memang aneh. Suaranyaterdengar dekat, bergema di seluruh hutan, baik suarawanita maupun suara pria itu. Akan tetapi orang-orangnya tidak kelihatan.Setelah sunyi beberapa lamanya, akhirnya terdengar derap kaki kuda memasuki hutan.Penunggangnya seorang laki-laki tampan tegap, gagah perkasa dan dipundaknya duduk seekor monyet kecil yang sudah tua. Monyet betina ini agaknya sudah biasa ikut tuannya menunggangkuda. Tubuhnya tegak tidak bergoyang biarpun tuannya membalapkan kuda itu. Sebentar-sebentar monyet itu menengok ke belakang dan akhirnya mengeluarkan bunyi cecowetan seperti ketakutan.Yang ditakuti oleh monyet itu adalah seorang wanita muda berlari cepat sekali, mengejar daribelakang. Wanita ini masih muda dan cantik jelita. Rambutnya panjang halus dan amat hitam, riap-riapan karena tidak terpelihara dan ikatan rambutnya agaknya terlepas sehingga rambut itu tertiupangin, berkibar di belakang kepalanya. Dia memondong seorang bayi perempuan yang usianya barubeberapa bulan.Baru mendengar suara mereka tadi saja yang amat nyaring dan bergema di dalam hutan sedangkanorang-orangnya masih jauh, sudah dapat diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan,melainkan orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga khikang mereka membuatsuara mereka terdengar sampai jauh. Apalagi sekarang, melihat wanita muda itu berlari cepat sekalisehingga bisa menyusul larinya kuda yang dibalapkan, benar-benar luar biasa sekali.Orang muda itu masih mencoba untuk menangkan perlombaan lari itu, namun wanita yangmenggendong anak itu lebih cepat lagi bagaikan terbang saja larinya dan di sebuah tikungan diatelah dapat menyusul, mendahului kuda dan sekali mengangkat tangan menahan kepala kuda.Binatang itu berhenti berlari.
Monyet yang duduk di pundak orang muda itu mengeluarkan pekik ketakutan dan dari atas pundak ia meloncat ke sebuah cabang pohon yang terdekat. Adapun orang muda itu dengan muka merahdan mata melotot lalu melompat turun.“Perempuan hina, kau mengejar-ngejarku mau apakah?” bentaknyaSambil menangis wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan orang muda itu, memegangisepatunya.“Sun-ko ...... pujaan hatiku ..... di dunia ini hanya kau seorang yang kucinta. Sun-ko, kasihanilahaku, kasihanilah anakmu ini ..... bawa aku serta, biar aku akan menjadi bujangmu, menjadi pelayandi rumahmu. Biar aku akan merawat isteri dan anak-anakmu ...... asal aku selalu bisa berdekatandengan kau .....,” ratap tangis itu tentu akan melumpuhkan kekerasan hati pria. Namun laki-lakiyang bernama Cia Sun itu malah memperlihatkan muka penuh kebencian.Wanita ini memang cantik sekali. Usianya juga tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Rambutnyayang kini tidak digelung riap-riapan karena terlepas ikatannya, menutupi sebagian lehernya yangberkulit putih kekuningan. Rambut yang panjang, gemuk dan hitam sekali. Mukanya manis dantidak akan membosankan siapa saja yang memandangnya, dengan sepasang mata lincah dan bening,tajam ujungnya membuat lirikan mata seperti itu setajam tusukan pedang, hidungnya mancung danbibirnya merah segar tanpa gincu. Karena tadi berlari cepat, sepasang pipinya yang putih halus ituagak kemerahan dan rambut di dekat telinganya yang agak basah terkena peluh itu menambahmanisnya. Keindahan tubuhnya muda dibayangkan karena pakaiannya robek di sana sini. Namunorang muda berusia tiga puluh tahun itu tidak menghiraukan semua keindahan ini, agaknya malahtidak melihat kecantikan wanita ini yang dalam pandangan matanya malah merupakan seorangwanita jahat yang menyeramkan.“Siluman betina!” makinya marah. “Jangan coba menipuku. Anak ini bukan anakku! Kau kira akutidak tahu? Untuk menuruti nafsu jahatmu, kau mempergunakan ilmu siluman membuat aku lupadiri, kemudian kau malah tidak segan-segan untuk membunuh suamimu. Cih, perempuan macamapa kau ini? Anak ini bukan anakku dan aku Cia Sun telah bersumpah selama hidupku takkan sudiberdekatan denganmu. Pergilah!”“Kanda Cia Sun ......., begitu kejamkah hatimu? Biarlah, kalau kau tidak mau mengaku menjadiayah anak ini ... tidak apa, asal aku kau bolehkan selalu dekat denganmu. Aku ..... aku cintapadamu, Sun-ko ....., aku cinta padamu dengan seluruh jiwaku ......” Kembali wanita itu memeluk kedua kaki Cia Sun dan kini malah menciumi kaki itu.Cia Sun menjadi makin marah. Digerakkan kaki kanannya dan ditendangnya wanita itu. Tendanganyang keras sekali, dilakukan oleh seorang ahli silat kelas tinggi. Kalau orang lain yang terkenatendangan ini, tentu akan mati di saat itu juga. Akan tetapi wanita itu hanya terlempar danberjungkir balik dengan anak bayinya masih dalam pondongan. Jangankan terluka, menangispuntidak anak bayi itu! Kembali wanita itu maju berlutut.“Kanda Cia Sun, aku benar-benar cinta padamu. Lebih baik mati dari pada harus berpisah darimu.....”“Kalau begitu mampuslah!” Cia Sun melangkah maju dan mengerahkan tenaganya memukuldengan tangan kiri ke arah kepala wanita itu. Pukulan ini bukan sembarangan pukulan, melainkanpukulan dengan gerak tipu yang disebut Bu-siong-phak-houw (Bu-siong menghantam macan).Dilakukan dengan tenaga ratusan kati dan kiranya kepala seekor macan akan pecah kalau terkenapukulan ini. Namun wanita itu hanya mengangkat lengan melindungi kepalanya dan ketika kepalan laki-laki itu bertemu dengan lengannya, Cia Sun mengeluh kesakitan dan terhuyung mundur kebelakang. Ia menghela napas dan memaki,“Memang kau siluman! Ilmu kepandaianmu amat tinggi, luar biasa sekali, akan tetapi kaupergunakan untuk hal-hal yang tidak patut. Balita, jangan kau ganggu aku. Kau kembalilah kepadabangsamu, di sana kau adalah puteri yang dimuliakan orang. Kenapa kau begitu gila hendak mengejar-ngejar aku dan rela menjadi bujang?”“Sun-ko, sudah kukatakan tadi. Aku cinta kepadamu dan cintaku inilah yang membuat aku akanmerasa jauh lebih berbahagia menjadi bujangmu dari pada menjadi seorang puteri akan tetapi jauhdarimu. Sun-ko ......, kau bawalah aku. Selain menjadi bujang, akupun sanggup membelamu,sanggup melindungimu dari semua musuh-musuhmu.”Cia Sun kelihatan bimbang. Akan tetapi ia teringat akan isterinya. Terbayang wajah isterinya yanglembut, isterinya yang dikasihinya sepenuh jiwa. Tidak tega ia menyakiti hati isterinya denganmengambil seorang selir seperti iblis wanita ini. Hatinya mengeras kembali.“Tidak, sekali lagi tidak! Biarpun kau hendak membunuhku sekarang juga aku tidak sudiberdekatan denganmu. Pergilah! Di mana ada perempuan yang lebih tak tahu malu seperti engkau?Aku tidak sudi padamu, Balita!” Setelah berkata demikian, Cia Sun mencengklak kudanya lagi danmembalapkan kudanya. Monyet kecil tua yang sejak tadi menongkrong di atas dahan, sekarangmeloncat amat ringannya di atas pundak Cia Sun.Wanita cantik jelita yang disebut Balita itu bangun berdiri, wajahnya pucat, matanya sayu. Ia berdiriseperti patung, ia hendak mengejar lagi, akan tetapi tiba-tiba anak yang digendongnya menangiskeras. Berubahlah raut wajah wanita ini. Mata yang tadi sayu sekarang menjadi beringas, mulutyang tadinya seperti hendak menangis dan bermohon minta dikasihani itu, sekarang tersenyumpahit, menyeringai menyeramkan. Sepasang matanya berkilat memandang bayangan Cia Sun yangmembalapkan kudanya.Tangan kanan wanita ini bergerak memukul ke depan. Terdengar ringkik kuda mengerikan dankuda itu terguling roboh. Cia Sun terlempar jauh dan baiknya dia memiliki kepandaian tinggisehingga dengan cara membuat poksai (salto) sampai tiga kali ia dapat berdiri di atas tanah denganselamat. Monyet di pundaknya sudah meloncat lebih dulu dengan sigapnya.Cia Sun membalikkan tubuh dan memandang ke arah Balita yang tersenyum lebar, malah kiniwanita ini tertawa merdu namun baginya menyeramkan sekali seperti mendengar siluman tertawa.Tanpa banyak cakap lagi Cia Sun lalu menggerakkan kaki melarikan diri dari situ, diikuti olehmonyetnya. Ia masih mendengar suara ketawa Balita yang disusul kata-kata mengejek,” Laki-lakitidak berjantung! Kalau aku menghendaki nyawamu, apa sukarnya? Akan tetapi, membunuhmu punmasih belum cukup untuk membalas hinaan dan sakit hati yang kau jatuhkan kepadaku. Hi hi, CiaSun, kau tunggulah saja pembalasanku!” Setelah tertawa lagi cekikikan, tiba-tiba wanita itu lalumenangis sedih sambil menyusui anaknya. Benar-benar lakunya seperti seorang yang sudah miringotaknya.“Hi hi hik, Cia Sun. Aku memang cinta padamu, sangat cinta padamu karena kau tampan dangagah. Kau tidak mau mengakui anak ini .... ha ha, memang bukan anakmu. Tapi kau beranimenolakku .... setelah kau berhasil menjatuhkan hatiku. Awas kau ..... awas binimu dan anak-anakmu ......” Demikianlah, wanita itu sambil menyusui anaknya bicara seorang diri dan tertawa-tawa.
