Senin, 16 Januari 2012

zhī hū zhě yě

zhī hū zhě yě: keempat huruf Tionghoa ini merupakan kata bantu yang dipakai di jaman kuno. Pepatah ini melukiskan seseorang yang selalu memakai huruf tulisan ketika berbincang dengan orang lain.

Zhao Kuangyin adalah Kaisar Pertama Dinasti Song, setelah ia berhasil menyatukan negara, ia bersiap memperluas wilayah negaranya. Pada suatu hari, ia keluar kota dengan melewati Pintu Gerbang Zhuque, terlihat di atas pintu gerbang itu tertulis "Zhu Que Zhi Men" atau "Pintu Nan Zhuque". Maka ia menanyakan kepada menterinya Zhao Pu, mengapa tidak langsung ditulis "Zhu Que Men" atau Pintu Zhuque, apa kegunaan huruf "Zhi" di antara kata Zhu Que dan Men". Zhao Pu menjawab: huruf "Zhi" adalah kata bantu. Setelah mendengar jawabannya, Kaisar Zhao Kuangyin tertawa dan mengatakan: kata bantu seperti kata Zhi Hu Zhe dan Ye dapat melengkapi apa saja?
Lama kelamaan, Zhi Hu Zhe Ye digunakan dalam sebuah pepatah yang berbunyi: Zhi Hu Zhe Ye Yi Yan Zai, Yong De Cheng Zhang Hao Xiu Cai. Artinya kata bantu seperti Zhi Hu Zhe Ye tidak mempunyai arti apa-apa, namun bila dipakai oleh orang pintar baru bisa memperbaiki artikel..

huà shé tiān zú

huà shé tiān zú
"Draw a snake and add feet to it". Atau dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan, "Gambar ular dan tambahkan kaki ke ular itu".
Di jaman kuno negara Chu (楚) ada seorang bangsawan, pada suatu hari setelah usai sembahyang leluhur, dia menghadiahi satu teko arak sembahyang kepada para kaki tangannya yang membantu. Para kaki tangan itu saling berunding dan mengatakan, "satu teko arak ini hanya cukup diminum satu orang, sama sekali tidak cukup diminum bersama. Bagaimana kalau kita lomba menggambar ular di tanah, siapa yang selesai menggambar duluan, siapa yang minum teko arak ini."
Dan lomba gambar ular itupun dimulai. Kemudian, ada seseorang yang terlebih dulu menyelesaikan gambar ular itu. Dia mengambil teko arak dan hendak meminumnya, namun saking bangganya, tangan kirinya menenteng teko arak itu dan tangan kanannya melanjutkan gambar ular itu. Dia berkata, "Saya dapat menambahkan beberapa kaki ke gambar ular itu." Namun, sebelum dia menyelesaikan gambar kaki ular itu, satu orang lainnya telah menyelesaikan gambar ular dan merebut teko arak itu, serta berkata, "Ular asalnya memang tidak ada kaki, kenapa kamu bisa tambahkan kaki ke gambar ular itu?" Akhirnya, orang yang menggambar kaki ular itu tidak mendapatkan teko arak.
Idiom Hua She Tian Zu ini mengumpamakan melakukan sesuatu yang berlebihan, namun efeknya semakin tidak baik atau merugikan diri sendiri. Cerita Hua She Tian Zu ini memberitahu, setiap hal yang kita lakukan seharusnya sesuai dengan kenyataan dan jangan melakukan hal-hal yang berlebihan sehingga merugikan diri sendiri.

Pepatah "yī rì qiān lǐ"

Pepatah "yī rì qiān lǐ": Kuda berlari sangat cepat, dimaksudkan melukiskan sesuatu hal telah mencapai kemajuan besar.
Pada masa Negara-Negara Berperang, Negara Yan diserang Negara Qin. Putra Negara Yan Dan ingin mengundang guru Tian Guang ke kerajaan untuk mencari ide bagus menahan serangan Negara Qin. Tetapi Tian Guang menolak undangan Putra Dan, ia mengatakan, seekor kuda bagus yang muda dapat berlari 1000 kilometer setiap hari, tetapi ketika kuda itu menua, kuda jelek pun dapat berlari lebih cepat daripada dia. Apakah Putra Dan tahukah sebabnya? Putra Dan menjawab, karena kuda itu tidak bersemangat dan sudah tua. Guru Tian Guang mengatakan, betul sekali, sekarang saya juga sudah menua. Meskipun saya ingin berupaya membantu negara, tetapi semangatnya kurang. Saya lebih bersedia memperkenalkan tenaga ahli lainnya untuk memikul tanggung jawab ini. Kemudian Tian Guang memperkenalkan sahabatnya Jing Ke kepada Putra Dan. Putra Dan menuntut ia membunuh Raja Qin, tapi tidak berhasil.

Pepatah "yī zì qiān jīn": penulisan artikel retorik sangat bagus, dan tidak dapat direvisi.

Cerita:
Pada masa terakhir Zaman Negara-Negara Berperang, Di Negara Qin terdapat seorang pengusaha terkenal yang bernama Lv Buwei, dan ia pernah membantu Raja Zhuangxiang. Setelah Raja Zhuangxiang meninggal dunia, Lv Buwei terus menbantu anak Raja Zhuangxiang menguasai negaranya. Pada akhirnya, anak Raja zhuangxiang menjadi raja terkenal dalam sejarah Tiongkok, yaitu Kaisar Qinshihuang.
Pada waktu itu, Lv Buwei mengundang 3000 orang tenaga ahli sebagai cadangan kecerdasannya. Mereka mengajukan banyak pandangan dan usulan, serta mencatat pandangan mereka dalam suatu buku yang berjudul "Lv Shi Chun Qiu". Dengan bantuan buku itu, Lv Buwei telah membantu anak Raja Zhuangxiang menyatukan seluruh Tiongkok, dan menjadi Kaisar Qin Shihuang. Karena begitu berharganya buku tersebut, Lv Buwei pernah mengumumkan kepada masyarakat, bagi siapapun yang mampu menambah atau mengurangi satu kata dalam buku itu, akan diberikan hadiah seribu kilo emas.
Cerita itu akhirnya dicatat dalam "Catatan Sejarah", satu buku terkenal lainnya dalam sejarah Tiongkok. Lama kelamaan, cerita itu menjadi pepatah "yī zì qiān jīn". Biasanya orang menggunakan pepatah "yī zì qiān jīn" untuk melukiskan suatu penulisan artikel atau buku sangat lancar dan bernilai tinggi, sehingga satu katapun tidak perlu direvisi.