Adapun Cia Sun bersama monyet kecil sudah lari jauh menuju ke puncak-puncak bukit di luar hutan. Sambil berlari cepat, ia juga bicara seorang diri, atau sebetulnya ia bicara kepada monyetyang kini sudah nongkrong lagi di pundaknya.“Lim-ong (raja hutan), kepandaian siluman betina itu benar-benar luar biasa sekali. Sayang dia jahat..... ah, mulai saat ini kita harus waspada, dialah orang yang paling berbahaya di antara semua orangyang memusuhiku.”Monyet itu menggerakkan bibir dan mengeluarkan suara cecowetan, seakan-akan ia mengerti akanmaksud kata-kata tuannya ini dan ikut pula berprihatin. Setelah melakukan perjalanan cepat,menjelang senja Cia Sun dan monyetnya telah tiba di sebuah puncak yang penuh batu-batu putih.Pemandangan di daerah ini indah sekali dan ditengah-tengah puncak, di antara batu-batu putih ituberdiri dengan megahnya sebuah bangunan rumah.Lim-ong meloncat turun dari pundak tuannya dan keduanya lalu mendaki puncak, meloncat-loncatdi atas batu-batu putih dengan gesitnya. Dari gerak Cia Sun yang tidak kalah gesitnya dari padamonyetnya ketika berlompatan di antara batu-batu putih itu, dapat diketahui bahwa kepandaianorang gagah ini sebenarnya sudah tinggi sekali.Ketika Cia Sun sudah mendekati gedung itu, dua orang laki-laki berpakaian pelayan berseru girangdan tak lama kemudian bergema di dalam gedung seruan-seruan, “Cia-enghiong datang!”Seorang wanita muda yang cantik berlari keluar sambil memondong seorang anak perempuan yangmasih bayi, di belakangnya tampak seorang pengasuh memondong seorang anak laki-laki berusiadua tahun. Inilah isteri Cia Sun bersama dua orang anaknya. Dengan wajah berseri dan mata basahsaking terharu dan bahagia, isteri muda itu menyambut kedatangan suaminya.Monyet itu mendahului tuannya berlari ke depan, lalu berlutut di depan nyonya Cia seperti orangmemberi hormat. Kemudian ia berjingkrak-jingkrak kegirangan melihat Cia Sun memegang tanganisterinya dan menciumi kepala anak perempuannya yang berusia tiga bulan itu. Dalam kebahagiaanpertemuan ini, awan gelap menyelimuti wajah Cia Sun karena ketika mencium kepala anak perempuannya ia teringat akan anak perempuan dalam gendongan Balita tadi.“Ayah .......!” Anak laki-laki yang digendong oleh pengasuh tadi berseru dan seruan ini mengusir pergi awan gelap dari wajah Cia Sun. Ia mengulurkan kedua tangannya dan menggendong anak sulungnya.“Han Sin, kau rindu kepada ayahmu?” tanyanya sambil mencium pipi anak laki-laki itu yangtertawa-tawa gembira. Keluarga bahagia ini lalu berjalan memasuki gedung dengan lambat, diikutioleh para pelayan yang juga menjadi gembira sekali melihat tuan mereka kembali dengan selamat.Si monyet kecil mendahului mereka masuk sambil berjingkrak kegirangan.Siapakah sebetulnya Cia Sun ini dan siapa pula puteri yang bernama Balita itu?Cia Sun bukanlah orang sembarangan. Ketika masih kecil, baru setengah dewasa, ia telah ikutberjuang di samping ayahnya yang menjadi seorang kepercayaan pemimpin barisan petani Lie CuSeng. Ayah Cia Sun bernama Cia Hui Gan, seorang ahli silat kelas satu yang dengan gagahberaninya bersama putera tunggalnya berjuang membantu Lie Cu Seng berperang melawan orang-orang Mancuria yang dibantu oleh pengkhianat Bu Sam Kwi.Biarpun akhirnya bala tentara rakyat di bawah pimpinan Lie Cu Seng dapat dihancurkan olehtentara Mancu yang dibantu pengkhianat Bu Sam Kwi, namun para patriot Han masih terus melakukan perlawanan dan merupakan pengganggu-pengganggu yang memusingkan kerajaan baruyang didirikan oleh bangsa Mancu itu ialah Kerajaan Cheng. Orang-orang gagah yang tadinyamenjadi pembantu-pembantu perjuangan melawan penjajah dari utara itu, diam-diam tersebar danmasih menaruh kebencian terhadap pemerintah baru.Cia Hui Gan ayah Cia Sun, adalah seorang di antara orang-orang gagah ini. Biarpun telahmengalami kegagalan dalam perang, namun dia tidak menghentikan perjuangannya. Di sampingmemusuhi pembesar-pembesar dan penjilat-penjilat kerajaan baru, Cia Hui Gan tiada hentinyamengulurkan tangan membela kepentingan rakyat yang tertindas. Ia tidak segan-segan membunuhorang-orang jahat yang menindas rakyat, merampok bangsawan-bangsawan pengkhianat yang telahmenjadi anjing penjilat kerajaan Cheng dan membagi-bagikan hasil perampokan itu kepada orang-orang miskin. Pendeknya, Cia Hui Gan terkenal sebagai seorang pendekar rakyat yang amatterkenal. Semua ini ia kerjakan dengan bantuan putera tunggalnya, Cia Sun yang dalam usia belasantahun sudah mengalami banyak pertempuran.Akhirnya Cia Hui Gan tewas dalam sebuah pertempuran ketika dikeroyok oleh jagoan-jagoanpemerintah Cheng. Cia Sun yang sejak kecil memang sudah tidak beribu lagi, berhasil melarikandiri. Pemuda inipun melanjutkan sepak terjang ayahnya, malah lebih hebat lagi karenasesungguhnya Cia Sun telah mewarisi semua kepandaian ayahnya. Sebagai seorang pemudaberdarah panas, sepak terjangnya melebihi ayahnya dan sebentar saja ia amat terkenal, dipuji-pujirakyat yang menerima bantuannya, akan tetapi juga dimusuhi oleh orang-orang jahat, terutamasekali pemerintah Cheng. Pemerintah sampai mengumumkan hadiah besar bagi siapa yang berhasilmembawa kepala Cia Sun.Cia Sun membangun sebuah rumah gedung yang kuat dan indah di sebuah puncak pegununganMin-san yang terletak di daerah utara Se-cuan. Dalam usia dua puluh lima tahun ia menikah denganseorang gadis dari keluarga Lie. Isterinya cukup maklum siapa adanya suaminya ini, maka dia tidak mengeluh kalau suaminya itu meninggalkannya sampai beberapa bulan. Bahkan diam-diam diamembantu suaminya dengan bersikap manis budi dan memuji perjuangan suaminya sebagai seorangpendekar.Setelah Cia Sun menikah tiga tahun lamanya, ia dikurnia seorang putera yang ia beri nama Cia HanSin dan kini sudah berusia dua tahun. Setahun setelah puteranya lahir terjadilah urusan denganBalita yang amat memusingkan otaknya.Ketika itu seperti biasanya, kembali ia merantau untuk melakukan tugasnya sebagai seorangpendekar. Kali ini ia pergi ke daerah pegunungan Tapa-san karena mendengar bahwa sering kali didaerah itu terjadi kejahatan, perampokan dan penggangguan terhadap penduduk oleh serombonganorang-orang bersuku bangsa Hui. Dikawani oleh Lim-ong, monyet kecil yang dipeliharanyasemenjak monyet itu masih muda sekali, ia berangkat menunggang kuda ke daerah itu melakukanpenyelidikan.Betul saja. Segerombolan orang Hui terdiri dari seratus orang lebih melakukan penindasan danperampokan kepada orang-orang Han yang hidup sebagai petani di daerah itu. Seperti biasa, CiaSun segera menggulung lengan baju turun tangan. Akan tetapi kali ini ia kecelik. Rombongan orangHui itu dipimpin oleh seorang perempuan muda cantik jelita bernama Balita yang ternyata memilikiilmu kepandaian yang amat hebat.Dalam pertempuran hebat Cia Sun tertawan oleh Balita yang jatuh hati melihat pemuda gagahperkasa dan tampan ini. Balita menawan Cia Sun dan membujuk rayu orang muda ini. Akan tetapiCia Sun bukan sembarang laki-laki yang suka bermain gila dengan wanita, maka dengan berkeras iamenolak dan tidak sudi melayani niat busuk dari puteri bangsa Hui itu.Akan tetapi ia belum mengenal siapa Balita. Wanita muda ini biarpun cantik jelita sekali dan amatmenarik hati, mempunyai watak kasar, dan di samping ilmu silatnya yang tinggi sekali, dia jugaseorang ahli dalam pembuatan racun-racun jahat. Dengan senyum manis dan kerling mata memikat,Balita mempergunakan ramuan obat yang ia masukan dalam arak sehingga ketika Cia Sunmeminumnya, orang muda ini menjadi lupa diri, lupa daratan dan dalam keadaan tidak sadar dikuasai oleh pengaruh minuman mujijat, akhirnya ia tunduk kepada Balita dan melakukan apa sajayang dikehendaki puteri Hui itu.Tiga hari kemudian tiba-tiba seorang laki-laki bangsa Hui yang bertubuh tinggi besar bermukaburuk, berusia empat puluh tahun lebih melompat masuk ke dalam kamar sambil membawasebatang golok. Datang-datang ia menyerang Cia Sun sambil memaki-maki. Dengan cepat Cia Sunmengelak dan terdengar bentakan keras ketika Balita melayang ke depan sambil menendang laki-laki tinggi besar itu. Laki-laki itu terlempar dan goloknya terlepas dari tangannya.Namun ia masih melotot dan kini ia memaki Balita. “Perempuan rendah! Selama menjadi isteriku,entah sudah berapa kali kau berlaku serong. Akan tetapi selama kau bermain gila dengan bangsasendiri, aku tidak perduli amat karena memang aku tahu bahwa dibalik kecantikan dan kelihaianmu,kau hanyalah perempuan yang berwatak kotor. Biarpun begitu sekarang kau bermain gila denganseorang Han. Bagaimana aku bisa mendiamkannya begitu saja? Jahanam Han ini harus mampus!”“Anjing tak tahu diri! Orang macam kau berani bertingkah di depanku? Ayoh pergi, jangan ganggukami!” Balita membentak dan pada saat itu baru terbuka mata Cia Sun. Tadinya ia memang sudahmenyesal sekali setelah sadar dan insyaf akan perbuatannya sendiri melanggar kesusilaan, akantetapi kemenyesalannya tidak sehebat sekarang ini setelah ia mendengar bahwa perempuan puteriHui ini ternyata sudah bersuami! Ia merasa malu, merasa rendah dan tak tahu harus berbuat apa.Sementara itu, laki-laki bangsa Hui yang tinggi besar itu menudingkan telunjuknya kepada Balita,“Balita, andaikata kau tak boleh dicegah, tergila-gila kepada orang Han ini, setidaknya jangan kaulakukan dalam keadaan seperti sekarang. Ingat akan kandunganmu ....... jangan kau cemarkananakku yang kau kandung ......!” Kata-kata ini belum habis karena tiba-tiba ia terguling roboh dantewas di saat itu juga, terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan Balita dengan gemasnya.“Jangan hiraukan orang gila ini,” katanya halus sambil memeluk Cia Sun yang kelihatannya pucatsekali.Akan tetapi Cia Sun memberontak dan memukul ke arah dada perempuan itu dengan maksudmembunuh. Ia merasa ngeri mendengar ucapan orang Hui tadi, merasa ngeri akan perbuatannyasendiri yang ia anggap amat memalukan dan terkutuk.“Persetan kau perempuan busuk!” katanya.Balita mengelak akan tetapi tidak balas menyerang. Makian Cia Sun dan sikapnya yang berbalik membenci itulah yang membuat Balita merasa terpukul dan hanya berdiri dengan muka pucat.Bahkan kedua kakinya lemas tak dapat menyusul Cia Sun yang telah melompat keluar danmelarikan diri.Demikianlah Cia Sun yang gagal dalam membasmi orang-orang Hui malah sebaliknya dia terlibaturusan memalukan dengan Balita, telah berhasil melarikan diri dan kembali ke Min-san. Semenjak itu ia merasa berduka dan menyesal kalau teringat akan perbuatannya dengan Balita yang ia lakukandi luar kesadarannya itu. Berjina dengan isteri orang, isteri orang yang telah mengandung pula!Alangkah rendahnya! Alangkah kejinya. Apa lagi kalau ia teringat betapa suami Balita sampai tewas karena gara-gara dia menuruti kemauan Balita yang amat busuk, Cia Sun merasa makinterpukul dan malu hatinya.Setelah ia berhasil menghindarkan diri dari Balita yang tidak berhasil mencari-cari Cia Sun. Sampaipada suatu hari itu, seperti yang telah dituturkan di permulaan cerita ini, tiba-tiba saja Balita munculsambil menggendong seorang anak bayi yang dikatakannya adalah puterinya! Tentu saja ia marahsekali karena ia tahu bahwa anak itu adalah anak suami Balita. Ia tahu bahwa Balita membohong,menggunakan anak itu untuk menjatuhkan hatinya, untuk mengikatnya. Namun sebagai seoranggagah, ia tidak sudi menerima permintaan Balita.Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan. Balita hanya membunuh kuda tungganganCia Sun namun tidak mengganggu laki-laki yang berhasil melarikan diri bersama keranya, pulangke rumahnya di puncak Min-san.****Tiga hari kemudian.Semalaman tadi anak Cia Sun yang kecil, yang diberi nama Cia Bi Eng, menangis terus, rewel tidak karuan sebabnya. Cia Sun dan isterinya sampai menjadi bingung karenanya, karena anak itu tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sesuatu. Akan tetapi rewel terus tidak seperti biasanya.Menjelang pagi barulah anak itu dapat tidur dan Cia Sun yang semalaman tidak dapat tidur,sekarang duduk bersamadhi mengumpulkan ketenangan. Sesungguhnya hatinya tidak tenang karenaia seperti mendapat firasat tidak baik dengan adanya kerewelan anaknya itu. Akan terjadi halapakah? Ia teringat akan Balita dan mulai merasa khawatir kalau-kalau puteri Hui itu menjadi nekatdan menyerbu ke situ.“Betapapun jadinya, aku akan melawannya mati-matian,” pikirnya.Memang ternyata terbukti apa yang ia khawatirkan, pada keesokan harinya terjadi sesuatu. Akantetapi bukan Balita yang datang, melainkan orang-orang lain yang menjadi musuh ayahnya, jugamenjadi musuhnya. Seorang pelayan datang melapor bahwa di luar datang empat orang aneh yanghendak berjumpa dengan Cia-enghiong.Dengan tenang dan waspada Cia Sun keluar menjumpai tamu-tamunya. Sesampai di luar, ia melihattiga orang hwesio gundul yang berwajah bengis dan bertubuh kekar. Ia segera mengenal hwesio-hwesio ini sebagai Thian-san Sam-sian (Tiga Dewa dari Gunung Thian-san). Tiga orang hwesio iniadalah musuh-musuh ayahnya yang pernah dikalahkan ayahnya ketika terjadi bentrokan antara CiaHui Gan dan Thian-san Sam-sian. Urusannya tidak begitu besar. Seorang murid dari tiga oranghwesio ini terluka oleh Cia Hui Gan ketika melakukan kejahatan di kaki gunung Thian-san danThian-san Sam-sian membela muridnya itu. Setelah dikalahkan, mereka mengancam kelak akanmencari Cia Hui Gan untuk membuat perhitungan.Cia Sun mengenal mereka karena dahulu ketika pertempuran itu terjadi, ia memangmenyaksikannya, hanya ketika itu ia baru berusia empat belas tahun dan tidak ikut dalampertempuran. Sekarang melihat kedatangan mereka setelah belasan tahun lewat, ia dapat mendugabahwa mereka tentu akan membalas dendam. Akan tetapi ia tidak takut dan memandang merekadengan tenang.Ketika ia memandang orang keempat, ia mengerutkan kening dan merasa heran siapa adanya orangini. Tadi sekilas pandang ia berdebar juga karena menyangka dia itu Balita. Orang ini adalah seorang wanita yang cantik juga dan seperti juga Balita, dia mengendong seorang bayi perempuan!Akan tetapi bedanya, biarpun wanita ini juga cantik dan sebaya dengan Balita, jelas bahwa dia iniadalah seorang wanita bangsa Han dan mukanya yang cantik itu agak pucat seperti seorang yangmenderita penyakit berat.Cia Sun menjura kepada tiga orang hwesio sambil berkata, “Kiranya Thian-san Sam-sian yangdatang mengunjungi tempat tinggalku yang buruk. Selamat Datang!”Tiga orang hwesio itu saling pandang, agaknya lupa siapa adanya orang muda yang tampan dangagah ini. Seorang di antara mereka yang tertua, lalu mengangkat tangan balas menghormat sambilberkata, “Pinceng bertiga datang untuk menjumpai Cia Hui Gan. Harap kau minta ia keluar.”Cia Sun menggeleng kepala, “Sayang permintaan sam-wi losuhu tak mungkin dapat dilaksanakankarena orang yang sam-wi cari telah lama meninggal dunia.”Kembali tiga orang hwesio ini saling pandang, nampaknya kecewa sekali, “Kalau sicu (tuan gagah)ini siapakah dan bagaimana dapat mengenal pinceng bertiga?”“Aku adalah puteranya, namaku Cia Sun. Ada keperluan apakah gerangan maka sam-wi jauh-jauhdatang dari Thian-san untuk mencari mendiang ayahku,” tanya Cia Sun, pura-pura tidak tahu akanurusannya.Tiba-tiba wanita yang mengendong anak itu melangkah maju dan suaranya terdengar lemah namunpenuh kemarahan. “Aya ....... kiranya inikah yang bernama Cia Sun, manusia sombong yangmengandalkan kepandaian sendiri untuk membunuh orang?”Cia Sun terkejut. Dia tidak mengenal wanita ini dan tidak tahu apakah yang menyebabkan nyonyamuda ini datang-datang marah kepadanya. Ia cepat menjura dan bertanya.“Toanio ini siapakah dan apa sebabnya toanio mengatakan aku sombong dan membunuh orang?”Wanita itu tersenyum mengejek dan jari telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah muka CiaSun. “Orang she Cia, apakah kau sudah lupa kepada Phang Kim Tek yang kaubunuh di I-kiang?”Tentu saja Cia Sun masih ingat akan Phang Kim Tek di I-kiang. Seorang tuan tanah yang amatkejam yang menggunakan kekayaan dan kekuasaannya menjadi tuan tanah dan raja kecil di dusunsebelah selatan I-kiang. Dengan kejam tuan tanah ini memeras tenaga rakyat petani, bahkanmenggunakan kekuasaannya untuk merampas sedikit tanah yang dimiliki beberapa orang petanimiskin.Sebagai seorang pendekar, melihat kejadian tidak adil ini Cia Sun turun tangan sehingga ia bentrok dengan tuan tanah Phang Kim Tek yang dibantu kaki tangannya. Dalam pertempuran ini PhangKim Tek tewas olehnya. Ia telah mendengar bahwa isteri Phang Kim Tek adalah seorang wanitayang amat lihai, yang dijuluki Ang-jiu Toanio (Nyonya Tangan Merah), yang dalam kekejaman dankelihaiannya malah lebih hebat dari pada tuan tanah itu. Akan tetapi pada waktu pertempuranterjadi, nyonya itu sedang mengandung tua, maka tidak dapat keluar membantu suaminya.Sekarang, setengah tahun setelah peristiwa itu terjadi, tiba-tiba nyonya ini muncul membawaputerinya yang baru berusia tiga bulan untuk membalas dendam!Cia Sun melirik ke arah tangan kanan yang menudingkan telunjuk kepadanya. Ia melihat bahwatangan itu memang mengeluarkan cahaya kemerahan sampai di pergelangan tangan dan diam-diam ia terkejut. Benar-benar inilah Ang-jiu Toanio dan ia dapat menduga apa artinya warna merah padatangan itu. Dia adalah ahli Ang-see-chiu (Tangan Pasir Merah) yang amat keji dan lihai!Cepat ia menjura lagi dan berkata sambil tersenyum tenang, “Ah, tidak tahunya siauwte berhadapandengan Ang-jiu Toanio! Toanio yang baik, urusan dengan mendiang suamimu itu adalah kesalahansuamimu sendiri yang tidak ingat akan tenaga buruh tani yang membantunya mengumpulkan hartakekayaan. Biarpun suamimu memiliki sawah lebar, kalau tidak ada bantuan tenaga buruh tani, manabisa dia mengerjakan sendiri sawahnya yang demikian luas? Akan tetapi sebaliknya dari membalasjasa para petani miskin, suamimu malah menindas mereka. Karena itu, kematian suamimu adalahkarena kesalahan sendiri. Maka harap toanio suka menimbang dengan adil dan suka menghabiskanperkara itu.”Sepasang mata Ang-jiu Toanio bernyala. “Jahanam keparat! Kau telah membunuh suamiku,membuat anakku ini menjadi anak yatim dan kau menyuruh aku menghabiskan urusan itu? Cia Sun,kalau dahulu aku tidak sedang mengandung, kiranya bukan suamiku yang tewas, melainkan kau.Sekarang bersiaplah kau menerima pembalasanku!” Sambil berkata demikian, Ang-jiu Toanio lalumenurunkan anaknya di pinggir, kemudian ia melompat maju menghadapi Cia Sun.Pendekar ini menarik napas panjang, maklum bahwa urusan ini harus diselesaikan dengan adukepandaian. Diam-diam ia merasa kasihan kepada wanita ini yang baru saja melahirkan anak harusbertanding dengannya. Akan tetapi ia tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya. Dengantenang iapun memasang kuda-kuda dan bersikap waspada.