cerita Dari abad 9 hingga 5 SM Tiongkok

yi1 ming2 jing1 ren2
一鸣惊人:orang yang tak dikenal membuat prestasi luar biasa yang mengejutkan.
鸣:bunyi burung.
Cerita :
Dari abad 9 hingga 5 Sebelum Masehi, Tiongkok berada dalam zaman negara-negara perang.
Qiwei adalah raja Kerajaan Qi yang baru naik takhta. Setiap hari dikerumuni pejabat di balairung ketika menangani urusan pemerintahan, dan menghabiskan waktu minum arak dan makan sepuas-puasnya dengan ditemani selir-selirnya di tempat kediamannya, sehingga cita-cita luhur dan hasrat besar ketika menjadi putera mahkota berangsur-angsur pudar.
Dua tahun kemudian, Kerajaan Qi makin lemah, para pejabat dan rakyat jelata sangat mengkhawatirkan, tapi tidak berani mengajukan kepada Raja Qiwei karena takut dipenggal kepalanya.
Chun Yukun adalah seorang yang pandai berbicara. Pada suatu hari, Chun Yukun menghadap kepada Raja Qiwei dan mengatakan, " Sri baginda yang mulia, maukah Anda menebak teka-teki ?" Raja Qiwei menjetujuinya.
Chun Yukun mengatakan, " Ada satu burung besar di sebuah negara, tinggal di dalam istana selama tiga tahun, tapi burung itu tidak terbang dan tidak berkicau, hanya mendekam saja, coba tebak itu burung apa ?"
Raja Qiwei segera mengetahui bahwa Chun Yukun mengejek dia sebagai raja yang tidak berupaya apa pun. Raja Qiwei mengatakan, " Burung itu kalau mau terbang akan menjulang ke langit, dan kalau berkicau akan mengejutkan umum, tunggu saja."
Selanjutnya, Raja Qiwei merenungkan kesalahan dalam ruang tertutup, mengubah kesalahan, dan bangkit kembali. Tak lama kemudian, keadaan di Kerajaan Qi berubah sama sekali, dan menjadi negara yang perkasa.

Ucapan IMLEK 2563

Sejarah Tahun Baru Imlek menurut agama Konghucu

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah organisasi yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1955.
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air kita ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara .
Wen Miao (文庙) - Surabaya
Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 . Di Surabaya didirikan tempat ibadah Agama Khonghucu yang disebut mula-mula : Boen Tjhiang Soe, kemudian dipugar kembali dan disebut sebagai Boen Bio pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan 131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) “Boen Bio” Surabaya.
Di Sala didirikan Khong Kauw Hwee sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun 1923 telah diadakan Kongres pertama Khong Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain membahas tentang Tata Agama Khonghucu supaya seragam di seluruh kepulauan Nusantara.

Ru Jiao (儒 教) dan Kong Jiao (孔教)

Sejarah perjalanan dan perkembangan agama Khonghucu (Kong jiao) sangatlah panjang. Agama Khonghucu adalah agama yang ada dengan mengambil nama Sang Nabi Khongcu (Kongzi/Kong Fuzi) yang lahir pada tanggal 27 bulan 8 tahun 551 SM di negeri Lu (kini jasirah Shandong). Awalnya agama ini bernama Ru jiao (儒 教). Huruf Ru (儒) berasal dari kata (亻-人) ‘ren’ (orang) dan (需) ‘xu’ (perlu) sehingga berarti ‘yang diperlukan orang’, sedangkan ‘Ru’ sendiri bermakna (柔) ‘Rou’ lembut budi-pekerti, penuh susila, (优) ‘Yu’ – Yang utama, mengutama perbuatan baik, lebih baik,..和 He – Harmonis, Selaras,.. 濡 Ru – Menyiram dengan kebajikan, bersuci diri,.. ‘Jiao 教 berasal dari kata ‘xiao’孝 (berbakti) dan 文 ‘wen’ (sastra, ajaran). Jadi ‘jiao’ berarti ajaran/sastra untuk berbakti; =agama. Maka Ru jiao adalah ajaran/agama untuk berbakti bagi kaum lembut budi pekerti yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan berkebajikan. Ru jiao ada jauh sebelum Sang Nabi Kongzi lahir. Dimulailah dengan sejarah Nabi-Nabi suci Fuxi(2952 – 2836 SM), Shen-nong (2838 – 2698 SM), Huang-di (2698 – 2596 SM), Yao (2357 – 2255 SM), Shun (2255 – 2205 SM), Da-yu (2205 – 2197 SM), Shang-tang (1766 – 1122 SM),Wen, Wu Zhou-gong (1122 – 255 SM), sampai Nabi Agung Kongzi (551 – 479 SM) dan Mengzi (371 – 289 SM). Para nabi inilah peletak Ru jiao. Sedangkan Nabi Kongzi adalah penerus, pembaharu dan penyempurna. Maka Ru jiao juga disebut Kong jiao.


Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia

  • 1883 – Boen Tjhiang Soe (Wen Chang Ci 文昌祠), dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao 文廟) Jl.Kapasan No. 131 Surabaya. Oleh pihak Belanda disebut “Gredja Boen Bio atau Geredja Khonghoetjoe (de kerk van Confucius). Dewasa ini sebagai tempat ibadah umat Agama Khonghucu Indonesia. Dibina oleh MAKIN – Majelis Agama Khonghucu Indonesia Surabaya.
  • 1886 – diterbitkan kitab Hikayat Khonghucu, disusun oleh Lie Kim Hok.
  • 17 Maret 1900 – 20 pemimpin Tionghoa mendirikan lembaga sosial kemasyarakatan Khonghucu yang disebut Tiong Hoa Hwee Kwan (Zhonghua Huiguan 中華會館) yang bermaksud memurnikan Agama dan menghapuskan sinkretisme.

Berdirinya lembaga-lembaga agama Khonghucu di Indonesia

  • 1918 diresmikan Khong Kauw Hwee (Kong Jiao Hui 孔教會) di kota Surakarta, menyusul pula kota-kota lainnya.
  • 25 September 1924 diadakan Kongres di Bandung yang tujuan utamanya membahas lebih lanjut penyeragaman tata ibadah di seluruh tanah air.
  • 25 Desember 1938 diadakan konferensi di Surakarta dan kedudukan pusat dialihkan ke kota Surakarta, dengan ketua umum Tio Tjien Ik, sekretaris Auw Ing Kiong dan diterbitkan majalah bulanan Bok Tok Gwat Po (Mu Duo Yue Bao).
Konferensi tahun 1941 akan diselenggarakan di Cirebon. Semua sekolah Khong Kauw Hwee diberi pelajaran agama Khonghucu. Upacara pernikahan dan kematian supaya diselidiki dan disesuaikan dengan keadaan zaman, tapi tetap berpatokan pada nilai-nilai Ru Jiao.
  • Pada tahun 1942, karena imbas perang dunia II dan masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia, Khong Kauw Tjong Hwee yang dianggap anti-Jepang dibekukan.
  • Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Pada masa itu, Litang (tempat ibadah umat Khonghucu) banyak menampung pengungsi tanpa memandang ras. Hal ini sesuai dengan prinsip “Di Empat Penjuru Samudera Semua Umat Bersaudara” (四海之內,皆兄弟也 - Si Hai Zhi Nei, Jie Xiong Di Ye). Lun Yu 12:5.
  • Masa Kemerdekaan - Pada awal-awal kemerdekaan NKRI, kegiatan Khong Kauw Hwee lebih banyak bersifat lokal. Pada bulan Desember 1954, di Solo, diselenggarakan konferensi tokoh-tokoh agama Khonghucu untuk persiapan membangun kembali Khong Kauw Tjong Hwee.
  • Pada tgl 16 April 1955 dibentuk PKCHI (Perserikatan Khong Chiao Hwee Indonesia / Perserikatan Kong Jiao Hui Indonesia) sebagai penjelmaan kembali Khong Kauw Tjong Hwee dengan kedudukan pusat di Solo dengan Ketua umum: Dr. Kwik Tjie Tiok. Sekretaris: Oei Kok Dhan.