“Kalau demikian kehendakmu, silahkan toanio!”Ang-jiu Toanio mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju denganganasnya. Kedua tangannya terkepal erat dan menjadi makin merah warnanya. Kemudian iamenyerang dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin saking kerasnya. Cia Sun bersikaptenang akan tetapi hati-hati sekali karena maklum bahwa kepandaian wanita ini lebih lihai dari padakepandaian Phang Kim Tek. Beberapa pukulan yang menyerangnya bertubi-tubi ia elakkan denganlincah tanpa balas memukul. Pukulan keenam yang datangnya cepat mengarah ke dadanya dan tak mungkin dielakkan, terpaksa ia tangkis. Ia mengerahkan tenaga lweekang kepada lengannya,maklum tangan merah adalah tangan yang sudah dilatih hebat dan tenaga pukulannya mengandunghawa beracun yang dapat merusak jalan darah.“Plak ......!” Ketika kedua tangan itu bertemu, Cia Sun merasa lengannya panas sekali, akan tetapi iaberhasil menangkis keras membuat lawannya terpental mundur. Wajah Ang-jiu Toanio makin pucatkarena dari tangkisan ini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang Cia Sun amat tinggi sehinggamampu menolak kembali pukulan Ang-see-jiu.“Kalau bukan kau, tentu aku yang menggeletak di sini!” nyonya muda itu berteriak dan dengannekat lalu menyerang lagi, lebih ganas dan lebih cepat dari yang sudah-sudah.Menghadapi serangan bertubi-tubi ini, terpaksa Cia Sun mengeluarkan kepandaiannya dan mainkanilmu silat Thian-te-kun, sambil mengerahkan tenaga Pek-kong-jiu. Inilah kepandaian warisanayahnya, kepandaian dari keluarga Cia yang membuat ayahnya dahulu terkenal sebagai seorangpendekar yang sukar menemui tandingan.Ang-jiu Toanio sebenarnya bukan seorang lemah dan dalam hal ilmu silat, kiranya takkan mudahbagi Cia Sun untuk mengalahkannya. Boleh dibilang mereka berimbang, baik dalam kegesitanmaupun kehebatan tenaga. Akan tetapi nyonya muda ini baru tiga bulan melahirkan anak dan selaintenaganya belum pulih juga agaknya di dalam tubuhnya terkandung penyakit yang dapat dilihat dari wajahnya yang selalu pucat. Maka kini menghadapi Cia Sun ia merasa berat sekali sehingga dalamjurus ke lima puluh, ia telah menjadi lelah sekali. Gerakannya menjadi lambat dan ia terdesak hebat.Baiknya Cia Sun bukan seorang yang berhati kejam. Kalau pendekar ini menghendaki, tentu ia bisamembuat lawannya tidak berdaya dengan pukulan-pukulan maut, akan tetapi sebaliknya Cia Sunhanya mendesaknya agar kehabisan tenaga dan suka menyerah.“Toanio, kenapa kau mendesak terus? Sudahlah, habiskan urusan ini,” ia mencoba untuk membujuk.Akan tetapi lawannya menjadi makin bernafsu.“Aku belum mampus, jangan kira aku takut!” bentak Ang-jiu Toanio dan nyonya muda inimengumpulkan tenaga terakhir untuk menyerang terus.Cia Sun mencari akal. “Toanio, apakah kau tidak kasihan kepada anakmu?” Demikian akhirnya iaberkata. “Kalau kau tewas, siapa yang akan memeliharanya?”Ucapan ini benar-benar tepat sekali, merupakan ujung pisau berkarat yang menikam jantung.Nyonya muda itu mengeluarkan keluhan perlahan dan pukulan-pukulannya menjadi ragu-ragu.Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya lagi dan menyerang terus.Pada saat itu, kebetulan sekali ada seekor semut menggigit kaki bayi itu yang menjadi kesakitan danmenangis keras. Mendengar tangis bayinya, makin tidak karuan hati Ang-jiu Toanio.“Toanio, anakmu menangis minta tetek, masa kau masih terus berkelahi mati-matian?” kembali CiaSun mendesak dengan omongannya.Dari mulut Ang-jiu Toanio keluar rintihan dan tiba-tiba nyonya muda ini melompat mundur,menyambar anaknya dan lari dari situ sambil berseru, “Cia Sun, kau tunggu saja sampai anakkubesar dan tidak membutuhkan aku lagi. Aku akan kembali dan mencarimu!” Setelah berkatademikian, sambil menangis penuh dendam sakit hati, nyonya muda itu memondong anaknya pergi.Cia Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Sebuah urusan rumit telah dapat dipecahkan, tinggalurusan kedua, yaitu menghadapi tiga orang hwesio dari Thian-san itu.Ketika tadi pertempuran berjalan, tiga orang hwesio itu menonton dengan penuh perhatian.Sekarang mereka maju menghadapi Cia Sun lagi dan hwesio tertua yang bernama Gi Thai Hwesioberkata memuji,“Omitohud, Cia-sicu benar-benar gagah perkasa, tidak kalah oleh ayahnya. Benar-benar mengagumkan.”“Losuhu terlalu memuji. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Thian-san Sam-sian yangnama besarnya telah bergema di seluruh pojok jagat. Losuhu telah melihat sendiri bahwa aku tidak suka akan adanya permusuhan-permusuhan, maka apabila losuhu datang dengan maksud baik,silahkan masuk sebagai tamu-tamuku yang terhormat.”“Hemm, orang she Cia, agaknya kau sombong dengan kemenanganmu tadi,” potong Gi HunHwesio, orang kedua di antara tiga hwesio itu. “Ayahmu telah menghina pinceng bertiga. Biarpunsekarang dia telah mati, masih ada kau anaknya yang harus membayar hutangnya kepada kami.”Sambil berkata demikian Gi Hun Hwesio sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan tasbeh di tangan kiri, sepasang senjata Thian-san Sam-sian yang membuat nama mereka terkenal. Gerakanini diturut oleh dua orang saudaranya dan mereka membuat gerakan segi tiga mengurung Cia Sun.Cia Sun masih berlaku tenang. Ia tidak gugup sama sekali menghadapi musuh-musuh ayahnya ini.“Sam-wi losuhu, harap sam-wi ingat bahwa permusuhan antara sam-wi dengan mendiang ayahadalah karena kesalahan murid sam-wi sendiri. Muridmu telah melakukan pelanggaran sebagaimurid orang-orang beribadat, telah menjadi seorang jai-hoa-cat (bangsat pemetik bunga) yangmerusak anak bini orang. Sudah sepatutnya kalau ayah turun tangan membasminya. Sam-wi tidak menghukum murid murtad, sebaliknya memusuhi ayah, bukankah itu salah dan tidak sesuai dengankedudukan sam-wi sebagai hwesio-hwesio beribadat?”Mendengar ucapan ini, Gi Hun Hwesio dan Gi Ho Hwesio tidak dapat menahan kemarahannya.Serentak keduanya hendak menyerang, akan tetapi Gi Thai Hwesio yang lebih sabar memberiisyarat mencegah kedua orang sutenya (adik seperguruannya). Kemudian ia berkata kepada CiaSun. “Omitohud, ucapan Cia-sicu gagah benar. Salah atau tidaknya murid kami adalah urusan kamiuntuk memutuskan, akan tetapi ayahmu telah berlaku lancang membunuhnya. Bukankah itu samasaja dengan tidak memandang kepada kami dan menghina kami? Akan tetapi, ayahmu telahmeninggal dunia dan karena itu kalau saja sicu suka berdamai, pinceng bertiga pun tidak akanterlalu mendesakmu untuk membayar hutang ayahmu.”Cia Sun dapat menangkap maksud tertentu dalam ucapan ini. Dia seorang yang gagah dan jujur,maka tidak menyukai segala sikap plintat-plintut. Katanya tegas.“Terserah kepada sam-wi losuhu. Apakah yang sam-wi maksudkan dengan perdamaian?Bagaimana caranya?Gi Thai Hwesio tertawa, menutupi rasa malu dan sungkan-sungkan. Kemudian setelah menarik napas panjang, ia berkata lagi.“Omitohud, sicu terlalu tergesa, baiklah pinceng terangkan. Kami bertiga tidak akan mendesakmudan menghabiskan urusan dengan ayahmu yang sudah mati kalau kau mau menyerahkan suratwasiat dari pemberontak Lie Cu Seng kepada kami.”Cia Sun mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. “Surat wasiat Lie Cu Seng?” Lie CuSeng adalah seorang pahlawan rakyat, seorang pejuang pemimpin barisan tani dan kawanseperjuangan Cia Hui Gan, ayahnya. Mendengar tiga orang hwesio ini menyebut nama Lie Cu Sengsebagai pemberontak, tahulah Cia Sun dengan orang-orang macam apa ia berhadapan. Akan tetapiia masih menahan sabar dan bertanya dengan heran tadi karena memang ia tidak pernah mendengar tentang surat wasiat itu.“Harap sicu jangan berpura-pura. Lie Cu Seng telah merampok harta kekayaan Kaisar Beng-tiauwdan membawa harta kekayaan itu ketika melarikan diri dari kota raja. Sebelum mati diameninggalkan surat wasiat tentang harta benda itu. Mendiang ayahmu adalah tangan kanan Lie CuSeng, maka sudah tentu surat wasiat itu terjatuh ke dalam tangannya. Setelah ayahmu meninggalkepada siapa lagi surat wasiat itu terjatuh kecuali kepadamu?”Herannya Cia Sun bukan kepalang. Memang cerita ini ada kemungkinannya benar, akan tetapi iabetul-betul tidak pernah mendengar tentang itu. Ayahnya tidak pernah bercerita tentang surat wasiatitu. Ia mulai mengingat-ingat. Peninggalan ayahnya tidak banyak, hanya pakaian dan barang-barangseperti cawan arak, cangkir minum, guci arak, dan pipa panjang kesayangan ayahnya menghisap tembakau. Tidak ada surat wasiat! Barang-barang itu memang masih ia simpan bersama pakaian-pakaian sebagai peringatan, ia taruh di meja sembahyang ayahnya. Di mana ada surat wasiat?“Aku tidak tahu menahu tentang surat wasiat ....” ia berkata perlahan.“Sicu tidak perlu membohong, dan kamipun tidak memerlukan pengakuan sicu. Yang terpenting,sicu suka memberikan atau tidak?”
Kasih Diantara Remaja
Asmaraman S. Kho Ping Hoo
01. Misteri Kematian PahlawanRakyat
“KANDA Cia Sun ......! Kanda ...... tunggulah .....!!”Suara wanita ini terdengar amat memilukan hati penuhpermohonan dan kehancuran hati.“Balita, perempuan rendah. Pergilah kau, janganganggu aku!” terdengar suara laki-laki menjawabpenuh kegemasan dan kebencian.“Kanda Cia Sun ....... ohhh ..... kanda Cia Sun ......Ingatlah anakmu ini ......” Suara wanita ini sekarangbercampur tangis.Kalau ada orang lain berada di dalam hutan itu, tentudia akan menjadi seram dan takut, mengira bahwa ituadalah suara iblis-iblis hutan. Memang aneh. Suaranyaterdengar dekat, bergema di seluruh hutan, baik suarawanita maupun suara pria itu. Akan tetapi orang-orangnya tidak kelihatan.Setelah sunyi beberapa lamanya, akhirnya terdengar derap kaki kuda memasuki hutan.Penunggangnya seorang laki-laki tampan tegap, gagah perkasa dan dipundaknya duduk seekor monyet kecil yang sudah tua. Monyet betina ini agaknya sudah biasa ikut tuannya menunggangkuda. Tubuhnya tegak tidak bergoyang biarpun tuannya membalapkan kuda itu. Sebentar-sebentar monyet itu menengok ke belakang dan akhirnya mengeluarkan bunyi cecowetan seperti ketakutan.Yang ditakuti oleh monyet itu adalah seorang wanita muda berlari cepat sekali, mengejar daribelakang. Wanita ini masih muda dan cantik jelita. Rambutnya panjang halus dan amat hitam, riap-riapan karena tidak terpelihara dan ikatan rambutnya agaknya terlepas sehingga rambut itu tertiupangin, berkibar di belakang kepalanya. Dia memondong seorang bayi perempuan yang usianya barubeberapa bulan.Baru mendengar suara mereka tadi saja yang amat nyaring dan bergema di dalam hutan sedangkanorang-orangnya masih jauh, sudah dapat diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan,melainkan orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga khikang mereka membuatsuara mereka terdengar sampai jauh. Apalagi sekarang, melihat wanita muda itu berlari cepat sekalisehingga bisa menyusul larinya kuda yang dibalapkan, benar-benar luar biasa sekali.Orang muda itu masih mencoba untuk menangkan perlombaan lari itu, namun wanita yangmenggendong anak itu lebih cepat lagi bagaikan terbang saja larinya dan di sebuah tikungan diatelah dapat menyusul, mendahului kuda dan sekali mengangkat tangan menahan kepala kuda.Binatang itu berhenti berlari.
Monyet yang duduk di pundak orang muda itu mengeluarkan pekik ketakutan dan dari atas pundak ia meloncat ke sebuah cabang pohon yang terdekat. Adapun orang muda itu dengan muka merahdan mata melotot lalu melompat turun.“Perempuan hina, kau mengejar-ngejarku mau apakah?” bentaknyaSambil menangis wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan orang muda itu, memegangisepatunya.“Sun-ko ...... pujaan hatiku ..... di dunia ini hanya kau seorang yang kucinta. Sun-ko, kasihanilahaku, kasihanilah anakmu ini ..... bawa aku serta, biar aku akan menjadi bujangmu, menjadi pelayandi rumahmu. Biar aku akan merawat isteri dan anak-anakmu ...... asal aku selalu bisa berdekatandengan kau .....,” ratap tangis itu tentu akan melumpuhkan kekerasan hati pria. Namun laki-lakiyang bernama Cia Sun itu malah memperlihatkan muka penuh kebencian.Wanita ini memang cantik sekali. Usianya juga tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Rambutnyayang kini tidak digelung riap-riapan karena terlepas ikatannya, menutupi sebagian lehernya yangberkulit putih kekuningan. Rambut yang panjang, gemuk dan hitam sekali. Mukanya manis dantidak akan membosankan siapa saja yang memandangnya, dengan sepasang mata lincah dan bening,tajam ujungnya membuat lirikan mata seperti itu setajam tusukan pedang, hidungnya mancung danbibirnya merah segar tanpa gincu. Karena tadi berlari cepat, sepasang pipinya yang putih halus ituagak kemerahan dan rambut di dekat telinganya yang agak basah terkena peluh itu menambahmanisnya. Keindahan tubuhnya muda dibayangkan karena pakaiannya robek di sana sini. Namunorang muda berusia tiga puluh tahun itu tidak menghiraukan semua keindahan ini, agaknya malahtidak melihat kecantikan wanita ini yang dalam pandangan matanya malah merupakan seorangwanita jahat yang menyeramkan.“Siluman betina!” makinya marah. “Jangan coba menipuku. Anak ini bukan anakku! Kau kira akutidak tahu? Untuk menuruti nafsu jahatmu, kau mempergunakan ilmu siluman membuat aku lupadiri, kemudian kau malah tidak segan-segan untuk membunuh suamimu. Cih, perempuan macamapa kau ini? Anak ini bukan anakku dan aku Cia Sun telah bersumpah selama hidupku takkan sudiberdekatan denganmu. Pergilah!”“Kanda Cia Sun ......., begitu kejamkah hatimu? Biarlah, kalau kau tidak mau mengaku menjadiayah anak ini ... tidak apa, asal aku kau bolehkan selalu dekat denganmu. Aku ..... aku cintapadamu, Sun-ko ....., aku cinta padamu dengan seluruh jiwaku ......” Kembali wanita itu memeluk kedua kaki Cia Sun dan kini malah menciumi kaki itu.Cia Sun menjadi makin marah. Digerakkan kaki kanannya dan ditendangnya wanita itu. Tendanganyang keras sekali, dilakukan oleh seorang ahli silat kelas tinggi. Kalau orang lain yang terkenatendangan ini, tentu akan mati di saat itu juga. Akan tetapi wanita itu hanya terlempar danberjungkir balik dengan anak bayinya masih dalam pondongan. Jangankan terluka, menangispuntidak anak bayi itu! Kembali wanita itu maju berlutut.“Kanda Cia Sun, aku benar-benar cinta padamu. Lebih baik mati dari pada harus berpisah darimu.....”“Kalau begitu mampuslah!” Cia Sun melangkah maju dan mengerahkan tenaganya memukuldengan tangan kiri ke arah kepala wanita itu. Pukulan ini bukan sembarangan pukulan, melainkanpukulan dengan gerak tipu yang disebut Bu-siong-phak-houw (Bu-siong menghantam macan).Dilakukan dengan tenaga ratusan kati dan kiranya kepala seekor macan akan pecah kalau terkenapukulan ini. Namun wanita itu hanya mengangkat lengan melindungi kepalanya dan ketika kepalan laki-laki itu bertemu dengan lengannya, Cia Sun mengeluh kesakitan dan terhuyung mundur kebelakang. Ia menghela napas dan memaki,“Memang kau siluman! Ilmu kepandaianmu amat tinggi, luar biasa sekali, akan tetapi kaupergunakan untuk hal-hal yang tidak patut. Balita, jangan kau ganggu aku. Kau kembalilah kepadabangsamu, di sana kau adalah puteri yang dimuliakan orang. Kenapa kau begitu gila hendak mengejar-ngejar aku dan rela menjadi bujang?”“Sun-ko, sudah kukatakan tadi. Aku cinta kepadamu dan cintaku inilah yang membuat aku akanmerasa jauh lebih berbahagia menjadi bujangmu dari pada menjadi seorang puteri akan tetapi jauhdarimu. Sun-ko ......, kau bawalah aku. Selain menjadi bujang, akupun sanggup membelamu,sanggup melindungimu dari semua musuh-musuhmu.”Cia Sun kelihatan bimbang. Akan tetapi ia teringat akan isterinya. Terbayang wajah isterinya yanglembut, isterinya yang dikasihinya sepenuh jiwa. Tidak tega ia menyakiti hati isterinya denganmengambil seorang selir seperti iblis wanita ini. Hatinya mengeras kembali.“Tidak, sekali lagi tidak! Biarpun kau hendak membunuhku sekarang juga aku tidak sudiberdekatan denganmu. Pergilah! Di mana ada perempuan yang lebih tak tahu malu seperti engkau?Aku tidak sudi padamu, Balita!” Setelah berkata demikian, Cia Sun mencengklak kudanya lagi danmembalapkan kudanya. Monyet kecil tua yang sejak tadi menongkrong di atas dahan, sekarangmeloncat amat ringannya di atas pundak Cia Sun.Wanita cantik jelita yang disebut Balita itu bangun berdiri, wajahnya pucat, matanya sayu. Ia berdiriseperti patung, ia hendak mengejar lagi, akan tetapi tiba-tiba anak yang digendongnya menangiskeras. Berubahlah raut wajah wanita ini. Mata yang tadi sayu sekarang menjadi beringas, mulutyang tadinya seperti hendak menangis dan bermohon minta dikasihani itu, sekarang tersenyumpahit, menyeringai menyeramkan. Sepasang matanya berkilat memandang bayangan Cia Sun yangmembalapkan kudanya.Tangan kanan wanita ini bergerak memukul ke depan. Terdengar ringkik kuda mengerikan dankuda itu terguling roboh. Cia Sun terlempar jauh dan baiknya dia memiliki kepandaian tinggisehingga dengan cara membuat poksai (salto) sampai tiga kali ia dapat berdiri di atas tanah denganselamat. Monyet di pundaknya sudah meloncat lebih dulu dengan sigapnya.Cia Sun membalikkan tubuh dan memandang ke arah Balita yang tersenyum lebar, malah kiniwanita ini tertawa merdu namun baginya menyeramkan sekali seperti mendengar siluman tertawa.Tanpa banyak cakap lagi Cia Sun lalu menggerakkan kaki melarikan diri dari situ, diikuti olehmonyetnya. Ia masih mendengar suara ketawa Balita yang disusul kata-kata mengejek,” Laki-lakitidak berjantung! Kalau aku menghendaki nyawamu, apa sukarnya? Akan tetapi, membunuhmu punmasih belum cukup untuk membalas hinaan dan sakit hati yang kau jatuhkan kepadaku. Hi hi, CiaSun, kau tunggulah saja pembalasanku!” Setelah tertawa lagi cekikikan, tiba-tiba wanita itu lalumenangis sedih sambil menyusui anaknya. Benar-benar lakunya seperti seorang yang sudah miringotaknya.“Hi hi hik, Cia Sun. Aku memang cinta padamu, sangat cinta padamu karena kau tampan dangagah. Kau tidak mau mengakui anak ini .... ha ha, memang bukan anakmu. Tapi kau beranimenolakku .... setelah kau berhasil menjatuhkan hatiku. Awas kau ..... awas binimu dan anak-anakmu ......” Demikianlah, wanita itu sambil menyusui anaknya bicara seorang diri dan tertawa-tawa.