Kongres agama Khonghucu

  • Kongres pertama diselenggarakan 6-7 Juli 1956 di Solo. Dalam kongres ini disempurnakan AD dan ART PKCHI. Kedudukan pusat tetap di Solo dengan ketua Dr. Kwik Tjie Tiok dan sekretaris Tjan Bian Lie.
  • Kongres kedua diselenggarakan di Bandung, tgl 6-9 Juli 1957. Kedudukan pusat tetap dipilih kota Solo dengan ketua Dr. Kwik Tjie Tiok dan Tjan Bian Lie sebagai sekretaris.
  • Kongres ketiga diselenggarakan di Boen Bio Surabaya tgl 5-7 Juli 1959 dengan ketua umum Tan Hok Liang dan sekretaris Tan Liong Kie untuk periode 1959-1961 dengan kedudukan pusat di Bogor. Di dalam konggres ke empat di Solo 14-16 Juli 1961 diputuskan :
    1. Mengintensifkan penyeragaman tata ibadah.
    2. Mengubah nama PKCHI menjadi LASKI (Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia)
    3. Mengutus Thio Tjoan Tek, salah seorang ketua LASKI, bersama dengan Prof. Dr. Mustopo dari Bandung, memohon agar agama Khonghucu dikukuhkan dalam bimbingan kehidupan masyarakatnya oleh Kementerian Agama RI.
    4. Solo kembali dipilih sebagai pusat organisasi, Tjan Bian Lie sebagai ketua umum dan The Ping Hap sebagai sekretaris.
  • Pada Konggres ke-6 GAPAKSI di Solo 23-27 Agustus 1967, nama GAPAKSI diubah menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Terpilih sebagai pengurus: Ketua Umum: Tan Sing Hoo.
Wakil Ketua Umum: Suryo Hutomo. Sekretaris: Ws. Oei Tjien San. Di dalam konggres ini Pejabat Presiden RI Soeharto dan Ketua MPRS A. H. Nasution, memberikan sambutan tertulis. Dirjen Bimasa agama Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, I.B.P. Mastra yang saat itu sudah memberi tempat bagi umat agama Khonghucu di Departemennya, ikut memberikan sambutan atas nama Menteri Agama.
  • Konggres ke-7 diselenggarakan di Pekalongan tgl 24-28 Desember 1969. Kedudukan pusat tetap di Solo. Kepengurusan periode 1969-1971 adalah; Ketua Umum: - Suryo Hutomo. Sekretaris: Tjiong Giok Hwa. Pada Konggres ini IBP Mastra, Dirjen Bimasa Agama Hindu dan Buddha, memberi sambutan mewakili Menteri Agama K. H. Mochammad Dahlan. Juga ikut memberikan sambutan tertulis Ketua MPRS A. H. Nasution.
  • Tanggal 25-27 Desember 1970 diadakan Musyawarah Kerja (Muker) Makin-Makin se-Jawa Barat dan DKI Jaya untuk meningkatkan perkembangan Agama Khonghucu.
  • Tanggal 3 Juli 1971 diadakan Musyawarah Kerja Seluruh Indonesia (MUKERSIN I), yang dihadiri utusan-utusan dari 41 daerah dengan tujuan mensukseskan Pelita dan Pemilihan Umum.
  • Tanggal 23-27 Desember 1971 diselenggarakan Konggres ke-8 Matakin di Semarang. Hasilnya kedudukan pusat tetap di Solo dan terpilih:
    1. Ketua umum: Suryo Hutomo
    2. Sekretaris: Ibu Tjiong Giok Hwa.
  • Tanggal 19-22 Desember 1975 di Tangerang diselenggarakan MUNAS III Dewan Rokhaniwan Agama Khonghucu Indonesia yang dihadiri oleh Rokhaniwan dari 25 daerah. Keputusan-keputusan penting di dalam munas ini adalah disahkannya penyempurnaan hukum perkawinan dan pelaksanaan upacara.
Penyempurnaan dan penyeragaman tata Agama Khonghucu.
  • Tanggal 20-23 Desember 1976 diselenggarakan MUKERSIN II di Jakarta yang dihadiri utusan-utusan dari 35 daerah untuk konsolidasi umat Khonghucu demi mensukseskan Pembangunan Nasional.
Pada tanggal 28 s/d 9 September 1979 MATAKIN mengirim utusan mengikuti World Conference on Religion for Peace ke-3 di New Jersey, Amerika Serikat.
  • Tanggal 23-31 Agustus 1984 MATAKIN mengirim utusan menghadiri World Conference on Religion for Peace di Nairobi, Kenya (Afrika).
Tanggal 15 Januari 1987 di Solo diselenggarakan konferensi MATAKIN secara internal dan sebagai hasilnya telah terpilih Ketua Umum MATAKIN periode 1987-1991 yaitu Ws. Leo Kuswanto.
  • Pada tanggal 14 Maret 1987 diadakan pertemuan MATAKIN dan disepakati untuk mengadakan revisi dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam rangka menyesuaikan diri dengan Undang-undang No.8/ 1985.
  • Tahun 1993 diadakan Munas (Kongres) MATAKIN XII di Jakarta dan terpilih sebagai Koordinator Presidium Hengky Wijaya dengan Ketua Majelis Pimpinan Pusat Harian Js. Chandra Setiawan dan Sekretaris Irwanto. Kedudukan pusat MATAKIN di Jakarta.
  • Tanggal 13-15 September 2002 diselenggarakan Musyawarah Nasional ke-14 MATAKIN di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta yang dibuka oleh Ketua MPR RI, Amien Rais. Ikut memberikan pengarahan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar, Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, mantan Presiden RI K. H. Abdurrahman Wahid, Sekjen MUI Din Syamsudin, Ketua MUI Sulastomo. Pada Munas ini ditetapkan Ketua Umum untuk periode 2002-2006 adalah Js. Budi S. Tanuwibowo dan Sekretaris Umum Dede Hasan Senjaya.


Berdirinya Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN)

Pada tanggal 11-12 Desember 1954 di Sala diadakan konferensi antar tokoh-tokoh Agama Khonghucu untuk membahas kemungkinan ditegakkan kembali Lembaga Agama Khonghucu secara Nasional setelah tidak ada kegiatan semenjak pecahnya perang dunia II dan masuknya Jepang ke Indonesia. Akhirnya pada konferensi yang diselenggarakan di Sala pada tanggal 16 April 1955 disepakati dibentuk kembali Lembaga Tertinggi Agama Khonghucu Indonesia dengan memakai nama Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia yang diketuai Dr. Sardjono. Tanggal 16 April 1955 disepakati sebagai hari jadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, disingkat MATAKIN.
Sejak berdirinya secara periodik diadakan Kongres/MUNAS. Pada awal pemerintahan Orde Baru, tepatnya tanggal 23-27 Agustus 1967 telah diadakan Kongres ke-VI di mana Soeharto yang pada waktu itu sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia berkenan memberikan sambutan tertulis yang antara lain mengatakan bahwa, "Agama Konghutju mendapat tempat yang layak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini”.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/ 4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha mulailah keberadaan umat Khonghucu dipinggirkan. Keputusan politik ini yang sesungguhnya batal demi hukum, karena sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, disamping itu bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 2 yang memberikan kebebasan beragama dan beribadat, justru dijadikan pegangan oleh aparat pemerintah sampai sekarang ini kendatipun telah dicabut per tanggal 31 Maret 2000. Surat edaran ini juga mengingkari realita bahwa warga negara Indonesia yang memeluk Agama Khonghucu ada di Indonesia. Karena berdasarkan sensus penduduk yang diadakan lembaga resmi pemerintah yaitu Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun 1976 penduduk Indonesia yang beragama Khonghucu mencapai 0,7% yang berarti lebih dari 1 juta jiwa.