Adapun Cia Sun bersama monyet kecil sudah lari jauh menuju ke puncak-puncak bukit di luar hutan. Sambil berlari cepat, ia juga bicara seorang diri, atau sebetulnya ia bicara kepada monyetyang kini sudah nongkrong lagi di pundaknya.“Lim-ong (raja hutan), kepandaian siluman betina itu benar-benar luar biasa sekali. Sayang dia jahat..... ah, mulai saat ini kita harus waspada, dialah orang yang paling berbahaya di antara semua orangyang memusuhiku.”Monyet itu menggerakkan bibir dan mengeluarkan suara cecowetan, seakan-akan ia mengerti akanmaksud kata-kata tuannya ini dan ikut pula berprihatin. Setelah melakukan perjalanan cepat,menjelang senja Cia Sun dan monyetnya telah tiba di sebuah puncak yang penuh batu-batu putih.Pemandangan di daerah ini indah sekali dan ditengah-tengah puncak, di antara batu-batu putih ituberdiri dengan megahnya sebuah bangunan rumah.Lim-ong meloncat turun dari pundak tuannya dan keduanya lalu mendaki puncak, meloncat-loncatdi atas batu-batu putih dengan gesitnya. Dari gerak Cia Sun yang tidak kalah gesitnya dari padamonyetnya ketika berlompatan di antara batu-batu putih itu, dapat diketahui bahwa kepandaianorang gagah ini sebenarnya sudah tinggi sekali.Ketika Cia Sun sudah mendekati gedung itu, dua orang laki-laki berpakaian pelayan berseru girangdan tak lama kemudian bergema di dalam gedung seruan-seruan, “Cia-enghiong datang!”Seorang wanita muda yang cantik berlari keluar sambil memondong seorang anak perempuan yangmasih bayi, di belakangnya tampak seorang pengasuh memondong seorang anak laki-laki berusiadua tahun. Inilah isteri Cia Sun bersama dua orang anaknya. Dengan wajah berseri dan mata basahsaking terharu dan bahagia, isteri muda itu menyambut kedatangan suaminya.Monyet itu mendahului tuannya berlari ke depan, lalu berlutut di depan nyonya Cia seperti orangmemberi hormat. Kemudian ia berjingkrak-jingkrak kegirangan melihat Cia Sun memegang tanganisterinya dan menciumi kepala anak perempuannya yang berusia tiga bulan itu. Dalam kebahagiaanpertemuan ini, awan gelap menyelimuti wajah Cia Sun karena ketika mencium kepala anak perempuannya ia teringat akan anak perempuan dalam gendongan Balita tadi.“Ayah .......!” Anak laki-laki yang digendong oleh pengasuh tadi berseru dan seruan ini mengusir pergi awan gelap dari wajah Cia Sun. Ia mengulurkan kedua tangannya dan menggendong anak sulungnya.“Han Sin, kau rindu kepada ayahmu?” tanyanya sambil mencium pipi anak laki-laki itu yangtertawa-tawa gembira. Keluarga bahagia ini lalu berjalan memasuki gedung dengan lambat, diikutioleh para pelayan yang juga menjadi gembira sekali melihat tuan mereka kembali dengan selamat.Si monyet kecil mendahului mereka masuk sambil berjingkrak kegirangan.Siapakah sebetulnya Cia Sun ini dan siapa pula puteri yang bernama Balita itu?Cia Sun bukanlah orang sembarangan. Ketika masih kecil, baru setengah dewasa, ia telah ikutberjuang di samping ayahnya yang menjadi seorang kepercayaan pemimpin barisan petani Lie CuSeng. Ayah Cia Sun bernama Cia Hui Gan, seorang ahli silat kelas satu yang dengan gagahberaninya bersama putera tunggalnya berjuang membantu Lie Cu Seng berperang melawan orang-orang Mancuria yang dibantu oleh pengkhianat Bu Sam Kwi.Biarpun akhirnya bala tentara rakyat di bawah pimpinan Lie Cu Seng dapat dihancurkan olehtentara Mancu yang dibantu pengkhianat Bu Sam Kwi, namun para patriot Han masih terus melakukan perlawanan dan merupakan pengganggu-pengganggu yang memusingkan kerajaan baruyang didirikan oleh bangsa Mancu itu ialah Kerajaan Cheng. Orang-orang gagah yang tadinyamenjadi pembantu-pembantu perjuangan melawan penjajah dari utara itu, diam-diam tersebar danmasih menaruh kebencian terhadap pemerintah baru.Cia Hui Gan ayah Cia Sun, adalah seorang di antara orang-orang gagah ini. Biarpun telahmengalami kegagalan dalam perang, namun dia tidak menghentikan perjuangannya. Di sampingmemusuhi pembesar-pembesar dan penjilat-penjilat kerajaan baru, Cia Hui Gan tiada hentinyamengulurkan tangan membela kepentingan rakyat yang tertindas. Ia tidak segan-segan membunuhorang-orang jahat yang menindas rakyat, merampok bangsawan-bangsawan pengkhianat yang telahmenjadi anjing penjilat kerajaan Cheng dan membagi-bagikan hasil perampokan itu kepada orang-orang miskin. Pendeknya, Cia Hui Gan terkenal sebagai seorang pendekar rakyat yang amatterkenal. Semua ini ia kerjakan dengan bantuan putera tunggalnya, Cia Sun yang dalam usia belasantahun sudah mengalami banyak pertempuran.Akhirnya Cia Hui Gan tewas dalam sebuah pertempuran ketika dikeroyok oleh jagoan-jagoanpemerintah Cheng. Cia Sun yang sejak kecil memang sudah tidak beribu lagi, berhasil melarikandiri. Pemuda inipun melanjutkan sepak terjang ayahnya, malah lebih hebat lagi karenasesungguhnya Cia Sun telah mewarisi semua kepandaian ayahnya. Sebagai seorang pemudaberdarah panas, sepak terjangnya melebihi ayahnya dan sebentar saja ia amat terkenal, dipuji-pujirakyat yang menerima bantuannya, akan tetapi juga dimusuhi oleh orang-orang jahat, terutamasekali pemerintah Cheng. Pemerintah sampai mengumumkan hadiah besar bagi siapa yang berhasilmembawa kepala Cia Sun.Cia Sun membangun sebuah rumah gedung yang kuat dan indah di sebuah puncak pegununganMin-san yang terletak di daerah utara Se-cuan. Dalam usia dua puluh lima tahun ia menikah denganseorang gadis dari keluarga Lie. Isterinya cukup maklum siapa adanya suaminya ini, maka dia tidak mengeluh kalau suaminya itu meninggalkannya sampai beberapa bulan. Bahkan diam-diam diamembantu suaminya dengan bersikap manis budi dan memuji perjuangan suaminya sebagai seorangpendekar.Setelah Cia Sun menikah tiga tahun lamanya, ia dikurnia seorang putera yang ia beri nama Cia HanSin dan kini sudah berusia dua tahun. Setahun setelah puteranya lahir terjadilah urusan denganBalita yang amat memusingkan otaknya.Ketika itu seperti biasanya, kembali ia merantau untuk melakukan tugasnya sebagai seorangpendekar. Kali ini ia pergi ke daerah pegunungan Tapa-san karena mendengar bahwa sering kali didaerah itu terjadi kejahatan, perampokan dan penggangguan terhadap penduduk oleh serombonganorang-orang bersuku bangsa Hui. Dikawani oleh Lim-ong, monyet kecil yang dipeliharanyasemenjak monyet itu masih muda sekali, ia berangkat menunggang kuda ke daerah itu melakukanpenyelidikan.Betul saja. Segerombolan orang Hui terdiri dari seratus orang lebih melakukan penindasan danperampokan kepada orang-orang Han yang hidup sebagai petani di daerah itu. Seperti biasa, CiaSun segera menggulung lengan baju turun tangan. Akan tetapi kali ini ia kecelik. Rombongan orangHui itu dipimpin oleh seorang perempuan muda cantik jelita bernama Balita yang ternyata memilikiilmu kepandaian yang amat hebat.Dalam pertempuran hebat Cia Sun tertawan oleh Balita yang jatuh hati melihat pemuda gagahperkasa dan tampan ini. Balita menawan Cia Sun dan membujuk rayu orang muda ini. Akan tetapiCia Sun bukan sembarang laki-laki yang suka bermain gila dengan wanita, maka dengan berkeras iamenolak dan tidak sudi melayani niat busuk dari puteri bangsa Hui itu.Akan tetapi ia belum mengenal siapa Balita. Wanita muda ini biarpun cantik jelita sekali dan amatmenarik hati, mempunyai watak kasar, dan di samping ilmu silatnya yang tinggi sekali, dia jugaseorang ahli dalam pembuatan racun-racun jahat. Dengan senyum manis dan kerling mata memikat,Balita mempergunakan ramuan obat yang ia masukan dalam arak sehingga ketika Cia Sunmeminumnya, orang muda ini menjadi lupa diri, lupa daratan dan dalam keadaan tidak sadar dikuasai oleh pengaruh minuman mujijat, akhirnya ia tunduk kepada Balita dan melakukan apa sajayang dikehendaki puteri Hui itu.Tiga hari kemudian tiba-tiba seorang laki-laki bangsa Hui yang bertubuh tinggi besar bermukaburuk, berusia empat puluh tahun lebih melompat masuk ke dalam kamar sambil membawasebatang golok. Datang-datang ia menyerang Cia Sun sambil memaki-maki. Dengan cepat Cia Sunmengelak dan terdengar bentakan keras ketika Balita melayang ke depan sambil menendang laki-laki tinggi besar itu. Laki-laki itu terlempar dan goloknya terlepas dari tangannya.Namun ia masih melotot dan kini ia memaki Balita. “Perempuan rendah! Selama menjadi isteriku,entah sudah berapa kali kau berlaku serong. Akan tetapi selama kau bermain gila dengan bangsasendiri, aku tidak perduli amat karena memang aku tahu bahwa dibalik kecantikan dan kelihaianmu,kau hanyalah perempuan yang berwatak kotor. Biarpun begitu sekarang kau bermain gila denganseorang Han. Bagaimana aku bisa mendiamkannya begitu saja? Jahanam Han ini harus mampus!”“Anjing tak tahu diri! Orang macam kau berani bertingkah di depanku? Ayoh pergi, jangan ganggukami!” Balita membentak dan pada saat itu baru terbuka mata Cia Sun. Tadinya ia memang sudahmenyesal sekali setelah sadar dan insyaf akan perbuatannya sendiri melanggar kesusilaan, akantetapi kemenyesalannya tidak sehebat sekarang ini setelah ia mendengar bahwa perempuan puteriHui ini ternyata sudah bersuami! Ia merasa malu, merasa rendah dan tak tahu harus berbuat apa.Sementara itu, laki-laki bangsa Hui yang tinggi besar itu menudingkan telunjuknya kepada Balita,“Balita, andaikata kau tak boleh dicegah, tergila-gila kepada orang Han ini, setidaknya jangan kaulakukan dalam keadaan seperti sekarang. Ingat akan kandunganmu ....... jangan kau cemarkananakku yang kau kandung ......!” Kata-kata ini belum habis karena tiba-tiba ia terguling roboh dantewas di saat itu juga, terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan Balita dengan gemasnya.