Perkembangan Lembaga dan Agama Khonghucu pada era Reformasi

Patut disyukuri pengakuan hak asasi manusia pada era reformasi mulai membaik, terbukti Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Reformasi memberikan kesempatan kepada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengadakan Musyawarah Nasional XIII di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22 – 23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan wadah umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuruh tanah air Indonesia.
Harus diakui karena selama tidak kurang dari 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu mempunyai dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat Khonghucu. Walaupun umat Khonghucu ada di setiap provinsi di Indonesia, belum semua propinsi ada lembaga agama Khonghucu yang terorganisasi dan dibawah pembinaan langsung MATAKIN.

Asas MATAKIN

Sesuai yang tertera dalam BAB II, pasal 4 Anggaran Dasar, MATAKIN berasaskan Pancasila.


Hubungan dengan organisasi lain

Di dalam Anggaran Dasar MATAKIN Bab XIII pasal 21.2 dengan tegas disebutkan bahwa,” MATAKIN bersifat independen, dan tidak berafiliasi dengan/ atau kepada organisasi sosial-politik manapun, baik di dalam dan di luar negeri”.


Tahun Baru Imlek

Imlek adalah religi dan tradisi Konfucian (Rujiao / Kongjiao). Di Tiongkok terdapat dua jenis kalender: kalender tradisional yang biasa disebut agricultural calendar" (農曆 nónglì, 农历) dan kalender Gregorian yang biasa disebut kalender umum (公曆 gōnglì, 公历), atau kalender Barat (西曆 xīlì, 西历). Nama lain dari kalender Tionghoa adalah kalender "Yin” (陰曆 yīnlì, 阴历), yang dihitung atas dasar perhitungan bulan. Sedangkan kalender Gregorian disebut kalender"Yang”(陽曆 yánglì, 阳历) yang dikaitkan pada perhitungan matahari. Kalender Tionghoa disebut kalender lama (舊曆 jìulì, 旧历) sedangkan kalender Gregorian disebut kalender baru (新曆 xīnlì, 新历). Kalender Imlek (Yinli) adalah kalender yang dihitung mulai dari tahun lahirnya Nabi Kongzi tahun 551 SM. Jadi tahun 2007 ini berarti tahun 551+2007= 2558 Imlek. Karena awal tahunnya dimulai dari awal kelahiran Sang Nabi, maka kalender Imlek juga disebut Khongcu-lek.
Kalender Imlek pertama kali diciptakan oleh Huang Di, seorang Nabi/Raja agung dalam agama Ru jiao / Khonghucu. Lalu kalender ini diteruskan oleh Xia Yu, sorang raja suci/nabi dalam agama Khonghucu pada Dinasti Xia (2205-1766SM). Dengan jatuhnya dinasti Xia dan diganti oleh Dinasti Shang (1766-1122 SM), maka system kalendernya juga berganti. Tahun barunya dimulai tahun 1 dan bulannya maju 1 bulan sehingga kalau kalender yang dipakai Xia tahun baru jatuh pada awal musim semi, maka pada Shang tahun barunya jatuh pada akhir musim dingin. Dinasti Shang lalu diganti oleh Dinasti Zhou (1122-255SM), dan bergantilah system penanggalannya juga. Tahun barunya jatuh pada saat matahari berada di garis 23,5 derajat Lintang Selatan yaitu tanggal 22 Desember saat puncak musim dingin. Dinasti Zhou lalu diganti Dinasti Qin (255-202SM). Berganti pula sistemnya. Begitu pula ketika Dinasti Qin diganti oleh Dinasti Han(202SM-206M). Pada zaman Dinasti Han, Kaisar Han Wu Di yang memerintah pada tahun 140-86 SM lalu mengganti sistem kalendarnya dan mengikuti anjuran Nabi Kongzi untuk memakai system Dinasti Xia. Dan sebagai penghormatan atas Nabi Kongzi, maka tahun kelahiran Nabi Kongzi 551 SM ditetapkan sebagai tahun ke-1. Dengan demikian penanggalan Imlek adalah perayaan umat Khonghucu.

Tahun Baru Imlek

 sumber ;wiki

Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (bahasa Tionghoa: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五冥 元宵节 di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi "Tahun Tionghoa" dapat japada tahun 4707, 4706, atau 4646.
Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi suku Han yang signifikan, Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan pada berbagai derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.

Sejarah

 Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang.

Tahun Baru Imlek di Indonesia

Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.

Tanggal perayaan

Kalender lunisolar Tionghoa menentukan tanggal Tahun Baru Imlek. Kalender tersebut juga digunakan di negara-negara yang telah mengangkat atau telah dipengaruhi oleh budaya Han (terutama di Korea, Jepang, dan Vietnam) dan mungkin memiliki asal yang serupa dengan perayaan Tahun Baru di luar Asia Timur (seperti Iran, dan pada zaman dahulu kala, daratan Bulgar).
Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi di bulan 11, yang berarti Tahun Baru Imlek biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat). Di budaya tradisional di Cina, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari.
Tanggal untuk Tahun Baru Imlek dari 1996 sampai 2019 (dalam penanggalan Gregorian) dapat dilihat di tabel di atas, bersamaan dengan shio hewan untuk tahun itu dan cabang duniawinya. Bersamaan dengan daur 12-tahun masing-masing dengan shio hewan ada daur 10-tahun batang surgawi. Setiap surgawi dikaitkan dengan salah satu dari lima elemen perbintangan Cina, yaitu: Kayu, Api, Bumi, Logam, dan Air. Unsur-unsur tersebut diputar setiap dua tahun sekali sementara perkaitan yin dan yang silih berganti setiap tahun. Unsur-unsur tersbut dengan itu dibedakan menjadi: Kayu Yang, Kayu Yin, Api Yang, Api Yin, dan seterusnya. Hal ini menghasilkan sebuah daur gabungan yang berulang setiap 60 tahun. Sebagai contoh, tahun dari Tikus Api Yang terjadi pada 1936 dan pada tahun 1996.
Banyak orang mengacaukan tahun kelahiran Tionghoa dengan tahun kelahiran Gregorian mereka. Karena Tahun Baru Imlek dapat dimulai pada akhir Januari sampai pertengahan Februari, tahun Tionghoa dari 1 Januari sampai hari imlek pada tahun baru Gregorian tetap tidak berubah dari tahun sebelumnya. Sebagai contoh, tahun ular 1989 mulai pada 6 Februari 1989. Tahun 1990 dianggap oleh beberapa orang sebagai tahun kuda. Namun, tahun ular 1989 secara resmi berakhir pada 26 Januari 1990. Ini berarti bahwa barang siapa yang lahir dari 1 Januari ke 25 Januari 1990 sebenarnya lahir pada tahun ular alih-alih tahun kuda.


hewan Cabang bumi Tanggal
Tikus 19 Februari 1996 7 Februari 2008
Sapi chǒu 7 Februari 1997 26 Januari 2009
Macan yín 28 Januari 1998 14 Februari 2010
Kelinci mǎo 16 Februari 1999 3 Februari 2011
Naga chén 5 Februari 2000 23 Januari 2012
Ular 24 Januari 2001 10 Februari 2013
Kuda 12 Februari 2002 31 Januari 2014
Kambing wèi 1 Februari 2003 19 Februari 2015
Monyet shēn 22 Januari 2004 8 Februari 2016
Ayam yǒu 9 Februari 2005 28 Januari 2017
Anjing 29 Januari 2006 16 Februari 2018
Babi hài 18 Februari 2007 5 Februari 2019

Minggu, 15 Januari 2012

Mengapa Ada Tradisi Angpao Pada Tahun Baru Imlek



Budaya-Tionghoa.Net| Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.
Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan/amplop merah. Sebenarnya, tradisi memberikan angpao sendiri bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan di dalam peristiwa apa saja yang melambangkan kegembiraan seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain2, angpao juga akan ditemukan.

Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli. Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak2 menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.

Angpao apakah disebut angpao di zaman dulu? Bagaimana bentuknya?

Tidak. Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.

Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.

Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.Pemberian angpao apakah punya makna tersendiri?

Orang Tionghoa menitik beratkan banyak masalah pada simbol-simbol, demikian pula halnya dengan tradisi Ya Sui ini. Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai "mengusir/meminimalkan bencana" dengan harapan anak2 yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati 1 tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.

Siapa yang wajib memberikan angpao dan berhak menerima angpao?

Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak2 dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak2, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.

Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah.

Namun tradisi di atas tidak mengikat. Sekarang ini, pemberikan angpao tentunya lebih didasarkan pada kemapanan secara ekonomi, lagipula makna angpao bukan sekedar terbatas berapa besar uang yang ada di dalamnya melainkan lebih jauh adalah bermakna senasib sepenanggungan, saling mengucapkan dan memberikan harapan baik untuk 1 tahun ke depan kepada orang yang menerima angpao tadi.

Rinto Jiang

Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa .

Sabtu, 14 Januari 2012

I CHING (KITAB PERUBAHAN)

Yi Jing ( bacanya: I Ching ) adalah Kitab China Kuno yang sangat fenomenal dan terkenal di kalangan kaum penghayat Ilmu Kebathinan China atau bagi mereka yang mendalami Ilmu Metafisika China Kuno. Kitab kuno ini, konsep awalnya diperkenalkan oleh Raja Fu Xi (2953 – 2838 SM), bertutur tentang Hakekat Perubahan. Baik perubahan mengenai fenomena Alam Semesta maupun tentang Kehidupan Manusia.
Seperti apakah isinya…??? Silahkan simak, sajian unik ini.
Kitab kuno ini, kini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia, bahkan di dunia Barat, kitab inipun tidak kalah populernya dengan Kitab Tao De Ching / Tao Te Cing ( Kitab tentang Kebajikan Tao ). Falsafah Perubahan I Ching merupakan cikal bakal dari berbagai Ilmu Kebathinan/Metafisika China, seperti; Chinese Medicine Classic, Akupuntur, Akupreiser, Ba Zi ( Ilmu 8 Huruf Kelahiran ), Feng Shui ( Hong Sui / Ilmu Pengaturan Angin & Air ), Zi Wei Dou Shu ( Ilmu Bintang Ungu ), Strategi Perang Sun Tsu, Ilmu Perbintangan Khong Beng, Mien Xiang ( Ilmu Bentuk Wajah), Telapak Tangan Ba Gua, Erl Shi Ba Xing ( Ilmu Pergerakan Dua Puluh Delapan Bintang ), Shi Erl Chin Wei ( Ilmu 12 Konstelasi Bintang ), Dong Shu / Tung Su ( Primbonisasi China ), Ciam Si, Wushu/Kungfu,dlsb.
Bahkan kalau kita mau jujur, Konsep inti dari I Ching, yaitu; Yin & Yang ( konsep tentang Minus & Plus / Negatif & Positif ) adalah sumber inspiratif dari segala macam bentuk Ilmu Pengetahuan Modern, seperti; Medan Magnet, Kelistrikan, Komputer, Genetika, Fisika, Matematika, Mekanika, Ilmu Hitung sampai ke Ilmu Sosial, dll.
I Ching inilah yang pertama kalinya memperkenalkan konsep tentang Pengkondisian Minus ( - ) dan Plus ( + ) atau Yin & Yang ke dalam sejarah peradaban kehidupan ini. Falsafah mengenai Minus dan Plus merupakan komponen paling baku bagi ilmu apapun, baik ilmu yang bersifat fisik/ilmiah maupun yang berbau supranatural. Tidak ada satupun di dunia ini, ilmu apapun wujudnya, yang tidak terkait dengan pengkondisian Negatif & Positif ( Yin & Yang ). Jadi, bukanlah sesuatu yang berlebihan kalau saya katakan, I Ching adalah Filasafat Paling Tua di dunia, yang menjadi sumber inspirasi bagi terciptanya segala macam Ilmu Pengetahuan & Teknologi, disamping Ilmu-Ilmu Metafisika China, tentunya.
I Ching tetap bisa bertahan dan berkembang luas sampai sekarang bukanlah semata-mata sekedar wujud peninggalan sejarah belaka, tapi merupakan bukti dari suatu proses panjang mengenai kejayaan peradaban manusia yang ternyata sudah hebat sejak jaman purba. Kitab I Ching ini di dalam perjalanan sejarahnya pernah melewati masa-masa pemusnahan massal, seperti di Zaman Kekuasaan Kaisar Chou Wang / Tiu Ong diakhir Dinasti Shang, lalu Zaman Kelaliman / Pemberangusan Kaisar Qin Shi Huang Di / Chin Se Hong Te dari Dinasti Qin. Perusakan dan Penjarahan Besar Zaman Kekuasaan Para Warlord, Penjarahan Brutal di masa hegemoni Inggris, Perancis dan Portugis ke China. Terakhir juga mengalami masa Pemusnahan Sistematis dari Revolusi Kebudayaan Mao Zi Dong / Mao Tse Tung. Namun, I Ching merupakan satu dari sedikit kitab kuno yang terbebas dari rangkaian pemusnahan besar tersebut. Ini satu bukti, bahwa I Ching memang bukan kitab sembarangan. Kitab kuno yang bertuah, bagaikan kitab wahyu yang diturunkan Sang Pencipta melalui seorang Fu Xi, yang terus terselamatkan, bahkan kini malah sampai tersebar ke mancanegara, dalam berbagai bahasa.
I Ching memperkenalkan (untuk pertama kalinya) ke dalam peradaban manusia tentang Hukum Perubahan. Suatu falsafah besar bagi kehidupan, yang masyarakatnya kala itu masih tergolong primitif. Falsafah Tentang Hakekat Perubahan yang dipaparkan Fu Xi pada sekitar 5.000 tahun yang lalu ini, dipaparkan justru di masa masyarakat Tiongkok (maupun dunia) masih belum mengenal huruf / tulisan. Lalu bagaimana cara penyampaiannya? Mungkinkah menyampaikan suatu konsep / filsafat kebathinan yang menyangkut tentang segala macam Hakekat Perubahan yang maha kompleks ini tanpa disertai dengan catatan atau tulisan ?
Untuk ukuran logika kita yang awam ini, tentu saja hal itu serasa mustahil, bukan? Namun tidak, bagi penghayat kebathinan (spiritualist) sekaliber Raja Agung Fu Xi.
Terinspirasi oleh kemunculan Kuda Naga di Sungai Lo yang di punggungnya terdapat gambar-gambar kecil beraturan, Fu Xi pun mendapat pencerahan (dalam bahasa agama, mungkin ini yang bisa kita artikan sebagai menerima wahyu).
Dijabarkannyalah Hakekat Perubahan yang mendasari proses kehidupan ini. Untuk menyampaikan konsep perubahan tersebut, dikarenakan saat itu manusia belum mengenal huruf/tulisan, maka dirumuskanlah Simbol-simbol Kehidupan yang dijadikannya sebagai metode pengantar untuk memahami falasafah mengenai adanya Hukum Perubahan yang bersifat universal ini. Symbol-symbol kehidupan yang dipergunakan inilah yang tertuang dalam I Ching, yaitu:


1. Wu Chi. Diartikan sebagai Alam Suwung, keadaan kosong yang hampa, yang melambangkan tentang alam semesta yang bermula dari suatu keadaan kosong yang belum ada apapun di dalamnya. Ini bisa juga dijabarkan sebagai adanya sesuatu yang tak terjangkau akal pikiran kita dan kita tidak tahu pasti seperti apa persisnya. Ini disimbolkan sebagai sesuatu yang hampa/kosong. Simbol ini digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang kosong.


2. Tai Chi. Arti harafiahnya adalah Maha Kutub. Simbol ini menggambarkan tentang suatu kondisi bahwa kehampaan/kekosongan yang mengawali konsep kehidupan sebagaimana disimbolkan di atas, ternyata berporos pada Satu Titik Pusat / Maha Kutub ( Pusat Kegaiban Semesta ) yang kemudian menjadi sumber penggerak bagi semua fenomena yang ada di alam semesta ini dan bagi segala proses perubahan, pertumbuhan maupun kehidupan/dinamika yang ada di Jagad Raya. Pusat penggerak ini kemudian dikenal sebagai Hukum Alam, yang merupakan Satu Kesatuan Utuh sebagai ibu dari segala hal yang tercipta dan sumber penggerak atas semua fenomena alam yang terjadi. ( note penulis : dalam bahasa agama, inilah yang kita posisikan sebagai Tuhan – dalam pelajaran I Ching tidak disebut sebagai Tuhan karena di jaman itu belum dikenal adanya agama ) Pelajaran ini disimbolkan sebagai sebuah lingkaran kosong dengan satu titik hitam di pusatnya.


3. Yin Yang. Merupakan penggambaran tentang adanya kondisi yang saling antagonis. Ada gelap ada terang, ada dingin ada panas, ada yang buruk ada yang bagus, kecil-besar, lentur-kaku, lembut-keras, jinak-ganas, pasif-aktif, dll. Ke semuanya itu dijabarkan sebagai Hukum Negatif dan Positif. Simbol yin-yang ini bergambar lingkaran dengan kombinasi hitam putih dan dua buah mata yang juga hitam putih dalam komposisi yang saling simetris. Sekarang ini, lambang tersebut lebih dikenal sebagai Simbol / Lambang Tao.


4. Wu Xing. Yang diartikan sebagai Lima Elemen, yaitu Kayu, Api, Tanah, Logam & Air. Kayu, melambangkan warna Hijau, Cinta Kasih, Lever, Musim Semi, Sifat yang kaku, Hutan, dll. Api sebagai gambaran warna Merah, Kesusilaan, Jantung, Musim Panas, Sifat yang pemarah, Matahari, dll. Tanah sebagai symbol warna Kuning, Kejujuran, Lympha dan Lambung, Musim Pancaroba, Sifat yang malas, Bumi, dll. Logam yang mencerminkan warna Putih, Perikebajikan, Paru-paru, Musim Gugur, Sifat yang egois, Awan, dll. Air sebagai gambaran dari warna Hitam, Rendah Hati, Ginjal, Musim Dingin, Sifat yang liar, Laut,dll. Semua fenomena alam dan juga seluruh aktivitas kehidupan, bisa dikelompokkan / dijabarkan ke dalam kategori Lima Elemen di atas.


5. Ba Gua / Pat Kwa. Yaitu Delapan Trigram yang digambarkan sebagai kompilasi dari perpaduan Garis Utuh ( Yang / Positif ) dan Garis Putus ( Yin / Negatif ). Tiap trigram menggambarkan tentang Langit-Bumi, Gunung-Danau, Api-Air dan Petir-Angin. Langit-Bumi, sebagai Ayah & Ibu serta Sesuatu yang Aktif & Pasif. Api-Air sebagai Putri Tengah & Putra Tengah serta Kondisi yang Panas & Dingin. Gunung-Danau sebagai Putra Bungsu & Putri Bungsu serta Sifat yang Tinggi Hati & Rendah Hati. Petir-Angin, sebagai lambang dari Putra Sulung & Putri Sulung serta Hal tentang Kegalauan & Kedamaian. Masing-masing trigram terdiri atas 3 buah garis yang tersusun sedemikian rupa, tanpa ada satupun perpaduan kombinasi garis yang sama satu dengan lainnya.
Dengan menggunakan simbol-simbol kehidupan inilah, Fu Xi menjabarkan konsep filsafatnya tentang Hakekat Perubahan yang terjadi di alam kehidupan ini.
Fu Xi wafat di usianya yang ke 130 tahun. Sekitar 200 tahun kemudian, di Jaman Kepemimpinan Huang Di / Hwang Ti ( Raja Kuning ), Chong Kiat seorang cendekiawan kala itu, untuk pertama kalinya memperkenalkan bentuk-bentuk awal huruf / tulisan. Guratannya masih kuno dan berbentuk seperti gambar-gambar kecil. Inilah yang kemudian berkembang menjadi Huruf Kanji / Mandarin. Di zaman Huang Di ini (2698-2598 SM), mulailah konsep tentang Hakekat Perubahan yang dicanangkan Fu Xi, dibubuhi berbagai catatan/tulisan, tapi masih belum dibukukan.

Di zaman Dinasti Xia (2205-1766 SM) mulai dibukukan dan bukunya dinamakan Lian Shan ( Jajaran Agung ). Di zaman Dinasti Shang ( 1766-1066 SM ) dikenal dengan nama Gui Cang ( Kembali ke Kegaiban ). Lalu di masa Dinasti Zhou ( 1066-221 SM ) popular dengan sebutan Zhou Yi ( Kitab Perubahan dari Dinasti Zhou ), dan akhirnya, kini dikenal sebagai Yi Jing ( baca: I Ching ) , yang
secara harafiah berarti Kitab (tentang) Perubahan..

 Sumber : Suhu Tan

Yi Jing ( baca: I Ching )

Zhou Yi, Kitab tentang hakekat perubahan di zaman Dinasti Zhou, seiring perjalanan waktu akhirnya mengalami perubahan nama. Kemudian menjadi populer dengan sebutan Yi Jing ( baca: I Ching )
Sesuai dengan namanya, kitab ini memuat pelajaran tentang metafisika perubahan. Bahwa segala hal yang tercipta yang terkondisikan dengan jelas maupun yang tersamarkan kondisinya tak ada yang luput dari perubahan. Setiap aksi akan mendatangkan reaksi dan dari reaksi yang muncul pasti akan memunculkan kembali aksi yang baru. Dengan adanya kondisi aksi reaksi seperti ini maka terjadilah perubahan demi perubahan yang terus bersiklus tak pernah berhenti. Tercapainya suatu kondisi yang membuat berhentinya proses perubahan, inilah yang dinamakan sebagai pencapaian pencerahan abadi atau berakhirnya segala fenomena. Suatu kondisi yang mungkin terjadi tapi entah kapan fakta riilnya.
Berdasarkan konsep penghayatan Yin Yang, selalu saja ada hal antagonis didalam kehidupan ini. Ada panas pasti ada dingin. Ada keras ada lembut, ada siang ada malam, ada yang tidak takut pasti akan kita temui mereka yang takut. Karena adanya sesuatu yang enak maka akan memunculkan juga hal yang tidak enak. Kenyamanan baru bisa kita rasakan bila sebelumnya kita sudah merasakan tentang hal yang tidak nyaman. Bila seumur hidup kita tidak pernah tahu sesuatu yang tidak nyaman itu seperti apa, bagaimana mungkin kita bisa tahu rasa nyaman itu kayak apa. Ada sehat ada sakit, ada optimisme tentu ada pula pesimisme. Ada yang bergerak pasti ada yang tidak bergerak.
Dari logika pemikiran tersebut , berarti akan muncul jalur pemikiran yang menyimpulkan bahwa ; dengan adanya perubahan pasti ada suatu kondisi yang tidak berubah. Apa itu yang tidak berubah? Jawabnya cuma satu, yaitu Hukum Perubahan itu sendiri. Seperti matahari yang selalu terbit di timur dan tenggelam di barat, muncul setiap pagi hari dan tenggelam di sore hari. Begitu juga dengan fenomena alam lainnya. Semua terus berulang-ulang dalam siklus yang tetap dan terprediksikan alur pergerakannya (perubahannya). Ini dimungkinkan terjadi karena adanya Hukum Perubahan yang tetap, dari dulu sampai sekarang hukumnya tetap sama tak pernah berubah. Dengan adanya hukum yang tetap / abadi (tidak pernah berubah) akan hakekat dari Perubahan, maka Perubahan itu bukanlah sesuatu yang unpredictable, semuanya menjadi suatu fenomena yang bisa kita prediksikan.
Nah, adanya Hukum Perubahan yang tetap seperti inilah yang dipakai oleh Fu Xi (2953 - 2838 SM) sebagai dasar pemikiran bahwa perubahan adalah sesuatu yang pasti, tidak ada yang tidak berubah. Semua berderap dalam proses perubahan, tiada yang luput dari perubahan, tiada yang tidak akan berubah.
Dan perubahan itu sendiri adalah sesuatu yang berproses, bergerak dari momen ke momen, tidak ada yang langsung instan atau serba mendadak. Kalau saja kita mau cermat mengamati fenomenanya maka perubahan yang akan terjadi, seperti apapun bentuk dan wujudnya adalah sesuatu yang sesungguhnya bisa kita antisipasi.
Segala apa yang akan terjadi ( perubahan yang muncul ), di dalam logika penghayatan I Ching tidak ada yang tidak bisa diprediksikan karena semuanya bergerak dalam alur proses yang didasari oleh hukum yang tetap. Hukum yang bisa dihitung dan dijabarkan secara matematis. Cuma memang ukuran matematisnya agak unik, bukan perpaduan angka tapi matematis tentang kombinasi dan transformasi elemen.
Filsafat Perubahan I Ching, yang dicanangkan Fu Xi sejak hampir 5.000 tahun yang lalu, membeberkan secara detail tentang proses dari setiap perubahan. Baik perubahan alam maupun perubahan yang disebabkan karena aksi manusia. Apapun yang kita lakukan sekarang ini (sebab) pasti akan membuahkan reaksi (akibat) yang masuk ke dalam alur hidup kita. Seperti apa reaksi yang kita terima? Semua tergantung dari aksi apa yang kita lakukan. Dalam pengertian lain, apapun yang kita lakukan akan menghasilkan reaksi yang berbeda-beda, bisa baik bisa buruk. Bisa mendatangkan kemujuran bisa pula mendatangkan kemalangan. Sekali lagi, tergantung dari apa yang kita perbuat dan bagaimana kita mengantisipasinya.
Penganalisaan untuk semua bentuk-bentuk perubahan ini tertuang dengan gamblang di dalam I Ching. Asal saja kita mau mendalami dan menekuni I Ching dengan sungguh-sungguh, kita akan dapat dengan mudah membuat perhitungan yang matematis untuk memprediksikan tentang apa yang akan terjadi kelak.
Tak kepalang tanggung, Kong Fu Zi (Khong Hu Cu) seorang filusuf besar , yang oleh komunitas tertentu di posisikan sebagai Nabi Agung, dalam salah satu ujarnya ada mengatakan:
Seperti halnya BMG memprediksikan ramalan cuaca, begitulah I Ching mengupas setiap proses dari bentuk - bentuk perubahan. Melalui data atas aksi yang kita lakukan, dipadukan dengan elemen alam yang sedang berkuasa, munculah suatu perhitungan yang merumuskan tentang apa yang akan terjadi. Bukan klinik, bukan mistik, bukan pula ramalan tahayul, tapi perhitungan matematis Ilmiah Timur, yang oleh kalangan Barat tidak diakui sebagai sesuatu yang ilmiah.
Jika kita menyelami lebih jauh tentang I Ching, semakin kita dalami akan semakin kita temukan hal-hal yang fenomenal. Banyak hal yang kita hayati sebagai sesuatu yang tak mungkin tapi menjadi mungkin dan logis begitu kita telaah dalam logika matematis I Ching.
Konsep dasar yang dibangun dalam pemahaman I Ching ini, mengandung hal-hal faktual yang tak bisa kita pungkiri kebenarannya. Dari dulu sejak diperkenalkan oleh Fu Xi sampai ke zaman millenium sekarang ini, butir-butir pemikiran Fu Xi yang tertuang dalam I Ching terbukti benar adanya, tak terbantahkan.
Bagaimana mungkin ....?
Okey, marilah kita simak konsep perubahan yang dicanangkan di dalam I Ching, yang merupakan butir-butir pemikiran otentik seorang Fu Xi, sbb:
Hakekat Perubahan meliputi fenomena faktual , berupa pemahaman bahwa;
Semua yang terkondisikan pasti akan mengalami perubahan.
Tidak ada sesuatu yang kekal selain hukum perubahan itu sendiri, termasuk benda mati sekalipun. Kita contohkan saja, sebuah batu besar yang diletakkan di taman lalu biarkan jangan disentuh, jangan di apa-apakan. Setelah didiamkan selama, katakanlah, 6 bulanan, akankah batu itu berubah? Jawabnya ya. Apanya yang berubah? Ya, paling tidak warna permukaan atas dan bagian bawahnya pasti sudah berubah. Yang atas semakin terang memutih karena sering terkena siraman cahaya matahari, sementara yang bawahnya malah tambah gelap dan mungkin juga mulai berjamur. Batu besar yang tak disentuh manusiapun ternyata tetap saja mengalami suatu proses perubahan. Apalagi kalau harus berbenturan dengan sentuhan atau pengrusakan oleh manusia pasti akan semakin kompleks efek perubahannya.
Ada yang terkondisikan sebagai sesuatu yang mudah sekali berubah.
Seperti halnya angin, awan, air, formasi pasir di gurun, pikiran, perasaan hati, emosi manusia serta naluri/insting binatang dan semua benda yang bergerak
Ada yang terkondisikan sebagai sesuatu yang mengalami perubahan total.
Seperti telur - ulat - kepompong kupu-kupu; telur - kecebong - kodok; benih janin- embrio- bayi, dan lain semacamnya.
Ada sesuatu yang selalu berubah dengan pola yang tetap.
Seperti halnya Matahari yang selalu terbit di Timur tenggelam di Barat. Bumi dan Planet lainnya yang bergerak mengelilingi Matahari. Bulan yang berevolusi mengelilingi Bumi. Gerakan Bumi yang berotasi pada porosnya. Angin yang selalu mengalir ke daerah tekanan udara yang lebih rendah. Air yang selalu mengalir ke bawah. Api yang selalu bergerak ke atas. Tunas pohon yang selalu tumbuh mengarah ke sumber masuknya cahaya matahari. Setiap benda yang dilempar ke atas pasti akan turun ke bawah, dan fenomena sejenis lainnya.
Ada pula yang selalu berubah-ubah.
Seperti kumpulan gambaran awan yang berarak, bunglon yang selalu berubah warna mengikuti warna yang ada di dekatnya, fatamorgana yang memantulkan aneka cahaya berlain-lainan tergantung dari sudut mana kita melihatnya, deburan ombak yang menghantam ke pantai, arah tiupan angin, dan model sejenis lainnya.
Apa yang di konsepkan di atas, sampai sekarang hal-hal tersebut tetap berlangsung seperti itu. Hakekat Hukumnya tetap, tidak ada yang berubah. Tidak terbantahkan, semua benar dan faktual adanya.
Dengan dalih pemahaman seperti diatas, I Ching menjabarkan semua fenomena perubahan tersebut ke dalam bentuk-bentuk dan konfigurasi elemen. Tidak ada satupun fenomena alam maupun benda - benda di sekitar kita yang tidak terwakili ke dalam pengelompokan elemen Wu Xing (Lima Elemen) '
Wu Xing yang terurai menjadi sepuluh karena pengaruh Yin dan Yang, saling berinter aksi satu dengan lainnya. Begitu juga terhadap elemen faktor langit, faktor bumi dan faktor manusia itu sendiri, semua berstimulasi sesuai hukum-hukum kodratinya. Pergeseran yang terjadi dari setiap interaksi elemen inilah yang memunculkan suatu reaksi perubahan demi perubahan.
Karena faktor kejiwaan manusia, aktivitas manusia, kondisi situasional alam lingkungan, siklus perubahan elemen tahunan, bulanan, harian dan jam, semuanya terpolarisasi dalam penjabaran elemen. Maka perhitungan interaksi elemen berarti merupakan perhitungan terhadap proses perubahan. Dan sekaligus juga bisa kita jadikan sebagai sarana antisipatif menghadai segala kemungkinan yang akan terjadi.
Demikian kurang lebih sedikit gambaran atau penyederhanaan dalam memahami hakekat dari nilai-nilai fenomenal I Ching. Sepintas, pengenalan ini serasa sulit untuk dipahami tapi bila kita mempelajarinya dalam kelas pembelajaran I Ching, semua menjadi lain. I Ching menjadi suatu ilmu metafisika yang menarik untuk dipelajari dan mudah dihayati bagi mereka yang sungguh-sungguh mau mempelajarinya.