“Jangan hiraukan orang gila ini,” katanya halus sambil memeluk Cia Sun yang kelihatannya pucatsekali.Akan tetapi Cia Sun memberontak dan memukul ke arah dada perempuan itu dengan maksudmembunuh. Ia merasa ngeri mendengar ucapan orang Hui tadi, merasa ngeri akan perbuatannyasendiri yang ia anggap amat memalukan dan terkutuk.“Persetan kau perempuan busuk!” katanya.Balita mengelak akan tetapi tidak balas menyerang. Makian Cia Sun dan sikapnya yang berbalik membenci itulah yang membuat Balita merasa terpukul dan hanya berdiri dengan muka pucat.Bahkan kedua kakinya lemas tak dapat menyusul Cia Sun yang telah melompat keluar danmelarikan diri.Demikianlah Cia Sun yang gagal dalam membasmi orang-orang Hui malah sebaliknya dia terlibaturusan memalukan dengan Balita, telah berhasil melarikan diri dan kembali ke Min-san. Semenjak itu ia merasa berduka dan menyesal kalau teringat akan perbuatannya dengan Balita yang ia lakukandi luar kesadarannya itu. Berjina dengan isteri orang, isteri orang yang telah mengandung pula!Alangkah rendahnya! Alangkah kejinya. Apa lagi kalau ia teringat betapa suami Balita sampai tewas karena gara-gara dia menuruti kemauan Balita yang amat busuk, Cia Sun merasa makinterpukul dan malu hatinya.Setelah ia berhasil menghindarkan diri dari Balita yang tidak berhasil mencari-cari Cia Sun. Sampaipada suatu hari itu, seperti yang telah dituturkan di permulaan cerita ini, tiba-tiba saja Balita munculsambil menggendong seorang anak bayi yang dikatakannya adalah puterinya! Tentu saja ia marahsekali karena ia tahu bahwa anak itu adalah anak suami Balita. Ia tahu bahwa Balita membohong,menggunakan anak itu untuk menjatuhkan hatinya, untuk mengikatnya. Namun sebagai seoranggagah, ia tidak sudi menerima permintaan Balita.Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan. Balita hanya membunuh kuda tungganganCia Sun namun tidak mengganggu laki-laki yang berhasil melarikan diri bersama keranya, pulangke rumahnya di puncak Min-san.****Tiga hari kemudian.Semalaman tadi anak Cia Sun yang kecil, yang diberi nama Cia Bi Eng, menangis terus, rewel tidak karuan sebabnya. Cia Sun dan isterinya sampai menjadi bingung karenanya, karena anak itu tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sesuatu. Akan tetapi rewel terus tidak seperti biasanya.Menjelang pagi barulah anak itu dapat tidur dan Cia Sun yang semalaman tidak dapat tidur,sekarang duduk bersamadhi mengumpulkan ketenangan. Sesungguhnya hatinya tidak tenang karenaia seperti mendapat firasat tidak baik dengan adanya kerewelan anaknya itu. Akan terjadi halapakah? Ia teringat akan Balita dan mulai merasa khawatir kalau-kalau puteri Hui itu menjadi nekatdan menyerbu ke situ.“Betapapun jadinya, aku akan melawannya mati-matian,” pikirnya.Memang ternyata terbukti apa yang ia khawatirkan, pada keesokan harinya terjadi sesuatu. Akantetapi bukan Balita yang datang, melainkan orang-orang lain yang menjadi musuh ayahnya, jugamenjadi musuhnya. Seorang pelayan datang melapor bahwa di luar datang empat orang aneh yanghendak berjumpa dengan Cia-enghiong.Dengan tenang dan waspada Cia Sun keluar menjumpai tamu-tamunya. Sesampai di luar, ia melihattiga orang hwesio gundul yang berwajah bengis dan bertubuh kekar. Ia segera mengenal hwesio-hwesio ini sebagai Thian-san Sam-sian (Tiga Dewa dari Gunung Thian-san). Tiga orang hwesio iniadalah musuh-musuh ayahnya yang pernah dikalahkan ayahnya ketika terjadi bentrokan antara CiaHui Gan dan Thian-san Sam-sian. Urusannya tidak begitu besar. Seorang murid dari tiga oranghwesio ini terluka oleh Cia Hui Gan ketika melakukan kejahatan di kaki gunung Thian-san danThian-san Sam-sian membela muridnya itu. Setelah dikalahkan, mereka mengancam kelak akanmencari Cia Hui Gan untuk membuat perhitungan.Cia Sun mengenal mereka karena dahulu ketika pertempuran itu terjadi, ia memangmenyaksikannya, hanya ketika itu ia baru berusia empat belas tahun dan tidak ikut dalampertempuran. Sekarang melihat kedatangan mereka setelah belasan tahun lewat, ia dapat mendugabahwa mereka tentu akan membalas dendam. Akan tetapi ia tidak takut dan memandang merekadengan tenang.Ketika ia memandang orang keempat, ia mengerutkan kening dan merasa heran siapa adanya orangini. Tadi sekilas pandang ia berdebar juga karena menyangka dia itu Balita. Orang ini adalah seorang wanita yang cantik juga dan seperti juga Balita, dia mengendong seorang bayi perempuan!Akan tetapi bedanya, biarpun wanita ini juga cantik dan sebaya dengan Balita, jelas bahwa dia iniadalah seorang wanita bangsa Han dan mukanya yang cantik itu agak pucat seperti seorang yangmenderita penyakit berat.Cia Sun menjura kepada tiga orang hwesio sambil berkata, “Kiranya Thian-san Sam-sian yangdatang mengunjungi tempat tinggalku yang buruk. Selamat Datang!”Tiga orang hwesio itu saling pandang, agaknya lupa siapa adanya orang muda yang tampan dangagah ini. Seorang di antara mereka yang tertua, lalu mengangkat tangan balas menghormat sambilberkata, “Pinceng bertiga datang untuk menjumpai Cia Hui Gan. Harap kau minta ia keluar.”Cia Sun menggeleng kepala, “Sayang permintaan sam-wi losuhu tak mungkin dapat dilaksanakankarena orang yang sam-wi cari telah lama meninggal dunia.”Kembali tiga orang hwesio ini saling pandang, nampaknya kecewa sekali, “Kalau sicu (tuan gagah)ini siapakah dan bagaimana dapat mengenal pinceng bertiga?”“Aku adalah puteranya, namaku Cia Sun. Ada keperluan apakah gerangan maka sam-wi jauh-jauhdatang dari Thian-san untuk mencari mendiang ayahku,” tanya Cia Sun, pura-pura tidak tahu akanurusannya.Tiba-tiba wanita yang mengendong anak itu melangkah maju dan suaranya terdengar lemah namunpenuh kemarahan. “Aya ....... kiranya inikah yang bernama Cia Sun, manusia sombong yangmengandalkan kepandaian sendiri untuk membunuh orang?”Cia Sun terkejut. Dia tidak mengenal wanita ini dan tidak tahu apakah yang menyebabkan nyonyamuda ini datang-datang marah kepadanya. Ia cepat menjura dan bertanya.“Toanio ini siapakah dan apa sebabnya toanio mengatakan aku sombong dan membunuh orang?”Wanita itu tersenyum mengejek dan jari telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah muka CiaSun. “Orang she Cia, apakah kau sudah lupa kepada Phang Kim Tek yang kaubunuh di I-kiang?”Tentu saja Cia Sun masih ingat akan Phang Kim Tek di I-kiang. Seorang tuan tanah yang amatkejam yang menggunakan kekayaan dan kekuasaannya menjadi tuan tanah dan raja kecil di dusunsebelah selatan I-kiang. Dengan kejam tuan tanah ini memeras tenaga rakyat petani, bahkanmenggunakan kekuasaannya untuk merampas sedikit tanah yang dimiliki beberapa orang petanimiskin.Sebagai seorang pendekar, melihat kejadian tidak adil ini Cia Sun turun tangan sehingga ia bentrok dengan tuan tanah Phang Kim Tek yang dibantu kaki tangannya. Dalam pertempuran ini PhangKim Tek tewas olehnya. Ia telah mendengar bahwa isteri Phang Kim Tek adalah seorang wanitayang amat lihai, yang dijuluki Ang-jiu Toanio (Nyonya Tangan Merah), yang dalam kekejaman dankelihaiannya malah lebih hebat dari pada tuan tanah itu. Akan tetapi pada waktu pertempuranterjadi, nyonya itu sedang mengandung tua, maka tidak dapat keluar membantu suaminya.Sekarang, setengah tahun setelah peristiwa itu terjadi, tiba-tiba nyonya ini muncul membawaputerinya yang baru berusia tiga bulan untuk membalas dendam!Cia Sun melirik ke arah tangan kanan yang menudingkan telunjuk kepadanya. Ia melihat bahwatangan itu memang mengeluarkan cahaya kemerahan sampai di pergelangan tangan dan diam-diam ia terkejut. Benar-benar inilah Ang-jiu Toanio dan ia dapat menduga apa artinya warna merah padatangan itu. Dia adalah ahli Ang-see-chiu (Tangan Pasir Merah) yang amat keji dan lihai!Cepat ia menjura lagi dan berkata sambil tersenyum tenang, “Ah, tidak tahunya siauwte berhadapandengan Ang-jiu Toanio! Toanio yang baik, urusan dengan mendiang suamimu itu adalah kesalahansuamimu sendiri yang tidak ingat akan tenaga buruh tani yang membantunya mengumpulkan hartakekayaan. Biarpun suamimu memiliki sawah lebar, kalau tidak ada bantuan tenaga buruh tani, manabisa dia mengerjakan sendiri sawahnya yang demikian luas? Akan tetapi sebaliknya dari membalasjasa para petani miskin, suamimu malah menindas mereka. Karena itu, kematian suamimu adalahkarena kesalahan sendiri. Maka harap toanio suka menimbang dengan adil dan suka menghabiskanperkara itu.”Sepasang mata Ang-jiu Toanio bernyala. “Jahanam keparat! Kau telah membunuh suamiku,membuat anakku ini menjadi anak yatim dan kau menyuruh aku menghabiskan urusan itu? Cia Sun,kalau dahulu aku tidak sedang mengandung, kiranya bukan suamiku yang tewas, melainkan kau.Sekarang bersiaplah kau menerima pembalasanku!” Sambil berkata demikian, Ang-jiu Toanio lalumenurunkan anaknya di pinggir, kemudian ia melompat maju menghadapi Cia Sun.Pendekar ini menarik napas panjang, maklum bahwa urusan ini harus diselesaikan dengan adukepandaian. Diam-diam ia merasa kasihan kepada wanita ini yang baru saja melahirkan anak harusbertanding dengannya. Akan tetapi ia tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya. Dengantenang iapun memasang kuda-kuda dan bersikap waspada.