sumber:; : Suhu Tan


DAO


135. Confucius said: "When the Dao prevailed in his country, Ning Wu Tzu played the wise man. When the Dao declined in his country, he played stupid. Someone might be able to match his wisdom, but no one can match his stupidity." [5.20]

136. Confucius said: "Who can leave the room without using the door? So why doesn't anybody follow the Dao?" [6.15]

137. Confucius said: "Knowing the Dao is not as good as loving it; and loving it is not as good as taking delight in it." [6.18]

138. Confucius said: "Live in constant good faith and love learning. Be willing to die for the sake of following the Dao. Do not enter a disorderly state, nor live in one where there is rebellion. When the Dao prevails in the empire, show yourself. When it does not prevail, then hide. When the Dao prevails, you should be ashamed to be poor and unrecognized. When the Dao does not prevail, you should then be ashamed to be wealthy and famous." [8.13]

139. Yen Yuan said: "Looking up at it, it goes higher. Delving into it, it gets more difficult. I see it in front of me, and suddenly it is behind me. Confucius has enriched me with literature and disciplined me with the rules of propriety. I am ready to give up, but I can't. I have done all that I am able to do, and yet there it is, rising up in front of me again. I want to follow it, but I can't see the way." [9.10]

140. Chi K'ang Tzu had been robbed and was very upset. Confucius said: "If you had no desires, no one would steal from you, not even if you offered someone a reward to do so." [12.18]

141. Confucius said: "One who knows the Dao first becomes free of the world; then he becomes free of his culture; then he becomes free from lust; then he becomes free from language." [14.39]

142. Confucius said: "Human beings are manifestations of the Dao. The Dao is not a manifestation of human beings."

143. Confucius said: "Even if you were wise enough to grasp it, you are not virtuous enough to hold on to it. So even if you grasp it, you will certainly lose it. Even if you are wise enough to grasp it and virtuous enough to hold on to it, perhaps you do not manifest it. In that case, the people will not recognize your attainment. Suppose you are wise enough to grasp it and virtuous enough to hold on to it, and suppose also that you manifest it. Nonetheless, if you don't act in accordance with the rules of propriety, you are still not perfect." [15.32]

144. Confucius said: "When the Dao prevails in the realm, the people do not debate politics." [16.2]

145. [The Daoists,] Chang Tso and Chieh Ni were working together in the fields when Confucius and Tzu Lu were passing by. Confucius sent Tzu Lu to ask about the best place to cross the river.
Chang Tso asked: "Who is that in the carriage?" Tzu Lu said: "It is Confucius" Chang said: "The Confucius of Lu?" "Yes." "Well, if that's the case, let him answer his question for himself."
Tzu Lu then approached Chieh Ni, who said: "Who are you?" "I am Tzu Lu." "The follower of this Confucius of Lu?" "Right." Chieh then said: "The world is in radical disorder! Who [is Confucius to think that he] can change it? As for you, rather than following a scholar who flees from this situation or that situation, why don't you follow one who escapes from the world entirely?" And with that, he went back to his work and wouldn't stop. 211
Tzu Lu went back and reported to Confucius what had happened. Confucius said sadly: "I can't enter into human relationships with the birds and beasts! If I don't associate with people, with whom will I associate? If the Dao prevailed in the world, there would be no need to change anything." [18.6]

146. Tzu Lu, having fallen behind Confucius and the other disciples, met an old man carrying a basket on a shoulder-pole. He asked him: "Have you seen my Master?"
The old man said: "You don't know how to work the land. You can't even distinguish between the five kinds of grain. Who, indeed, is your Master?" The old man then planted his staff in the ground and began to pull weeds. Tzu Lu just stood there with his arms folded. The old man allowed him to stay overnight, feeding him a dinner of chicken and millet, and introducing him to his two sons.
The next day, Tzu Lu left and caught up with Confucius. When Tzu Lu told Confucius what had happened, the Master said: "He is a Daoist." Confucius sent Tzu Lu back to see the old man, but when Tzu Lu arrived, he found that the old man and his sons were gone.
Later, Tzu Lu said: "If you don't live in society, how can you practice justice? If the relationship between old and young cannot be ignored, how can the relationship between ruler and ruled be set aside? For the sake of his own purity, the Daoist disrupts the bonds of society. But the Chun-Tzu practices his justice from within society, and he is well aware of the reality of injustice." [18.7]