“Kalau demikian kehendakmu, silahkan toanio!”Ang-jiu Toanio mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju denganganasnya. Kedua tangannya terkepal erat dan menjadi makin merah warnanya. Kemudian iamenyerang dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin saking kerasnya. Cia Sun bersikaptenang akan tetapi hati-hati sekali karena maklum bahwa kepandaian wanita ini lebih lihai dari padakepandaian Phang Kim Tek. Beberapa pukulan yang menyerangnya bertubi-tubi ia elakkan denganlincah tanpa balas memukul. Pukulan keenam yang datangnya cepat mengarah ke dadanya dan tak mungkin dielakkan, terpaksa ia tangkis. Ia mengerahkan tenaga lweekang kepada lengannya,maklum tangan merah adalah tangan yang sudah dilatih hebat dan tenaga pukulannya mengandunghawa beracun yang dapat merusak jalan darah.“Plak ......!” Ketika kedua tangan itu bertemu, Cia Sun merasa lengannya panas sekali, akan tetapi iaberhasil menangkis keras membuat lawannya terpental mundur. Wajah Ang-jiu Toanio makin pucatkarena dari tangkisan ini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang Cia Sun amat tinggi sehinggamampu menolak kembali pukulan Ang-see-jiu.“Kalau bukan kau, tentu aku yang menggeletak di sini!” nyonya muda itu berteriak dan dengannekat lalu menyerang lagi, lebih ganas dan lebih cepat dari yang sudah-sudah.Menghadapi serangan bertubi-tubi ini, terpaksa Cia Sun mengeluarkan kepandaiannya dan mainkanilmu silat Thian-te-kun, sambil mengerahkan tenaga Pek-kong-jiu. Inilah kepandaian warisanayahnya, kepandaian dari keluarga Cia yang membuat ayahnya dahulu terkenal sebagai seorangpendekar yang sukar menemui tandingan.Ang-jiu Toanio sebenarnya bukan seorang lemah dan dalam hal ilmu silat, kiranya takkan mudahbagi Cia Sun untuk mengalahkannya. Boleh dibilang mereka berimbang, baik dalam kegesitanmaupun kehebatan tenaga. Akan tetapi nyonya muda ini baru tiga bulan melahirkan anak dan selaintenaganya belum pulih juga agaknya di dalam tubuhnya terkandung penyakit yang dapat dilihat dari wajahnya yang selalu pucat. Maka kini menghadapi Cia Sun ia merasa berat sekali sehingga dalamjurus ke lima puluh, ia telah menjadi lelah sekali. Gerakannya menjadi lambat dan ia terdesak hebat.Baiknya Cia Sun bukan seorang yang berhati kejam. Kalau pendekar ini menghendaki, tentu ia bisamembuat lawannya tidak berdaya dengan pukulan-pukulan maut, akan tetapi sebaliknya Cia Sunhanya mendesaknya agar kehabisan tenaga dan suka menyerah.“Toanio, kenapa kau mendesak terus? Sudahlah, habiskan urusan ini,” ia mencoba untuk membujuk.Akan tetapi lawannya menjadi makin bernafsu.“Aku belum mampus, jangan kira aku takut!” bentak Ang-jiu Toanio dan nyonya muda inimengumpulkan tenaga terakhir untuk menyerang terus.Cia Sun mencari akal. “Toanio, apakah kau tidak kasihan kepada anakmu?” Demikian akhirnya iaberkata. “Kalau kau tewas, siapa yang akan memeliharanya?”Ucapan ini benar-benar tepat sekali, merupakan ujung pisau berkarat yang menikam jantung.Nyonya muda itu mengeluarkan keluhan perlahan dan pukulan-pukulannya menjadi ragu-ragu.Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya lagi dan menyerang terus.Pada saat itu, kebetulan sekali ada seekor semut menggigit kaki bayi itu yang menjadi kesakitan danmenangis keras. Mendengar tangis bayinya, makin tidak karuan hati Ang-jiu Toanio.“Toanio, anakmu menangis minta tetek, masa kau masih terus berkelahi mati-matian?” kembali CiaSun mendesak dengan omongannya.Dari mulut Ang-jiu Toanio keluar rintihan dan tiba-tiba nyonya muda ini melompat mundur,menyambar anaknya dan lari dari situ sambil berseru, “Cia Sun, kau tunggu saja sampai anakkubesar dan tidak membutuhkan aku lagi. Aku akan kembali dan mencarimu!” Setelah berkatademikian, sambil menangis penuh dendam sakit hati, nyonya muda itu memondong anaknya pergi.Cia Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Sebuah urusan rumit telah dapat dipecahkan, tinggalurusan kedua, yaitu menghadapi tiga orang hwesio dari Thian-san itu.Ketika tadi pertempuran berjalan, tiga orang hwesio itu menonton dengan penuh perhatian.Sekarang mereka maju menghadapi Cia Sun lagi dan hwesio tertua yang bernama Gi Thai Hwesioberkata memuji,“Omitohud, Cia-sicu benar-benar gagah perkasa, tidak kalah oleh ayahnya. Benar-benar mengagumkan.”“Losuhu terlalu memuji. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Thian-san Sam-sian yangnama besarnya telah bergema di seluruh pojok jagat. Losuhu telah melihat sendiri bahwa aku tidak suka akan adanya permusuhan-permusuhan, maka apabila losuhu datang dengan maksud baik,silahkan masuk sebagai tamu-tamuku yang terhormat.”“Hemm, orang she Cia, agaknya kau sombong dengan kemenanganmu tadi,” potong Gi HunHwesio, orang kedua di antara tiga hwesio itu. “Ayahmu telah menghina pinceng bertiga. Biarpunsekarang dia telah mati, masih ada kau anaknya yang harus membayar hutangnya kepada kami.”Sambil berkata demikian Gi Hun Hwesio sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan tasbeh di tangan kiri, sepasang senjata Thian-san Sam-sian yang membuat nama mereka terkenal. Gerakanini diturut oleh dua orang saudaranya dan mereka membuat gerakan segi tiga mengurung Cia Sun.Cia Sun masih berlaku tenang. Ia tidak gugup sama sekali menghadapi musuh-musuh ayahnya ini.“Sam-wi losuhu, harap sam-wi ingat bahwa permusuhan antara sam-wi dengan mendiang ayahadalah karena kesalahan murid sam-wi sendiri. Muridmu telah melakukan pelanggaran sebagaimurid orang-orang beribadat, telah menjadi seorang jai-hoa-cat (bangsat pemetik bunga) yangmerusak anak bini orang. Sudah sepatutnya kalau ayah turun tangan membasminya. Sam-wi tidak menghukum murid murtad, sebaliknya memusuhi ayah, bukankah itu salah dan tidak sesuai dengankedudukan sam-wi sebagai hwesio-hwesio beribadat?”Mendengar ucapan ini, Gi Hun Hwesio dan Gi Ho Hwesio tidak dapat menahan kemarahannya.Serentak keduanya hendak menyerang, akan tetapi Gi Thai Hwesio yang lebih sabar memberiisyarat mencegah kedua orang sutenya (adik seperguruannya). Kemudian ia berkata kepada CiaSun. “Omitohud, ucapan Cia-sicu gagah benar. Salah atau tidaknya murid kami adalah urusan kamiuntuk memutuskan, akan tetapi ayahmu telah berlaku lancang membunuhnya. Bukankah itu samasaja dengan tidak memandang kepada kami dan menghina kami? Akan tetapi, ayahmu telahmeninggal dunia dan karena itu kalau saja sicu suka berdamai, pinceng bertiga pun tidak akanterlalu mendesakmu untuk membayar hutang ayahmu.”Cia Sun dapat menangkap maksud tertentu dalam ucapan ini. Dia seorang yang gagah dan jujur,maka tidak menyukai segala sikap plintat-plintut. Katanya tegas.“Terserah kepada sam-wi losuhu. Apakah yang sam-wi maksudkan dengan perdamaian?Bagaimana caranya?Gi Thai Hwesio tertawa, menutupi rasa malu dan sungkan-sungkan. Kemudian setelah menarik napas panjang, ia berkata lagi.“Omitohud, sicu terlalu tergesa, baiklah pinceng terangkan. Kami bertiga tidak akan mendesakmudan menghabiskan urusan dengan ayahmu yang sudah mati kalau kau mau menyerahkan suratwasiat dari pemberontak Lie Cu Seng kepada kami.”Cia Sun mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. “Surat wasiat Lie Cu Seng?” Lie CuSeng adalah seorang pahlawan rakyat, seorang pejuang pemimpin barisan tani dan kawanseperjuangan Cia Hui Gan, ayahnya. Mendengar tiga orang hwesio ini menyebut nama Lie Cu Sengsebagai pemberontak, tahulah Cia Sun dengan orang-orang macam apa ia berhadapan. Akan tetapiia masih menahan sabar dan bertanya dengan heran tadi karena memang ia tidak pernah mendengar tentang surat wasiat itu.“Harap sicu jangan berpura-pura. Lie Cu Seng telah merampok harta kekayaan Kaisar Beng-tiauwdan membawa harta kekayaan itu ketika melarikan diri dari kota raja. Sebelum mati diameninggalkan surat wasiat tentang harta benda itu. Mendiang ayahmu adalah tangan kanan Lie CuSeng, maka sudah tentu surat wasiat itu terjatuh ke dalam tangannya. Setelah ayahmu meninggalkepada siapa lagi surat wasiat itu terjatuh kecuali kepadamu?”Herannya Cia Sun bukan kepalang. Memang cerita ini ada kemungkinannya benar, akan tetapi iabetul-betul tidak pernah mendengar tentang itu. Ayahnya tidak pernah bercerita tentang surat wasiatitu. Ia mulai mengingat-ingat. Peninggalan ayahnya tidak banyak, hanya pakaian dan barang-barangseperti cawan arak, cangkir minum, guci arak, dan pipa panjang kesayangan ayahnya menghisap tembakau. Tidak ada surat wasiat! Barang-barang itu memang masih ia simpan bersama pakaian-pakaian sebagai peringatan, ia taruh di meja sembahyang ayahnya. Di mana ada surat wasiat?“Aku tidak tahu menahu tentang surat wasiat ....” ia berkata perlahan.“Sicu tidak perlu membohong, dan kamipun tidak memerlukan pengakuan sicu. Yang terpenting,sicu suka memberikan atau tidak?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar